Showing posts with label AL-QUR`AN. Show all posts
Showing posts with label AL-QUR`AN. Show all posts

Sunday 1 January 2012

Doa Ashabul Kahfi: Memohon Rahmat dan Bimbingan Allah Saat Terancam


Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

"(Ingatlah) tatk`la pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"." (QS. Al-Kahfi: 10)

Doa di atas dibaca para pemuda Ashabul Kahfi saat memasuki goa. Mereka berlindung ke dalamnya karena khawatir akan keselamatan agama mereka. Karena raja yang berkuasa di daerah tempat tinggal mereka membenci dan memusuhi keyakinan para Ashabul Kahfi.

Banyak mufassirin generasi salaf dan khalaf yang menyebutkan, para pemuda tersebut terdiri dari anak-anak raja Romawi dan orang-orang terhormat mereka yang bersatu karena iman. Saling bantu-membantu menegakkan ibadah kepada Allah semata dalam tempat ibadah yang mereka bangun bersama. Terus bertahan demikian sehingga mereka diketahui oleh kaumnya. Kemudian mereka dilaporkan kepada raja mereka. Sang raja memanggil mereka untuk datang menghadap kepadanya. Lalu ia bertanya tentang hal ihwal dan kegiatan mereka. Lalu mereka menjawab dengan sebenarnya dan mengajak raja itu untuk menyembah Allah Ta'ala.

وَرَبَطْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَال؏وا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَهًا لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا هَؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آَلِهَةً لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا

"Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran". Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk di sembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka?) Siapakah yang lebih lalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?" (QS. Al-Kahfi: 14-15)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Allah Ta'ala berfirman: Kami jadikan mereka bersabar atas tindakannya menentang kaum mereka sendiri, meninggalkan kampung halaman mereka dan meninggalkan kehidupan yang enak, kebahagiaan, dan kenikmatan."

Sesudah mereka menyeru raja untuk beriman kepada Allah, maka raja menolak seruan tersebut. Bahkan ia mengancam mereka dan menyuruh menanggalkan pakaian yang mereka kenakan, yang padanya terdapat perhiasan kaumnya. Kemudia ia memberikan waktu kepada mereka untuk berpikir supaya rela meninggalkan keyakinan mereka.

Kemudian Allah menurunkan rahmat dan kasih sayangnya kepada para pemuda Ashabul Kahfi, di mana pada masa penangguhan itu mereka berhasil melarikan diri demi mempertahankan agama yang dianutnya dari fitnah. Lalu mereka ber'uzlah, dan Allah menurunkan ilham-Nya kepada mereka agar berlindung ke dalam gua, mencari tempat di sana sehingga raja dan kaumnya kehilangan jejak mereka. Hal ini diterangkan dalam firman-Nya,

وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرفَقًا

"Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu." (QS. Al-Kahfi: 16)

Raja dan kaumnya terus mencari para pemuda Ashabul Kahfi, tapi tidak menemukannya. Bahkan Allah membutakan raja dan kaumnya untuk mendapatkan berita para pemuda tersebut. Hal ini sebagaimana Allah membutakan kaum kafir Quraisy yang memburu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan Abu Bakar al-Shiddiq, saat keduanya bersembunyi di gua Tsur dalam keberangkatan hijrah ke Madinah. Padahal Kafir Quraisy telah melalui tempat persembunyian Rasulullah dan Abu Bakar, namun mereka tidak mendapatkan keduanya.

