"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)"(QS. Ali Imran : 14)
Dari redaksi ayat di atas, kita melihat bahwa "rasa cinta" pada diri manusia adalah sesuatu yang dihiaskan Allah. Atau dengan kata lain, cinta adalah sebuah "perhiasan" yang dianugerahkan Allah pada diri manusia.
Sebuah perhiasan, akan memiliki makna (berfungsi) secara optimal manakala dia ditempatkan pada tempat yang tepat dan pada waktu yang tepat. Sebagai contoh, sebuah lukisan karya Leonardo Da Vinci yang harganya bisa mencapai jutaan dollar Amerika, dia akan berfungsi secara optimal manakala diletakkan di sebuah galeri lukis, atau minimal di sebuah ruang tamu yang megah. Coba anda bayangkan jika lukisan itu digantungkan di kamar mandi sebuah toilet umum di kawasan sebuah terminal di Jakarta (yang jelas pasti akan dicolong orang hehehe…).
Demikian juga dengan "cinta", sebuah "perhiasan" anugerah Allah untuk kita manusia. Dia tidak boleh diumbar di sembarang tempat dan di sembarang waktu. Penempatan rasa cinta yang tepat akan menghasilkan optimalisasi fungsi perhiasan tersebut.
Hakikat iman sendiri adalah perasaan cinta yang amat sangat dan tidak tertandingi kepada Allah. Walaupun pada dasarnya manusia juga diberi potensi untuk mencintai dunia (materi). Namun kecintaan kepada dunia tidak boleh menandingi (apalagi melebihi) kecintaan kepada Allah.
(Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah, dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal))
Cinta pada diri manusia bisa dibagi menjadi dua:
1. Cinta yang bersifat thobi’i (tabiat, natural, alamiah) à (QS. 3:14)
2. Cinta yang bersifat syar’i (syari’at) à (QS. 49:7)
Cinta yang thobi’i ada pada manusia semenjak dia lahir. Sedangkan cinta yang bersifat syar’i ditanamkan oleh Allah pada diri orang-orang mu’min.
Cinta yang thobi'i muncul dalam bentuk kecenderungan kepada apa-apa yang diingini (hubbussyahawat) seperti yang diungkapkan dalam Q.S. 3:14. Kata syahwat disini tentunya bukan hanya berarti nafsu libido seperti yang dimaknai dalam bahasa Indonesia. Dari sini lahirlah sikap hubbuttamaluk atau keinginan untuk memiliki yang sifatnya fana.
Cinta yang syar’i landasannya adalah keimanan yang dianugerahkan Allah secara khusus pada diri orang-orang mu’min. Dari sini lahirlah kondisi mawaddah warrohmah (keinginan yang sangat terhadap yang dicintai).
Ciri-ciri adanya Cinta (‘alamatul-hubb)
Ada beberapa ciri yang mengindikasikan bahwa seseorang memiliki rasa cinta terhadap sesuatu.
1. Adanya perasaan ta'jub.
Kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “takjub” atau “pesona”. Kecintaan terhadap sesuatu meniscayakan adanya pesona yang terkandung dalam sesuatu yang kita cintai tersebut.
2. Adanya perasaan roja’ (harap) dan khouf (cemas)
Perasaan harap-harap cemas adalah reaksi yang lazim muncul dalam interaksi yang dilandasi oleh rasa cinta. Untuk menyebut sebuah contoh, cobalah tengok acara H2C di salah satu statsiun TV (Loh kok, promosi…)
3. Munculnya perasaan ridho (rela).
Terhadap apapun yang diminta oleh orang yang kita cintai, sejauh itu bisa kita lakukan, maka biasanya kita dengan senang hati melakukannya. Tengoklah ungkapan orang yang sedang dimabuk cinta; Gunung kan kudaki, lautpun kan kuseberangi, dsb dsb.
4. Lahir perilaku dzikr (sering menyebut objek yang di cintai)
5. Muncul sikap tadhhiyyah (pengorbanan)
Prioritas Cinta (al-iitsaru fil hubb)
Islam mengatur prioritas dalam menempatkan rasa cinta, yang seharusnya dita’ati oleh setiap mu’min (QS. 9:24).
1. Prioritas cinta yang pertama adalah Allah Swt.
2. Rasul dan Al-Islam
3. Al-Jihad
4. Al-Mu'min
Tertib Cinta (Marotibul-hubb)
Di awal disampaikan bahwa rasa cinta adalah “perhiasan” yang semestinya ditempatkan pada tempat dan waktu yang tepat. Kecintaan kepada Allah Swt adalah kecintaan tertinggi yang harus kita prioritaskan. Namun demikian, Allah Swt tidak akan pernah mendzolimi manusia dengan mereduksi rasa cinta manusia terhadap hal-hal lain yang bersifat materi. Hanya saja, yang dituntut dari kita adalah menempatkan rasa cinta itu secara proporsional (marotibul-hubb), atau dengan kata lain memberikan proporsi cinta yang tepat terhadap segala sesuatu.
