Wednesday 9 June 2010

Wahai istriku, Mari kita membangun sebuah rumah di surga...

Seorang ikhwan mengatakan dengan agak malu-malu, “Beginilah akhi, masih jadi “kontraktor” setiap tahunnya.” Wah hebat! Pasti pengusaha yang sukses kalau setiap tahun mendapatkan tender sebagai kontraktor, entah kontraktor bangunan atau jalan raya. Namun jangan salah! Ternyata “kontraktor” yang dimaksud adalah bahwa ikhwan yang bersangkutan masih mengontrak rumah terus setiap tahunnya, alias belum punya rumah sendiri. Maka kebiasaan “tukang kontrak” ini membuat pelakunya mendapatkan sebutan “kontraktor”.

Begitulah kehidupan dunia dengan segala kenikmatan dan kelezatan yang ada di dalamnya, tidak semua ikhwan memang mendapatkan rizki memiliki rumah sendiri sehingga tidak dipusingkan dengan anggaran khusus setiap tahunnya yang harus disusun rapi jika tak ingin urusan tempat tinggal jadi berantakan. RAPBRT (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Rumah Tangga) kadang menjadi sebuah agenda yang tarik ulurnya bisa “alot” atau “fleksibel” tergantung kemampuan asisten nahkoda bahtera rumah tangganya, yakni para istri yang shalihah.

Memang memiliki sebuah rumah sendiri adalah impian setiap manusia ketika tinggal di dunia yang teramat sementara ini, tak terkecuali bagi ikhwan! Memiliki sebuah istana kecil di dunia merupakan bagian dari sebuah kebahagiaan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Empat hal yang termasuk kebahagiaan seseorang : istri yang shalihah, tempat tinggal yang luas, tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk kesengsaraan seseorang : tetangga yang jelek, istri yang jelek, kendaraan yang jelek, dan tempat tinggal yang sempit.” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1232 dan Al-Khathib dalam At-Tarikh 12/99. Al-Imam Al-Albani mengatakan dalam Ash-Shahihah no. 282: “Ini adalah sanad yang shahih menurut syarat Syaikhain/Al-Bukhari dan Muslim]

Namun apakah akhirnya memiliki sebuah tempat tinggal yang luas menjadi sebuah obsesi (keinginan yang harus diwujudkan)? Sehingga kadang dengan berbagai macam cara manusia berusaha untuk mendapatkan sebuah rumah yang megah, mewah, dan luas di dunia. Sebagian manusia menganggap bahwa rumah adalah simbol dari status sosial mereka, semakin megah rumahnya maka semakin diakui keberadaan seseorang itu, sebaliknya jika rumah seseorang biasa-biasa saja (tipe RS –rumah sederhana, RSS –rumah sangat sedehana atau RSSS –rumah sangat sederhana sekali) maka keberadaan mereka tidak diperhitungkan dalam pergaulan sosial masyarakat yang ber-orientasi (bertujuan) kepada dunia.

Apalagi bagi yang masih menjadi “kontraktor” tiap tahunnya, tinggal di rumah kontrakan menjadi tukang sewa menjadi kebiasaan rutin tahunan, pendapatan yang pas-pasan setiap bulannya membuat anggaran rumah hanya cukup untuk biaya sewa – alhamdulillah. Walau ada masih keinginan yang terpendam untuk sekedar memiliki rumah tipe RS, RSS, atau RSSS (rumah segede stadion sepakbola).

Namun apakah hal itu yang selalu kita pikirkan, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau seorang pengembara.” [HR. Al-Bukhari], dan tahukah antum semua bagaimana sifat (karakter) seorang pengembara itu? Mari kita tengok para perantau di sekitar kita, ada seorang perantau yang datang ke Surabaya, bekerja pada sebuah kantor dengan jabatan yang rendah, tempat tinggalnya hanya sebuah kamar kost yang kecil, ukuran 2 x 2 meter sudah cukup baginya untuk sekedar melepas lelah setelah bekerja seharian, ada juga seorang perantau yang bekerja sebagai buruh pabrik sebagai karyawan produksi, pekerjaan yang kasar, berat namun halal, berangkat jam 7 pagi dan pulang jam 9 malam, tempat tinggal yang disewanya hanyalah ukuran 2,5 x 2 meter, itupun dia tinggal berdua dengan teman satu kost-nya. Hanya 7 jam saja dia menghuni tempat kostnya – itupun dalam keadaan tidur melepas lelah, kemudian besoknya kembali bekerja menjalankan rutinitas sebagaimana biasa, baju yang mereka pakai sehari-hari adalah baju kumal untuk bekerja yang banyak terkena kotoran oli dan minyak dalam pekerjaannya dan pakaian sederhana untuk tidurnya, namun ketika ada waktu libur tiba dia pulang ke kampung halamannya. Dengan baju yang bagus dan harta yang cukup hasil tabungannya selama ini.

