Tuesday 25 May 2010

Dunia dan akhirat seperti istri muda dan istri tua

Bismilllahirrahmaanirrahiim

Seorang ahli hikmah berkata: “Dunia dan akhirat seperti istri muda dan istri tua, jika kita lebih mencintai istri muda, maka istri tua akan membenci kita”

Allah subhanahu wa ta’ala bercerita tentang kisah pecinta dunia dan pecinta akhirat:
Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia:”Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar”(Al-Qashash: 79,80)

Kalau kita tawarkan kepada anak umur 2 tahunan untuk memilih es krim atau uang 1 juta, hampir dapat dipastikan anak tersebut akan memilih es krim, mengapa demikian? padahal uang 1 juta jauh lebih berharga dari es krim!? Hal itu karena anak kecil tidak mempunyai ilmu sehingga tidak dapat mengerti keutamaan dari uang 1 juta dibanding sekedar es krim. Ahli dunia mencurahkan seluruh potensinya, waktunya, tenaganya, seluruh daya upanya dikerahkan untuk mendapatkan sekadar “es krim”. Dan akhirat itu tidaklah sebanding dengan sekedar uang 1 juta, “Wal aakhiratu khoiru wa abqaa”(Al-A’laa: 17), “Sedangkan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.

Allah subhanahu wa ta’ala berpesan:
Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (Al Kahfi: 28)

Biarlah orang-orang berbicara tentang kita…



Amal-amal kita, tidak hanya dicatat para malaikat. Karena cerita-cerita dan kesan yang kita tinggalkan di dunia setelah mati, serupa cermin nilai dari prilaku kita selama hidup. Alangkah indahnya, sebuah kematian yang bisa meninggalkan cerita-cerita baik pada keluarga. Alangkah bahagianya, sebuah kematian yang mengesankan jejak hidup yang menjadi pelajaran kebaikan bagi mereka yang masih menjalani hidup. Alangkah gembiranya, bila kematian kita menyisakan kesan dari amal-amal saleh yang bermanfaat untuk orang lain.

Di akhirat kelak, tak ada sesuatu yang paling disesali penghuni surga kecuali penyesalan mereka terhadap waktu yang hilang di dunia tanpa diisi amal saleh. Karena itu, ketika ada seorang saleh ditanya, "Kenapa engkau melelahkan jiwamu dalam beribadah?" Ia menjawab, "Aku ingin mengistirahatkan jiwaku." Istirahat yang dimaksud, adalah istirahat di dunia dengan jiwa yang tenang setelah beribadah. Juga istirahat di akhirat, dengan memasuki kehidupan yang begitu menentramkan dan menggembirakan.

Umur hidup itu, menurut Ibnul Jauzi rahimahullah, tak beda dengan tempat jual beli berbagai macam barang. Ada barang yang bagus dan juga yang jelek. Orang yang berakal, pasti akan membeli barang yang bermutu meski harganya mahal. Karena barang itu lebih awet dari barang jelek meski harganya murah. "Orang yang tahu kemuliaan alam semesta harus meraih sesuatu yang paling mulia yang ada di alam semesta ini. Dan sesuatu yang paling mahal nilainya di dunia ini adalah, mengenal Allah swt," kata lbnul Jauzi.

Seseorang yang mengenal Allah swt, berarti ia mengetahui ke- Maha Besaran-Nya. Berarti juga mengetahui kekerdilan dirinya, kelemahan dirinya, ketergantungan dirinya dengan Yang Maha Berkuasa. Pengenalan seperti ini yang bisa memunculkan kekuatan dan ketangguhan dalam mengarungi gelombang kehidupan. Tidak takut, tidak lemah, dan tidak tergantung kepada siapa pun, kecuali Allah dan selama berada di jalan Allah tidak senang, tidak gembira dan tidak bersukacita kecuali bersama Allah.

Lihatlah perkataan Masruq, seorang mufassir yang juga sahabat Said bin Jubair, yang pernah berujar, "Tak ada lagi yang lebih menyenangkan dari menempelkan wajahku di tanah (sujud). Aku tidak pemah bersedih karena sesuatu melebihi kesedihanku karena tidak bisa sujud kepada Allah." (SiyarA’lamin Nubala, IV/65).

Sujud adalah saat-saat seorang hamba yang paling dekat dengan Tuhannya. Sujud, juga tanda ketundukan dan kerendahan seorang hamba di hadapan Tuhannya. Sujud, juga merupakan kepasrahan, ketaatan, kerinduan dan kecintaan seorang hamba pada Tuhannya. Kondisi-kondisi seperti itulah yang sangat didambakan Masruq hingga tak ada lagi kesedihan baginya, kecuali ia tidak bisa melakukan sujud di hadapan Allah swt.

Itulah gambaran keyakinan yang tertanam kuat dalam jiwa orang-orang saleh, para pejuang da’wah Islam. Ketundukan, kedekatan dan keyakinannya pada Allah, menjadikan tekad mereka seperti baja dan keberanian yang tak kenal takut. Basahnya lidah mereka oleh dzikir, larutnya hati mereka dalam kecintaan pada Allah, tunduknya jiwa mereka pada keagungan Allah, memunculkan kepribadian yang kuat dan tangguh.