Nah, pada saat mereka akan memasuki gua di sebuah gunung, tempat sembunyi dan berlindung dari raja dan kaumnya yang kafir, mereka berdoa kepada Allah Ta'ala saat memasukinya, memohon rahmat dan kebaikan-Nya,

رَبَّنَا آَتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"." (QS. Al-Kahfi: 10)

Maksudnya: Anugerahkan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, yang dengannya Engkau rahmati kami dan selamatkan kami dari kaum kami. Dan tetapkanlah petunjuk yang lurus kepada kami dalam urusan kami. Dengan kata lain, jadkanlah kesudahan akhir kami di bawah petunjuk yang lurus. Sebagaimana doa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ

"Ya Allah, jadikanlah baik akhir kesudahan kami dalam semua urusan, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan azab akhirat." (HR. Ahmad dari Busr bin Arthah al-Qurasyi)

Kemudian Allah menurunkan urusan-Nya kepada mereka, menjadikan mereka tertidur bertahun-tahun lamanya sesaat sesudah mereka memasuki goa, yakni 309 tahun. Dan saat mereka terbangun, kondisi masyarakat sudah berubah. Raja yang berkuasa adalah seorang muslim yang menurut satu riwayat namanya, Yandusus. Rakyatnya juga demikian. Sehingga saat raja dan rakyatnya menemui mereka di dalam goa, para Ashabul Kahfi merasa bahagia dan bercengkrama bersamanya. Kemudian mereka meninggalkan para pemuda tersebut dan mengucapkan salam kepada mereka. Lalu mereka kembali ke tempat pembaringan mereka sehingga Allah mewafatkan mereka. Wallahu Ta'ala a'lam. 

..**Ikutilah Agama yang Diridhai (Tafsir TQS Ali Imran [3]: 19)**..


Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya (TQS Ali Imran [3]: 19).
enarkah manusia bebas memilih agama sesukanya? Kalau ditanyakan kepada ide HAM yang dibuat Boleh Barat, jawabnya pasti: Ya! Agama adalah hak setiap manusia. Oleh karenanya, manusia bebas memilih agama apa pun, atau bahkan tidak memeluk agama apa pun.
Bagaimana jika ditanyakan kepada Islam? Ayat di atas memberikan jawaban jelas atas pertanyaan itu. Agar lebih jelas, ayat ini perlu dikupas lebih dalam.
Yang diridhai Allah
Allah SWT berfirman: Inna al-dîn 'indal-Lâh al-Islâm (sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam). Pada awalnya, kata al-dîn secara bahasa bermakna al-jazâ' wa al-mukâ'ah (balasan dan imbalan). Demikian Ibnu Manzhur dalam Lisân al-'Arab. Oleh karena itu, kata yawm al-dîn berarti yawm al-jazâ' (hari pembalasan).
Kemudian–menurut Fakhruddin al-Razi—kata al-thaâ'ah (ketaatan) disebut sebagai al-dîn karena ketaatan merupakan sebab terjadinya pembalasan. Dijelaskan al-Raghib al-Asfahani, kata al-dîn juga digunakan untuk menyebut al-syarî'ah wa al-millah (syariah dan agama). Akan tetapi, ungkapan tersebut untuk menunjuk ketaatan dan ketundukan terhadap syariah dan agama. Pengertian ini terkandung dalam firman Allah SWT: Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? (TQS al-Nisa' [4]: 125).
Dalam konteks ayat ini, sebagaimana diterangkan Abu Hayyan al-Andalusi, kata al-dîn dalam ayat ini bermakna al-millah wa al-syar' (agama dan hukum, undang-undang). Yakni, al-dîn al-maqbûl aw al-nâfi' aw al-muqarrar (agama yang diterima, bermanfaat atau yang ditetapkan).
Sedangkan al-Islâm, secara bahasa berarti al-istislâm wa al-inqiyâd al-tâm (penyerahan diri dan ketundukan total). Demikian Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafâsîr. Pengertian ini terdapat dalam beberapa ayat. Terutama ayat-ayat yang memberitakan tentang kisah para nabi sebelum Rasulullah SAW. Mereka disifati sebagai muslimûn yang berarti munqâdûn (orang-orang yang tunduk dan berserah diri).
Adapun secara syar'i, al-Islam merupakan al-dîn (dengan aqidah dan syariahnya) yang diturunkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW untuk seluruh manusia. Pengertian tersebut disimpulkan dari beberapa ayat, seperti QS al-Maidah [5]: 3 dan Ali Imran [3]: 85. Juga dari ayat ini. Dalam semua ayat tersebut, kata al-Islâm disertai dengan kata al-dîn; itu menunjukkan bahwa Islam merupakan sebuah al-dîn.
Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh Jibril tentang Islam, beliau pun memberikan penjelasan yang berbeda dengan makna bahasanya. Beliau bersabda:
Islam itu adalah engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadlan, dan mengerjakan ibadah haji ke baitullah jika engkau mampu melakukannya (HR Muslim dari Umar ra).
Semua nash tersebut menunjukkan bahwa kata Islam telah dipindahkan maknanya; dari makna bahasa menjadi makna syar'i. Oleh karena itu, semua kata yang berakar dari kata al-islâm—seperti bentuk al-fi'l: aslama, yuslimu, aslim, atau bentuk al-ism: muslim—jika diucapkan tanpa suatu qarinah (indikasi), harus dipahami dengan makna syar'i. Ini pula makna al-Islâm dalam ayat ini.
