Sunday 14 October 2012

Mengapa Saya Memutuskan Menikah Dengannya


Oleh Dewi, 25 Juni 2008 melalui Milist.
Ada beberapa hal yang membuat saya memutuskan menikah dengannya.
Terutama adalah kesiapannya bertanggung jawab secara moral, melindungi,
dan mengayomi, saya sebagai calon istrinya waktu itu.
Walaupun sebelum menikah, dia sempat mempertanyakan.
Mampukah saya menerima dia apa adanya?
Dengan status masih calon pegawai negeri sipil.
Yang gajinya hanya Rp. 450.000,-.
Mulanya saya ragu, karena saya yang terbiasa dibesarkan dari keluarga
yang selalu memanjakan saya, tidak bisa memasak, mencuci, membersihkan
rumah, pendeknya tidak bisa diajak hidup susah.
Jauh dari kreteria istri sempurna.
Mama yang wanita karier, memberikan pengasuhan lewat bantuan
pengasuh/pembantu yang kadang setiap bulan berganti-ganti.
Beliau mengajari saya bagaimana menjadi wanita yang tangguh dan mandiri,
namun lupa memberikan pelajaran berharga untuk menjadi wanita
sesungguhnya, yaitu wanita tempat bernaung suami, wanita yang mampu
memberikan ketenangan ketika suami berada dirumah.
Pendeknya saya perlu belajar bertahun-tahun untuk menjadi Isti ideal
termasuk Ibu yang baik bagi anak-anak saya.
Tapi saya dan suami yakin bahwa pernikahan dimanapun berada pasti
membutuhkan proses untuk beradaptasi.
Membutuhkan proses menuju bijaksana dan dewasa.
Yang penting masing-masing pasangan harus mau menerima kekuarangan dan
kelebihan pasangan masing-masing. (say that “Honey, Love me just the
way I am”).
Dan keyakinan untuk menikah dengan pasangannya, memprediksikan kemampuan
menjalani hidup bersamanya.
Itu yang paling penting.
Yah…keyakinan itu yang paling luar biasa, membawa kami berjuta-juta
lebih tabah dalam menghadapi semua cobaan.
Hebohnya….Awal Menikah!.
I am not to young to be married
Menikah di usia 22 tahun, lulus kuliah, langsung dilamar dan menikah 1
bulan kemudian :-D
Sama sekali diluar bayangan….mimpi aja kagak…hehehe.
Bahkan banyak teman, handai tolan, dan juga keluarga dekat yang
terkaget-kaget selalu kata mereka “Wes, Siap ta Wi?”
(sudah siapkah kamu Dewi?)
Saya selalu mengangguk mantab, demi melihat mata suami yang penuh
keyakinan tanpa basa-basi, maka saya memiliki keberanian lebih untuk
siap menanggung resiko apapun dalam pernikahan kami.
Karena hidup itu adalah konsekuensi dari pilihan,bukan?
Dan lagi yang namanya jodoh sudah didepan mata, maka tidak boleh
ditolak.
Lagi pula suami, orang yang saya kenal hanya 3 bulan-an lamanya, adalah
orang yang serius membina hubungan untuk langsung ke jenjang pernikahan.
Alhamdulillah.
Usia kitapun tidak terpaut jauh, dan untuk ukuran laki-laki mungkin dia
termasuk yang menikah muda, di usia 27 tahun.
Kata suami dia ingin mengikuti sunnah Rasul menikah di usia ke-27
hehehe…Ah.. nih…si E’mas.
Sedang saya, adalah makhluk imut, yang nekat juga hehehe.
Nekat karena berani menikah hanya dengan modal gaji suami yang
Rp. 450.000,- aja dan juga saya yang belum bekerja, karena habis lulus
langsung menikah.
Benar-benar kata kunci ajaib untuk pernikahan abad ke-21 !
Banyak yang mengkritik, meragukan, atau bahkan menghakimi.
Tapi kenyataannya pernikahan kami harus tetap dijalani.
Mantab seranjang dengannya
Menikah hari pertama hingga satu bulan adalah masa penuh kejutan.
Kebiasaan molor bangun pagi, tidak bisa memasak, membenahi rumah, dan
sebagainya membuat saya malu dan menangis.
Sempat jatuh sakit karena stress berat.
Tapi suami alhamdulillah bisa memahami.
Kelemahan saya menjadikan saya memiliki tekad, terus belajar dan terus
belajar.
Tidak hanya untuk pernikahan kami tapi juga untuk diri saya sendiri.
Toh, saya pada akhirnya akan menjadi calon ibu, itu yang ada dalam
pikiran saya.
Seminggu setelah menikah kami pindah dari rumah orang tua saya untuk
kerumah kami sendiri.
Sekalipun masih sangat berantakan, dan rumah itu juga hasil sumbangan
dari mertua, sementara mertua sudah pindah di rumah yang lainnya. ^_^
Menikah adalah untuk ibadah, benarkah ?
Jawabannya adalah iya.
Karena dalam pernikahan sangat dibutuhkan banyak kebijakan dan
