Sunday 1 January 2012

..**Logika Sandal Jepit dan Orang Kaya**..


Apa kabar Indonesia 2011? Sepertinya hingga akhir tahun ini, masih kurang sehat kabar Indonesia di 2011 ini. Untuk mewakili kabar Indonesia, saya cuplikkan 2 fakta menarik di akhir tahun 2001 ini. Pertama, kabar terancam penjaranya seorang anak yang bernama AAL (15 thn) seorang pelajar SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah. Kedua, kabar yang dirilis majalah Forbes (november 2011) tentang daftar orang terkaya Indonesia.


Sorry Sob, saya bukan pakar hukum, bukan ahli ekonomi, nggak mahir akuntansi, tapi kalau soal fakta seperti diatas, tentu saya bisa membacanya dan yang saya lakukan (yang katanya) sebagai penulis, adalah membuat tulisan.

Fakta ini juga yang saya paparkan di depan, anak-anak ngaji saya, biar otak mereka encer, dan ketularan saya, sebagai toekangritik (hehehe... ngeksis.com). Gini Sob, kita pakai logika pendek aja deh untuk mengenali dua fakta diatas yang harusnya jadi masalah kita bersama.

Pertama, tentang sandal jepit yang dicuri AAL. Konon katanya, sampai tulisan ini dibikin AAL diancam penjara 5 tahun gara-gara mencuri sandal yang harganya Rp. 30 ribu. Saya nggak akan bilang “Rp. 30 ribu saja”, sebab kalau namanya mencuri ya pastinya di hukum. Kalau pakai timbangan syariat islam, pencuri yang dipotong tangannya jika mencuri dengan ukuran ¼ dinar, berapa ¼ dinar itu? Silahkan nanti dihitung sendiri.

Kembali ke sandal jepit Rp. 30rb tadi, yang diancam 5 tahun penjara. Coba sekarang kita komparasi dengan pencurian (korupsi) yang dilakukan oleh Eddie Widiono misalnya, mantan Direktur Utama PT PLN dihukum 5 tahun penjara karena korupsi Rp 46 Milyar. Coba lihat angka penjaranya, koq sama 5 tahun? Sekali lagi Sob, kita pake logika pendek aja, kalo mau jujur dihitung dan dibandingkan antara AAL dan Edi, maka hukuman bagi Edi (koruptor), tidak seimbang (silahkan, kalau ada yang mau mengatakan nggak adil).

Kalau mencuri sandal jepit Rp. 30 rb, penjaranya 5 tahun, maka satu tahun penjara untuk mencuri sejumlah 6.000 rupiah. Maka biar imbang dengan patokan yang sama seharusnya seorang Eddie Widiono dipenjara sekitar 7.666.666 tahun. Kira-kira mungkin tidak seseorang dipenjara sekian tahun itu? Kalo tidak mungkin, kenapa hukumannya masih penjara? Yang lebih parah lagi, kenapa hukumnya masih dipertahankan? Pikir, pake logika pendek aja Bung.

Itu baru korupsinya seorang, bagaimana dengan korupsi jamaah anggota DPR yang tidak berani diungkap? Bagaimana kabarnya juga dengan dana balout Bank Century?, Pikir lagi, pake logika pendek aja.
Sekali lagi saya perlu bilang, saya bukan pakar hukum. Tapi, kalau ada ahli hukum yang bisa menjelaskan bahwa hukum Indonesia itu manusiawi, saya akan simak dan dengarkan, selanjutnya pasti saya akan bantah lagi J.