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan al-Samarqandi dan al-Baidhawi, ayat ini memberikan penegasan bahwa agama yang diridhai Allah SWT adalah Islam. Atau lebih tepatnya, sebagaimana dijelaskan Syekh Taqiyuddin al-Nabahani, agama yang diterima di sisi Allah setelah diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah Islam.
Kesimpulan tersebut sejalan dengan QS al-Maidah [5]: 3 yang menegaskan bahwa Allah SWT telah meridhai Islam sebagai agama buat Rasulullah
SAW dan umatnya. Juga QS Ali Imran [3]: 85 yang menyatakan bahwa siapa pun yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dari dan di akhirat kelak menjadi orang-orang yang merugi. Juga sabda Rasulullah SAW: Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Sikap Ahli Kitab dan Akibatnya
Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ[i]khtalafa al-ladzîna ûtû al-Kitâb illâ min ba'di mâ jâa al-'ilm baghy[an] bayna-hum (tiada berselisih orang-orang yang telah diberi al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian [yang ada] di antara mereka). Lafadz al-ladzîna ûtû al-Kitâb menunjuk kepada Yahudi dan Nasrani. Karena lafadznya besifat umum, maka cakupannya pun menyeluruh, meliputi mereka semua.
Dalam ayat ini tidak disebutkan tentang perkara yang mereka perselisihkan. Menurut al-Qurthubi dan al-Wahidi, perkara itu adalah tentang kenabian
Muhammad SAW. Mahmud al-Hijazi dalam al-Tafsîr al-Wâdhih juga mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai khâtam al-anbiyâ' telah diberitakan kepada mereka. Sehingga mereka mengenal benar nabi penutup itu sebagaimana layaknya mereka mengenal anak-anaknya (lihat QS al-Baqarah [2]: 146).
Akan tetapi, ketika nabi penutup itu telah diutus dengan membawa risalah, kitab, dan bukti-bukti yang nyata, yakni min ba'di mâ jâa al-'ilm (sesudah datang pengetahuan kepada mereka), mereka justru berselisih tentangnya. Ada yang mengimaninya, namun tidak sedikit yang mengingkarinya. Pengingkaran mereka bukan disebabkan karena kebodohan dan ketidaktahuan. Bukan pula karena bukti yang dibawa Nabi SAW meragukan sehingga layak diingkari. Namun disebabkan oleh sifat dengki mereka. Yakni: baghy[an] baynahum. Artinya, hasad[an] baynahum (disebabkan oleh kedengkian di antara mereka). Tentang kedengkian mereka juga diberitakan dalam QS al-Baqarah [2]: 109.
Kemudian ditegaskan: wa-man yakfur bi âyâtil-Lâh Fa innal-Lâh sarî' al-hisâb (barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya). Ini merupakan ancaman keras bagi siapa pun yang ingkar terhadap Islam, sebagian atau seluruhnya. Cepatnya hisab di sini menggambarkan cepatnya azab yang bakal ditimpakan kepada mereka. Sebab, kekufuran sebagaimana diberitakan dalam banyak ayat menyebabkan pelakunya mendapatkan azab yang pedih dan dahsyat.
Dengan demikian, jelaslah. Manusia tidak diperbolehkan memilih agama sesukanya. Sebab, Allah SWT telah menetapkan agama yang diridhai-Nya.
Seluruh manusia wajib memeluk dan mengikutinya. Memang selama di dunia, manusia diberi kesempatan untuk memeluk agama selainnya. Akan tetapi, pilihannya itu mengandung konsekuensi yang amat berat. Dia harus menanggung azab yang maha dahsyat di akhirat kelak. Tak ada alasan yang dapat diterima untuk membenarkan kekufuran mereka. Termasuk alasan HAM dan kebebasan yang kerap diteriakkan semasa hidup di dunia. Tanpa ampun, mereka dipaksa menghuni neraka selama-lamanya. Masih ada yang tertarik dengan ide HAM dan kebebasan? Wal-Lâh a'lam bi al-shawâb.[]