Demikianlah sifat dan karakter seorang perantau yang asing (al-ghuroba), biar hidup susah dan seadanya di tempat dia merantau, makan seadanya, pakaian seadanya cukup untuk menutup aurat, perabotan makan dan keperluan sehari-hari pun seadanya cukup untuk menunjang kehidupannya yang sementara di tempat perantauannya. Namun dia pulang dengan perasaan riang, karena cukup bekal dan pakaian bagus yang dikenakannya, istilah singkatnya, biar hidup menggelandang di kota, namun pulang ke kampung dengan bekal yang banyak. Para perantau ini tidaklah berfoya-foya menghabiskan bekalnya untuk memuaskan segala keinginannya di tempat dia merantau. Bahkan untuk jatah makan pun dicarinya tempat yang paling murah, namun cukup untuk menegakkan tulang punggung untuk bekerja.

Begitulah keadaan kita hidup di dunia, tidaklah akrab dengan kehidupan dunia yang serba sementara ini, tidaklah kita terpesona oleh kilauan kesenangan dunia yang menipu (baca catatan sebelumnya : manusia yang gemar tertipu...), tidaklah kita mengumpulkan keperluan kita di dunia ini kecuali hanya sekedar menunjang kehidupan kita dan yang menjadi prioritas kita adalah bekal untuk kehidupan akhirat kelak, sehingga kita pulang ke kampung halaman kita di akhirat dalam kondisi ceria karena bekal yang cukup.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menggambarkan dunia dengan lisannya, dengan sabdanya : “Aku sama sekali (tidak memiliki keakraban) dengan dunia, perumpamaanku dengan dunia adalah bagaikan seseorang yang ada di dalam perjalanan, dia beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, lalu dia pergi dan meninggalkannya.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani.]

Wahau saudaraku, rumah yang engkau impi-impikan di dunia ini, jika Allah Ta’ala memberikannya sebagai rizkimu, maka akan berapa lama engkau menghuni rumah itu? 10 tahun? 20 tahun? Atau bahkan belum sempat engkau menghuninya ternyata Allah Ta’ala berkehendak mewafatkanmu, wallahu a’lam. Rumah seperti itukah yang ukurannya tidak seberapa, yang telah menyita perhatianmu, sehari selama 24 jam keinginan akan rumah dunia ini memalingkan kita dari rumah kita yang sebenarnya kelak di akhirat. Lalu apakah yang telah engkau siapkan untuk memangun rumahmu kelak di surga yang seluas langit dan bumi?

CATATAN SEORANG SUAMI KEPADA ISTRINYA DI MALAM HARI....

Wahai istriku, malam telah larut, dan aku melihat engkau telah terlelap dengan indahnya menuju mimpi-mimpimu, dapat aku melihat engkau tersenyum dengan indahnya di dalam tidurmu. Wahai istriku, beristirahatlah sebentar sebelum engkau bangun untuk mengerjakan sholat malammu...

Wahai istriku, dapat aku melihat bulir-bulir keringat membasahi keningmu, mungkin karena udara yang terasa panas di malam ini membuatmu banyak berkeringat dalam tidurmu, memang kamar yang sempit ini tidak memiliki AC, tidak banyak memiliki hiasan dan perabotan yang mahal, tidak juga kita tidur beralaskan tempat tidur yang empuk dan mewah. Namun diriku selalu bersyukur kepada Allah Ta’ala karena engkau menerima semua ini dengan lapang dada dan penuh kesabaran.

Wahai istriku, sewa rumah akan habis satu bulan lagi... dan tabungan kita belum cukup untuk membayar sewa rumah ini satu tahun ke depan, semoga Allah Ta’ala memberikan kita tambahan rizki agar kita mampu memperpanjang sewa rumah kecil ini, agar kita terlindung dari terik panas dan dinginnya malam, agar anak-anak kita pun bisa bernaung dari derasnya hujan dan memiliki tempat bermain. Memang tidak luas rumah yang kita sewa ini, namun bersama dirimu dan anak-anak kita semuanya menjadi teramat indah...kita memang tidak memiliki rumah tempat tinggal yang luas sebagai bagian dari kebahagiaan, namun aku memiliki sebagian kebahagiaan yang lain, yaitu dirimu sebagai istri yang shalihah yang selalu berada di sampingku, bersabar atas semua kesempitan dunia ini.

Wahai ibu dari anak-anakku, terima kasih karena engkau tidak mengeluh karena ketidak mampuan suamimu untuk membelikan sebuah rumah bagimu, terima kasih engkau telah membangkitkan semangatku untuk beribadah kepada Allah Ta’ala di tengah-tengah kesulitan kita, terima kasih atas kesabaranmu mendidik anak-anak kita ditengah kekurangan ini. Terima kasih wahai istriku engkau selalu mengingatkan aku untuk bersyukur kepada Allah Ta’ala atas rizki yang diberikan-Nya kepada kita sehingga kita bisa makan setiap hari tanpa kekurangan.