keikhlasan untuk menjalani berbagai macam cobaan hidup berdua.
Benar-benar ibadah sepanjang masa.
Bila kita menikah maka kita harus menghadapi beberapa konsekuensi dari
pernikahan itu sendiri, mulai dari menjadi istri hingga menjadi seorang
ibu.
Persiapan menjadi seorang Ibu, tentu saja harus di dukung pasangan.
Cepat atau lambat keinginan untuk memperoleh keturunan juga merupakan
bahan pertimbangan bagi pasangan calon sebelum menikah.
Nah, pada pernikahan kami, sejak awal menikah kami memang tidak pernah
menunda-nunda memiliki momongan, walaupun keadaan ekonomi sedang
gonjang-ganjing hehehe.
Kami termasuk pasangan yang mempercayai, rejeki adalah Allah yang
mengatur, dan setiap anak membawa rejekinya masing-masing.
Jadi di hari pertama menikah saya menyatakan mantab seranjang dengannya
hehehehe (;-) )
Gaji 450 Ribu, Cukupkah?
Pertama kali, menerima gaji suami ditangan, selalu disertai dengan
cucuran air mata haru.
Melihatnya tersenyum bangga, memeberikan amplop yang ada ditangannya,
yang walaupun untuk makanpun masih harus sibuk memutar otak “gali
lubang tutup lubang
Respon pertama adalah kaget, tapi segera menahannya demi melihat
ketulusan dan keikhlasan suami.
Yah, saya harus Ikhlas menikah dengan suami yang hanya bergaji Rp.
450.000,- sebulan, dan entah untuk beberapa lama lagi.
Memahami dan menikmati arti perjuangan panjang mahligai rumah tangga
kami.
Menghargai tetes keringat yang benar-benar dia usahakan untuk
kepentingan kehidupan kami berdua.
Terima kasih sayang……..!.
Begitupun satu bulan, otak masih tertatih-tatih berpikir, bagaimana cara
menambah penghasilan, hingga ide cermelang muncul dibenak satu bulan
kemudian, untuk mencoba kreatifitas, membongkar, gudang pakaian,
mengumpulkan baju yang masih cukup bagus, memangkasnya disana-sini,
membuat sketsa mode baju, dan kemudian memodifikasi dengan berbagai
aksen yang sedang trend saat ini.
Membungkusnya dan menelpon beberapa teman, saudara, bahkan tetangga
untuk main kerumah.
Nekat !, gila !, mengenakan rancangan sendiri, sambil memamerkan hasil
karya, yang sebagian digantung rapi di tempat jemuran yang saya beli
murah hanya Rp.65.000,- pada pedagang kaki lima yang kebetulan lewat
didepan rumah.
Baju-baju yang digantung, saya masukkan dalam plastik tipis, tempat
baju, dan sebagian sisanya dilipat rapi dimasukkan dalam plastik, dan
diberi bandrol “Second Keren”.
Alahmdulillah banyak yang suka, dagangan yang hampir tanpa modal ini
alias modal tipis, laris manis bak kacang goreng.
Banyak pesanan membuat saya makin kewalahan dan blusukan di pasar-pasar
baju second dari luar yang kira-kira masih bisa saya modifikasi lagi.
Dari sini, saya bisa menggaji satu pembantu dan satu orang baby sister
untuk anak, bahkan bisa mencicil membangun tempat kos di lahan luas
belakang rumah kami.
Percayalah pernikahan yang diniatkan untuk ibadah, tidak akan pernah
sesulit yang kita bayangkan.
Soal gaji atau rejeki serahkan pada Allah SWT.
Jadi salahkan jika saya katakan gaji itu dari Allah.
Selama manusia berusaha, sabar, dan berdoa, apa sih janji Allah yang
diingkari-Nya? .
Tidak ada satupun.
Allah selalu ada untuk memenuhi janji-janjinya kapada Makhluk-Nya.
Rasa syukur selalu terpanjat, karena hingga detik ini saya sudah mampu
memasukkan anak ke sekolah terbaik, memberikan gizi terbaik, dan hidup
penuh limpahan rahmat dan kasih sayang Allah.
Diberikan suami terbaik, anak-anak terbaik, juga tetangga, dan
teman-teman yang luar biasa baik.
Keberuntungan saya walaupun kecil dimata orang yang melihat hidup dari
segi materi saja, tetap tidak pernah membuat saya lupa mengucap syukur
kepada-Nya.
Demi melihat banyak orang-orang yang lebih menderita, lebih susah, lebih
berat perjuangannya dibanding saya, termasuk kedua orang tua saya.
Jika ditanya arti menikah menurut saya adalah Perjuangan tanpa akhir
dengan ibadah sepanjang masa.

2 comments:

  1. mmm luar biasa cukup membuat saya merasa yakin dengan rencana ini untuk menikah..

    thanks..

    ReplyDelete