Proporsi seperti apakah yang semestinya kita berikan atau kita tempatkan terhadap sesuatu yang kita cintai?
1. Ta'athuf (artinya kurang lebih: simpati)
Walaupun agak sulit mencari padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia, namun bisa dikatakan bahwa ta’athuf adalah “rasa cinta” terhadap hal yang bersifat materi (madah) atau dunia. Kecintaan terhadap dunia (materi) harus diletakkan sewajarnya dengan tidak berlebih-lebihan. Ingat do’a yang meminta agar Allah meletakkan dunia di "tangan" kita, dan bukan di "hati" kita. Dan banyak ungkapan lain yang mengingatkan kita untuk “tidak terlalu” mencintai dunia. Dari kecintaan terhadap materi (dunia) ini lahirlah sikap intifa (memanfaaatkan).
2. Shobabah (artinya kurang lebih: curahan, menuang)
Tingkatan ini lebih tinggi dari sekedar ta’athuf (simpati). Kecintaan yang bersifat shobabah semestinya di curahkan kepada sesama muslim (Al-muslim). Dari sini lahirlah sikap ukhuwah.
3. As-syauq wal ghorom (kerinduan yang sangat)
Sasaran dari rasa cinta ini adalah Al-mu’min. Dari sini lahir sikap kasih sayang dan pengutamaan (mawaddah wa tafadhol)
4. Al-‘Isyq (Artinya kurang lebih "kemesraan")
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah asyik-masyuk yang diserap dari istilah ini. Object dari perasaan ini adalah Ar-Rasul dan Al-Islam. Lahir sikap jihad dan pengorbanan (al-jihad wat-tadhhiyyah)
5. At-Taim (kemesraan yang sempurna, yang utama)
Obyek dari kecintaan tertinggi ini adalah tentu saja Allah ‘Azza Wajalla. Dari sini lahirlah sikap 'ubudiyah (penghambaan).
Jika kita menempatkannya secara proporsional, kecintaan terhadap sesuatu tidak mereduksi kecintaan kepada yang lain. Ada satu ungkapan dari Ibnu Taimiyah. : mencinta dicinta tercinta adalah keutamaan mencinta tercinta. Kecintaan kita kepada sesuatu yang dicintai oleh orang yang kita cintai adalah kesempurnaan dalam mencintai orang tercinta.
Allah mencintai Rasulullah. Maka wajib bagi kita untuk mencintai Rasulullah sebagai ungkapan keutamaan cinta kita kepada Allah. Kecintaan kita kepada Rasullulah adalah karena kita cinta kepada Allah.
Karena kecintaan kepada Allah adalah prioritas tertinggi, maka CINTAILAH SEGALA SESUATU ITU KARENA KECINTAAN KITA KEPADA ALLAH.
Pertanyaan :
Bagaimana caranya menimbulkan rasa khauf dan roja’?
Khauf dan roja itu memiliki kaitan yang sangat erat dengan intensitas ibadah kita. Peningkatan ibadah adalah sebuah syarat mutlak untuk menimbulkan rasa khouf dan roja’.
Pola hubungan manuisa dengan Allah bisa diumpamakan seperti di bawah ini:
1. Pola hubungan budak dengan tuannya (QS. 3:102)
Seorang budak biasanya melakukan tugas karena adanya rasa takut (khouf). Jadi, landasan perbuatannya adalah karena takut terhadap tuannya. Lahirlah sikap istiqomah.
* pola hubungan budak-tuan, landasan: khouf / takut, lahir sikap: istiqomah
2. Pola hubungan penjual-pembeli (QS. 9:111)
Dalam kontek ini, Allah adalah pembeli dan kita penjual. Seorang penjual selalu berusaha agar barang yang dijualnya memiliki performance yang bagus. Landasan sikap seorang penjual adalah “harapan” (roja’) untuk mendapatkan keuntungan. Dari sini lahirlah sikap mementingkan kerapihan kerja (itqonul ‘amal)
* pola hubungan penjual-pembeli, landasan: roja’ / harap, lahir sikap: itqonul 'amal (kerapihan kerja)
3. Pola hubungan kekasih (QS. 5:56, 2:165)
Landasan dari pola hubungan ini adalah cinta (mahabbah). Lahirlah sikap ridho
* pola hubungan kekasih, landasan: mahabbah / cinta, lahir sikap: itqonul 'amal (kerapihan kerja)
Untuk menumbuhkan mahabbah kepada Allah caranya adalah dengan taqqorub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). Bukankah kita juga selalu ingin dekat dengan orang yang kita kasihi?
Wallahu a’lam bisshowab.
No comments:
Post a Comment