Kedua, soal orang terkaya di Indonesia. Sebelum saya menyoal tentang hal ini, mungkin ada yang mau menyoal saya, atau mau bilang kalau saya iri sama kekayaan mereka, atau mau melarang mereka kaya. Saya sampaikan disini, kalau saya nggak ngiri dengan mereka yang kaya, atau melarang mereka kaya. Tapi saya akan mengkritisi soal kekayaan mereka, dan (sebenarnya) mau mengajak mereka sama-sama berpikir, mengkomparasikan dengan orang miskin di negeri ini.
Data orang kaya versi Majalah Forbes (November 2011) tercatat tiga nama pengusaha terkaya di Indonesia yakni Hartono bersaudara (pemilik Djarum), Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam), dan Eka Tjipta Widjaja (Sinarmas Grup).  Harta kekayaan ketiga pengusaha tersebut masing-masing R Budi & Michael Hartono sebesar 14 miliar dolar AS atau sekitar Rp 127,4 triliun (kurs Rp 9.100), Susilo Wonowidjojo 10 miliar dolar AS (Rp 91 triliun) dan Eka Tjipta Widjaja 8 miliar dolar AS (Rp 72,8 triliun).

Ajaib Sob, tiga orang terkaya dari daftar tersebut memiliki nilai kekayaan yang setara dengan 11 persen total PDB Indonesia yang tahun ini diperkirakan mencapai US$ 752 miliar.
Sementara itu, menurut BPS penduduk miskin Indonesia tahun 2011, dengan pengeluaran kurang dari 230 ribu atau setara dengan 1 dolar amerika perhari, mencapai 30 juta jiwa. Beda lagi, kalau menggunakan indikator World Bank, standar kemiskinan internasional atau Bank Dunia  yakni kurang dari US$ 5 perhari, maka lebih dari  50,7% atau lebih dari separuh dari penduduk negeri ini masih dalam kategori miskin (sekitar 140 juta jiwa).

Kalau tadi sudah dihitung jumlah kekayaan 3 orang terkaya yang hampir menyamai 11 % total PDB Indonesia. Coba sekarang kita hitung jumlah orang miskin dikalikan penghasilan terendah versi BPS misalnya, maka  ketemu angka Rp. 6,9 Triliun. Saya akan mengatakan “6,9 triliun rupiah, saja”, kalau mau dibandingkan 1 kekayaan orang kaya Indonesia Hartono Bersaudara yang jumlahnya Rp. 127,4 triliun. Itu artinya jumlah duit orang miskin di Indonesia, hanya 18 persen dari jumlah duit yang sekarang dimiliki oleh seorang Hartono.
Padahal hitungan BPS maupun Bank Dunia untuk ukuran orang miskin Indonesia, standarnya sangat amat rendah. Bagaimana orang bisa memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), kalau dihitung pengeluarannya 230 ribu per bulan.
Disini, saya juga perlu bilang, saya juga bukan pakar akuntansi, sehingga kalau hitung-hitungan saya salah, diharap maklum. Tapi yang jelas untuk membuka mata lebar-lebar menyaksikan kesenjangan diatas, orang tidak perlu menunggu ahli akuntansi dulu. Akurrr?

