Inilah sebuah kisah ketika suatu teriakan seorang muslimah mampu membangkitkan ghirah sepasukan tentara muslim untuk mengembalikannya pada posisi dan kehormatan semula.
Diriwayatkan
oleh Ibnu Hisyam tentang peristiwa ini, bahwa seorang wanita Arab pergi
ke bani Qainuqa’ dengan membawa sebuah barang yang hendak di jual di
pasar itu. Kemudian ia duduk di sana, di sebelah tukang sepuh. Mereka
mengingingkan darinya agar dia mau membuka wajahnya dan ia menolak.
Seketika si tukang sepuh langsung mengikatkan ujung pakaian wanita
muslimah tadi dengan punggungnya. Sehingga ketika si wanita muslimah
berdiri, terbukalah auratnya. Mereka pun tertawa girang dan menjeritlah
wanita itu. Mengetahui hal ini dengan cepat seorang muslim mendekat dan
membunuh tukang sepuh itu (rupanya dia seorang Yahudi). Adegan
berikutnya, teman-teman si Yahudi balas mengeroyok dan membunuh si
pemuda muslim. Maka bangkitlah emosi kaum muslimin dan terjadilah
ketegangan yang menyulut peperangan dengan bani Qainuqa’ (Sirah
Nabawiyah, Ibnu Hisyam 2/47).
Rasulullah menyiapkan pasukan untuk memberi pelajar kepada mereka dan berakhir dengan pengusiran bani Qainuqa dari Madinah.
Sebuah
teriakan yang dikumandangkan oleh seorang wanita dapat membuka sekian
telinga, sekian jantung yang masih berdetak, yang di dalamnya mengalir
darah menyatu dengan ghirah dan wibawanya. Jeritan yang membangkitkan
para rijal (lelaki) sejati. Tertanamlah dalam jiwa kaum muslimin
pembelaan terhadap kehormatan.
Sejak
detik itu, wanita terpelihara kehormatannya, didengarkan jeritannya.
Setiap mereka merasa bahwa wanita adalah kehormatan, walaupun tiada
hubungan dengannya kecuali jalinan aqidah Islam.
Mu’tashim
(salah seorang khalifah Daulah Abasiyah), ketika mendengar seorang
wanita dianiaya dan dihina kehormatannya menjerit “Wa Mu’tashima”
(tolonglah, hai Mu’tashim), tersentaklah hatinya oleh rintihan itu,
bergolak darah di jantungnya. Ia mulai menyiapkan perlengkapan dan
mengirim pasukan dari istana kekhalifahan menuju tempat teriakan bergema
itu untuk memberi pelajaran kepada musuh dan mengembalikan eksistensi
dan kehormatan wanita itu. Mu’tashim dan pasukannya baru kembali setelah
berhasil menuntaskan semuanya.
Namun
sekarang, berapa banyak jeritan yang menggema dan membentur
dinding-dinding bisu pemerintahan atau menghilang begitu saja. Jeritan
muslimah kita di berbagai belahan dunia ini menggema tanpa ada yang
peduli. Sungguh telah mati terkubur kejayaan generasi pertama, telah
tiada generasi Mu’tashim dan hilang pula semangat dan wibawa Mu’tashim.
Jeritan
wanita muslimah tidak lagi bergema, tidak ada ghirah (semangat) yang
tersentak, darah yang begolak. Seandainya jeritan-jeritan itu membentur
dinding gunung, pastilah ia tergetar. Namun ternyata ia hanya memanggil
para lelaki yang hati mereka telah membatu, bahkan lebih keras.
Tersembunyi kejantanan mereka, tiada mereka tunjukkan nyali mereka
kecuali kepada saudara sendiri. Innalillahi wa inna ilaihi rajiu’un.
Oleh: Abdul Hamid Jasim Al Bilali dalam Waqafat Tarbawiyyah Fii Assiratin Nabawiyah
No comments:
Post a Comment