Saturday 31 December 2011

..**Nasib Pembenci Al Qur’an, (Tafsir QS Muhammad [47]: 8-9)**..


Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menyesatkan amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Alquran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka (TQS Muhammad [47]: 8-9).
Alquran diturunkan sebagai petunjuk dari Allah SWTbagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Barangsiapa yang mengimani dan mengamalkannya secara kaffah, kebahagiaan di dunia dan akhirat akan didapat. Sebaliknya, siapa pun yang mengingkari, apalagi membencinya, akan mengalami nasib menyedihkan.
Ayat ini adalah di antara yang memberitakan nasib yang dialami kaum kafir yang membenci Alquran.
Celaka dan Disesatkan Amalnya
Allah SWT berfirman: Wa al-ladzîna kafarû fata’s[an] lahum(dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka).Dalam ayat sebelumnya diberitakan mengenai balasan dan anugerah bagi orang-orang yang mau menolong agama-Nya. Allah SWTakan menolong dan meneguhkan kedudukanorang-orang yang menolong agama-Nya. Yakni orang-orang yang bersedia tunduk, terikat, dan mengamalkan perintah dan larangan-Nya.
Kemudian dalam ayat ini diberitakan mengenai nasib orang-orang yang bersikap sebaliknya:al-ladzîna kafarû. Yakni orang-orang yang mengingkari sebagian atau seluruh perkara keimanan. Balasan yang bakal mereka terima adalah: fata’s[an] lahum.
Menurut al-Syaukanidan al-Qinuji, makna asal kata al-ta’s adalah al-inhithâth wa al-‘itsâr(kemerosotan dan kebinasaan). Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penafsiran yang dikemukakan oleh ulama. Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Juraij menafsirkannya bu’d[an] lahum(menjadi laknat terhadap mereka). Menurut al-Sudi, khuzn[an] lahum (kesedihan bagi mereka). Ibnu Zaid berkata, syaqâ`[an] lahum (kesengsaraan dan kemalangan bagi mereka). Al-Hasan memaknainya sebagai syatm[an] lahum minal-Lâ(cacian dari Allah kepada mereka)Tsa’lab mengartikannyahalâk[an] lahum (kehancuran, kebinasaan bagi mereka). Al-Dhahhak berkata, khaybat[an] lahum (kegagalan bagi mereka). Demikian pemaparan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Ibnu Jarir al-Thabari menggabungkan beberapa panfsiran tersebut, yakni hizy[an] lahum wa syaqâ` wa balâ(kehinaan, kesengsaraan, dan bencana bagi mereka).
Kata al-ta’s juga digunakan dalam sabda Rasulullah SAW: Ta’isu ‘abd al-dînâr wa al-dirhâm wa al-qathîfah wa al-khamîshah, in u’thiya radhiya wa in lam yu’thâ lam yardha(kecelakaan bagi hamba dinar, dirham, sutra, dan gamis. Apabila diberi, dia ridha. Dan apabila tidak diberi, dia tidak ridha, HR al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Dijelaskan Fakhruddin al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghayb, ayat ini merupakan tambahan untuk menguatkan hati kaum Mukmin. Ketika dalam ayat sebelumnya disebutkan: wa yutsabbit aqdâmahum (dan Dia meneguhkan kedudukanmu), maka ada kemungkinan muncul anggapan bahwa orang kafir bisajatuh dan teguhuntuk beperang. Sehingga dalam peperangan, terjadi saling bunuh, saling serang, saling tikam, dan saling pukul. Maka muncullah kesulitan besar. Kemudian Allah SWT menegaskan bahwa kalian (orang-orang Mukmin) memiliki keteguhan. Sebaliknya mereka (orang-orang kafir) itu musnah, berubah, dan binasa, sehingga tidak ada keteguhan mereka. Penyebabnya jelas, tuhan-tuhan mereka adalah benda mati yang tidak mempunyai kekuatan dan kemampuan berhadapan dengan Dzat yang memiliki kekuatan. Maka tuhan-tuhan mereka itu tidak berguna untuk mencegah dan membatalkan keputusan Allah SWT atas mereka, yakni kehancuran.
Di samping itu juga: Wa adhalla a’mâlahum (dan Allah menyesatkan amal-amal mereka). Kata al-dhalâberartial-‘udûl ‘an al-tharîq al-mustaqî(menyimpang dari jalan yang lurus). Kebalikannya adalah al-hidâyah (petunjuk). Demikian al-Raghib al-Asfagani. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, frasa ini berarti Allah menjadikan amal mereka dilakukan tapa petunjuk dan istiqamah. Sebab, amal mereka dilakukan karena ketaatan terhadap syetan. Bukan ketaatan kepada al-rahman.Al-Syaukani dan al-Jaiziri menafsirkan frasa ini sebagaiabthlahâ waja’alahâ dhâi’at[an] (menjadikannya sia-sia dan lenyap).
Dikemukakan Fakhruddin a-Razi, ayat ini memberikan isyarat yang menjelaskan tentang perbedaan nasib orang-orang kafir yang telah mati dengan orang-orang Mukmin yang terbunuh (dalam medan peperangan). Mengenai orang-orang Mukmin tersebut,Allah SWT berfirman: Dan orang-orang yang gugur pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka (TQS Muhammad [47]: 4). Sedangkan terhadap orang-orang kafir yang mati, Allah SWT menghapus dan melenyapkan semua amalnya.