Wahai istri dari hamba yang dha’if... perkenankanlah suamimu mengajakmu untuk membangun sebuah rumah dan istana yang indah bagimu di surga kelak, dunia ini bukan bagian kita, dan kita tidak akan tinggal lama di dalamnya. Birlah kita kelak keluar dari segala kesempitan ini menuju kelapangan yang indah, insya Allah. Wahai istri yang shalihah, tahukah engkau bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu 'anhu berkata, “Sesungguhnya dunia itu adalah Surga bagi orang kafir dan penjara bagi orang yang beriman. Dan sesungguhnya perumpamaan seorang mukmin ketika dirinya keluar dari dunia adalah bagaikan seorang yang sebelumnya berada di dalam penjara, lalu dia dikeluarkan darinya. Sehingga dia berjalan di atas bumi dengan mencari keluasan.” [Syarhush Shuduur, hal. 13]

Wahai istriku mari kita bangun sebuah rumah di surga dengan sholat sunnah rowatib, berusahalan untuk menegakkannya walau di tengah kesibukanmu mengurus rumah tangga dan anak-anak kita, berusahalah demi kebaikanmu dan kebaikan kita semua, aku akan membantumu dalam menjaga anak-anak kita dan membantumu mengerjakan pekerjaan rumah yang mampu aku lakukan, bukankah engkau mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Tidaklah seorang muslim mendirikan shalat sunnah ikhlas karena Allah sebanyak dua belas rakaat selain shalat fardhu, melainkan Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dan dalam riwayat At-Tirmizi dan An-Nasai, ditafsirkan ke-12 rakaat tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa menjaga dalam mengerjakan shalat sunnah dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga, yaitu empat rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat setelah zhuhur, dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya` dan dua rakaat sebelum subuh.” (HR. At-Tirmizi no. 379 dan An-Nasai no. 1772 dari Aisyah)

Maka ke dua belas rakaat itu merupakan tabungan dan bekal kita kelak di surga insya Allah, oleh karena itu janganlah engkau enggan mengerjakannya meskipun terasa berat, bersabarlah akan sholat, dan kerjakanlah karena ikhlas kepada Allah Ta’ala.

Wahai istriku, mari kita bangun sebuah rumah di surga dengan meninggalkan debat, demi Alloh, debat itu hanya akan meninggalkan permusuhan dan kebencian, maka bersabarlah di dalam dakwah, ketika engkau sedang menasihati seseorang, maka perhatikanlah hak-haknya, jika dia bertanya kepadamu maka jawablah dengan baik sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta bersabarlah, jika ia mendebatmu maka tinggalkanlah dia. Wahai istriku, janganlah engkau banyak bercanda, apalagi jika engkau membumbuinya dengan dusta. Sungguh kedustaan itu akan meruntuhkan bagian rumahmu disurga kelak, Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan di dalam Sunannya :

“Muhammad bin Utsman ad-Dimasyqi Abu al-Jamahir menuturkan kepada kami. Dia berkata; Abu Ka’b Ayyub bin Muhammad as-Sa’di menuturkan kepada kami. Dia berkata; Sulaiman bin Habib al-Muharibi menuturkan kepadaku dari Abu Umamah, dia berkata ; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167. Dihasankan oleh al-Albani dalam as-Shahihah [273] as-Syamilah)

Wahai istriku, perbaguslah akhlakmu, berhiaslah dengan akhlak yang shalihah, berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah ash shahihah, karena bukan saja engkau akan mendapatkan sebuah rumah di bagian teratas surga, engkau juga akan mendpatkan kecintaan dari Allah Ta’ala, kemudian dari aku suamimu, dari anak-anakmu, dari karib kerabatmu dan dari seluruh kaum muslimin.

Wahai istriku, kenalilah dunia dengan segala perangkapnya, dengan segala keburukan di dalamnya, Abu Hazim berkata, “Barangsiapa yang mengenal dunia, niscaya dia tidak akan senang dengan kemegahan yang ada di dalamnya dan tidak akan bersedih dengan bencana yang ada di dalamnya.”

‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu berkata, “Siapa yang menyatukan enam hal dalam dirinya, berarti dia tidak meninggalkan satu jalan pun menuju Surga dan satu pintu pun untuk lari dari Neraka. (1) Orang yang mengenal Allah dan mentaati-Nya, (2) Orang yang mengenal syaitan dan menjauhinya, (3) Orang yang mengenal kebenaran dan mengikutinya, (4) Orang yang mengenal kebathilan dan menjaga diri darinya, (5) Orang yang mengenal dunia dan menolaknya, dan (6) Orang yang mengenal akhirat dan mencarinya.” [Al-Ihyaa’ (III/221).]

Karena itu wahai istriku mari kita lalui kehidupan di dunia ini sebagaimana seseorang yang asing, sebagaimana seorang pengembara dalam perantauannya, mengambil seperlunya saja apa yang menjadi hak kita, karena kita akan meninggalan negeri perantauan ini dan kembali kepada kampung halaman akhirat yang kekal. Mari kita kumpulkan bekal sebaik-baiknya, semoga kelak ketika kita pulang ke kampung halaman kita, ada sebuah rumah yang indah menanti kita, sebuah rumah yang telah kita bangun sejak jauh hari dari sekarang ini...ketika masih di dunia ini.

Wallahu a’lam bish showab

No comments:

Post a Comment