Diantara Angin Segar
Saya katakan angin segar, karena sebenarnya permasalahan ketimpangan kemiskinan adiatas bisa kita atasi dengan kekayaan alam yang kita miliki. Tercatat negeri kita ini adalah negara penghasil minyak terbesar ke-29 di dunia. Kita juga memiliki cadangan gas terbesar ke-11 dunia, yakni mencapai 160 TSCF (triliunstandard cubic feet). Batu Bara, Indonesia juga kaya terbesar ke-15 dunia dengan jumlah cadangan sebanya 126 miliar ton (2009).
Tapi kekayaan itu tidak diimbangi dengan pengelolaan yang baik dan benar. Dan kalau kita jeli, inilah sebenarnya pangkal masalah ekonomi di Indonesia sebagai negara kapitalis, yakni masalah buruknya distribusi. Ini beberapa faktanya:
Berdasarkan data Neraca Energi Kementerian ESDM (2009), dari 346 juta barrel minyak mentah yang diproduksi di dalam negeri, 38% nya diekspor. Sementara pada saat yang sama kita harus impor minyak mentah 129 juta barel, atau 35% dari total produksi dalam negeri.  Koq bisa begitu? Iya, Itu karena 85 persen produksi minyak Indonesia dikuasai oleh swasta termasuk swasta asing.
Nasib yang sama, dialami oleh Gas alam Indonesia. Sudahlah produksinya dimopoli swasta asing, sebagian besar hasilnya justru dijual ke luar negeri dengan kontrak-kontrak jangka panjang. Dari total produksi 459 juta barel pada 2009, hampir 60% diekspor ke luar negeri.
Pun dengan Batubara juga sama, dimonopoli swasta. Dengan produksi sekitar 250 juta ton, 77 persen justru diekspor ke luar negeri. Kalaupun dijual ke dalam negeri termasuk kepada PLN, maka ia dijual dengan harga internasional.
Sebagai dampak dari pengelolaan yang salah diatas, ujung-ujungnya rakyat yang menanggung akibatnya, dengan harus menanggung biaya listrik dan harga-harga barang menjadi lebih mahal. Memang ada sejumlah BUMN ikut menjamah kekayaan alam dan ikut mengelolanya, tapi BUMN kita kan miskin, pastinya kalah dengan mereka yang bermodal besar. Padahal BUMN kan seharusnya, sebagai wakil dari negara (rakyat), bertanggungjawab sepenuhnya dalam hal ini. Tapi apa yang terjadi, BUMN kita keok dalam persaingan dan bahkan untuk menuntut kenaikan royalti dari perusahaan-perusahan tambang atau memiliki sebagian sahamnya saja seperti pada kasus kepemilikan 7% saham PT Newmont, Indonesia tak berdaya.
Begitulah, kalau soal pertambangan, pemerintah dan rakyat kita ini memang sudah dibodohi oleh para pemilik modal, baik swasta asing maupun swasta lokal. Contoh kasus, PT. Freeport yang kita hanya kecipratan 10% saja. Yang teraktual soal izin pertambangan PT. SMN di Bima, yang berakhir bentrok, juga merupakan fakta bahwa negeri ini sudah dibeli oleh para konglomerat, dan pantas disebut sebagai negara korporasi.

Urun Rembug Solusi
Sob, menurut logika pendek saya, penyebab dari masalah diatas adalah kelemahan atau lebih tepatnya kesalahan sistem kapitalisme dalam mendistribusikan kekayakan di tengah-tengah masyarakat. Karena fokus utama dari sistem ekonomi kapitalis adalah pertumbuhan, maka menurut mereka semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai, semakin tinggi pula kesejahteraan yang dapat dicapai. Tapi nyatanya? Apa yang bisa bersama kita saksikan, kekayaan yang dihasilkan dari pertumbuhan tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang yang mereka disebut korporat. Sementara rakyat, yang sebenarnya jumlahnya lebih banyak dari orang terkaya di negeri, malah tersisih dan masih duduk di bangku-bangku kemiskinan negeri ini.

Berbagai cara pun telah ditempuh untuk menambal sulam sistem kapitalis ini, diantaranya pemberian subsidi dan program jaminan sosial. Tapi lagi-lagi kembali kita lihat hasil nyatanya, masalahnya tidak juga terselesaikan. Kemiskinan, pengangguran, perbedaan pendapatan yang tinggi, malnutrisi, akses kesehatan yang mahal tetap menjadi masalah yang tak dapat dipecahkan oleh sistem ini. Mereka tak menyadari, yang mereka lakukan hanya menambal luka, bukan menyembuhkan bahkan mengamputasi luka yang ada di tubuh negeri ini, berupa sistem kapitalisme. Kapitalisme telah terbukti tak mampu menjamin kebutuhan pokok dan kebutuhan mendasar rakyatnya, yang ada malah mengibiri, mengabaikan hak-hak rakyat nya.
Dalam Islam, jaminan kebutuhan dasar yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan maupun kebutuhan pokok berupa kesehatan, pendidikan dan juga keamanan menjadi tanggung jawab Negara. Secara praktis, hal ini telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para khalifah sesudahnya.
Jadi, bagi yang otaknya encer, pasti akan berpikir beralih dari sistem kapitalisme yang sudah nyata bobroknya menuju sistem yang diridhai Allah, sistem Islam. (lbr/from various sources)

No comments:

Post a Comment