Karena Membenci Alquran
Setelah diberitakan mengenai hukuman bagi kaum kafir, dalam ayat berikutnya dijelaskan perkara yang menjadi penyebabnya. Allah SWT berfirman: Dzâlika bi annahum karihû mâanzalal-Lâh lahum (yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah [Alquran]). Kata dzâlikamerupakan isyârah yang merujuk kepada kalimat sebelumnya, yakni kecelakaan dan lenyapnya amal orang-orang kafir. Sedangkan frasa bi annahum memberikan makna sebab. Artinya, semua kejadian yang menimpa mereka itu disebabkan sikap mereka: karihû mâ anzalal-Lâh lahum.
Menurut Ahmad Mukhtar dalam Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, kata kariha al-syakhsh fi’l al-sûberarti maqatahu, walam yuhibbuhu, abghadhahu (membenci dan tidak menyukainya).       Sedangkan yang dimaksud dengan mâanzalal-Lâh lahum dalam ayat ini adalah Alquran, beserta semua isinya, baik dalam perkara aqidah maupun syariah.
Telah maklum bahwa Alquran diturunkan sebagai hud[an] (petunjuk), syifâ(obat),danrahmah (kasih sayang). Juga mengeluarkan manusia min al-zhulumât ilâ al-nû(dari kegelapan menuju cahaya). Di dalam Alquran pula penjelasan haq dan batil, halal dan haram, tata cara ibadah, dan sebagainaya. Pendek kata, Alquran merupakan petunjuk hidup yang benar bagi seluruh manusia.
Oleh karena itu, ketika Alquran diingkari, apalagi dibenci, pelakunyadipastikan tidak akan bisa mengerjakan ibadah dan amal shalih lainnya dengan benar. Sebab ketentuan ibadah dan amal shalih bukan berdasarkan akal, namun oleh syara’ yang bersumber dari Alquran.
Kebencian terhadap Alquran yang di dalamnya terdapat penjelasan tentang tauhid, akan membuat pelakunya menegasikan tauhid dan lebih memilih syirik. Sementara syirik menkadi penyebab terhapusnya pahala. Allah SWT berfirman: Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu(TQS al-Zumar [39]: 65).
Alquranjuga berisi berita tentang akhirat. Orang yang mengingkari dan membencinya, tentulah tidak akan beramal untuk akhirat. Semuanya dikerjakan untuk mengejar dan meraih kenikmatan dunia. Karena itu dicari, maka wajar saja jika mereka tidak berhak mendapatkan bagian di akhirat.
Allah SWT pun berfirman: Faahbatha a’mâlahum(lalu Allah menghapuskan [pahala-pahala] amal-amal mereka). Kata habitha al-‘amal berarti habatha, fasada, bathala, dzahaba, suda[n] (terhapus, rusak, batal, lenyap, sia-sia). Sehingga makna ahbatha-Lâh al-‘amal adalah Allah membatalkan dan melenyapkan pahalanya. Demikian penjelasan Ahmad Mukhtar. Makna itu pula yang terdaapt dalam ayat ini.
Menurut al-Qinuji, yang dimaksud dengan amal di sini adalah amal yang terlihat secara kasat mata sebagai amal kebaikan meskipun pada asalnya tetap batil. Sebab, amal orang kafir tidak diterima sebelum keislaman mereka. Tak jauh berbeda, al-Thabari juga menjelaskan bahwa Allah SWT telah membatalkan amal yang mereka kerjakan di dunia. Ditegaskan pula olehnya, ketentuan ini berlaku untuk semua orang kafir.
Mengenai terhapus dan sia-sianya amal perbuatan orang juga ditegaskan dalam banyak ayat, seperti QS al-A’raf [7]: 147). Juga dalam al-Baqarah [2]: 217, Ali Imran [3]: 21-22, al-Maidah [5]: 5 dan 53, al-An’am [6]: 88.
Demikianlah nasib yang menimpa kaum kafir. Mereka mendapatkan kehinaan, kekalahan, kesengsaraan, dan penderitaan selama-lamanya. Semua amal yang dikerjakan sia-sia, lenyap, dan tidak berguna sedikit pun bagi mereka. Semua itu disebabkan karena kekufuran mereka, terutama kebencian mereka terhadap Alquran beserta ajarannya, baik sebagian atau seluruhnya.
Ancaman ayat ini seharusnya membuat para pengidap Islam phobiasegera sadarJuga mereka yang suka menyebarkan kebencian dan sikap antipati terhadap Islam, syariah, jihad dengan makna yang sebenarnya (yakni perang di jalan Allah), dan daulah khilafah seraya menuduh para pejuangnya sebagai penganut radikalisme dan fundamentalisme, bahkan pelaku terorisme yang harus dibasmi. Umat Islam haruswaspada dan tidak boleh terpedaya oleh propaganda busuk mereka yang dapat menggelincirkan kita dan mengekor sikap mereka yang benci terhadap Islam. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1.      Nasib orang kafir akan hina, celaka, dan sengsara. Amal mereka juga terhapus dan sia-sia.
2.      Perkara yang menjadi penyebab penderitaan kaum kafir itu adalah kebencian mereka terhadap Alquran