Setiap orang, pada mulanya, dinilai tinggi rendahnya berdasarkan intensitas dan kualitas serta konsistensi (istiqomah) dalam beribadah kepada Allah. Bukan dinilai dari kekayaan materi/harta yang dimilikinya ataupun oleh orang tua nya. Bukan pula dinilai dari paras, ketampanan dan keindahan fisiknya. Karena, semua itu hanya fatamorgana yang hanya sesaat bisa dinikmati. Pribadi yang kuat dan tangguh selalu muncul dari habitat kehidupan yang penuh tantangan, bukan dari keserbamudahan yang memanjakan dan melemahkan jiwa.

Lihatlah,
Bagaimana penuturan salah seorang anak dari Syaikh Ahmad Yasin rahimahullah, tokoh pejuang Palestina abad ini yang beberapa waktu lalu gugur oleh rudal Israel. "Ayah tidak mencintai dunia. Ia lebih mencintai rumah akhirat. Banyak orang yang menyarankan agar ayah mendiami rumah sebagaimana layaknya seorang pemimpin. Pemerintah otorita Palestina juga pernah menawarkan sebuah rumah yang besar di perkampungan Ghaza. Tapi ayah menolak tawaran itu. Ayahku lebih menginginkan akhirat sehingga ia tidak begitu memperhatikan perabotan duniawi. Luas rumahnya kecil, hanya tiga ruang. Tanpa keramik di lantai, dan ruang dapur yang sudah rusak. Bila musim dingin tiba, kondisi rumah sangat dingin. Sebaliknya bila musim panas datang, ruangan rumah terasa panas sekali. Ayah tidak pernah berpikir untuk memperbaiki rumahnya. Sekali lagi, ia benar-benar sibuk mempersiapkan rumahnya di akhirat." Itulah rahasia ketegaran Syaikh Ahmad Yasin.

Rumah akhirat. Pernahkah terlintas dalam hati kita tentang rumah itu? Pernahkah kita berencana dan bermimpi memiliki rumah yang indah, di akhirat, bukan di dunia? Bagaimana kita membayangkan kesan akhir yang kita tinggalkan pada keluarga, setelah kita berpisah dengan mereka di dunia? Kebanggaankah atau kebalikannya?

Syaikh Ahmad Yasin memberi pelajaran besar bagi kita tentang keyakinannya pada keputusan Allah swt. Bahwa apa yang diputuskan oleh Allah tetap akan terjadi, apa pun usaha yang kita lakukan. Syaikh Ahmad Yasin juga memberi pendidikan langsung kepada siapa pun, tentang batas apa yang harus diberikan seseorang yang menginginkan mati di jalan Allah.

Sekitar lima menit sebelum rudal Israel ditembakkan ke arahnya, Syaikh yang duduk di kursi roda itu, seorang anaknya, Abdul Ghani sempat mengingatkannya untuk berhati-hati dengan mengatakan, "Ayah, ada pesawat pembunuh di atas." Apa jawaban Syaikh Ahmad Yasin ketika itu. "Ya, saya di sini sedang menanti pesawat pembunuh itu juga." Benar-benar tak ada keraguan dan ketakutan sedikit pun. Kita di sini, sedang menanti detik demi detik kematian yang pasti menjemput. Menunggu saat kita menarik nafas terakhir, dan menghembuskannya lagi untuk yang terakhir. Saat udara dingin merayap dari ujung jemari kaki hingga bagian kepala. Saat mata terkatup dan tak bisa terbuka lagi. Ketika badan terbujur dan tak bisa bergerak. Ketika kita masuk dalam keranda, dan diangkat oleh anggota keluarga dan teman-teman kita.

Setelah itu,
Biarlah orang-orang berbicara tentang kita…

Syirik Jaman Sekarang Lebih Parah Dibanding Jaman Dahulu

Apabila kita membandingkan kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu dengan kesyirikan yang dilakukan manusia zaman sekarang dan bahkan banyak yang mengaku sebagai muslim, terlihat bahwa kesyirikan zaman sekarang lebih parah daripada kesyirikan kaum musyrikin zaman dahulu. Kaum Musyrikin dahulu tidak mempersekutukan Alloh dalam sifat Rububiyah-Nya. Mereka meyakini bahwa yang mengusai alam semesta ini, yang berkuasa atas segala sesuatu, yang mampu menolong mereka dari mara bahaya hanyalah Alloh ‘Azza wa Jalla semata tidak ada yang lainnya.

Alloh menceritakan perihal kaum musyrikin zaman dahulu di dalam firman-Nya, yang artinya: “Maka apabila mereka naik kapal mereka berdoa kepada Alloh dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya, maka tatkala Alloh menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Alloh)” (QS: Al-Ankabut: 65)

Asy-Syaikh As Sa’di mengatakan: “Kemudian Alloh menerangkan bagaimana tauhid kaum musyirikin tatkala mereka berada dalam mara bahaya dan ketakutan yang mencekam yakni ketika mereka berada di atas bahtera. Pada saat mereka ditimpa ombak yang besar ditengah lautan, mereka meninggalkan sesembahan mereka yang lain dan mereka hanya berdoa kepada Alloh semata (sebab mereka yakin bahwa yang hanya bisa menolong mereka pada saat itu adalah Alloh semata). Maka tatkala mara bahaya itu telah hilang dari mereka dan Alloh selamatkan mereka sehingga mereka sampai di daratan, maka tiba-tiba saja mereka kembali mempersekutukan Alloh dengan tandingan-tandingan, padahal tandingan tersebut mereka yakini tidaklah mampu menyelamatkan mereka” (Taisir Karimir Rohman)

Kesyirikan Saat Ini

Lalu bagaimanakah kondisi sebagian orang yang mengaku-ngaku merupakan bagian dari kaum muslimin sekarang. Diantara mereka ada yang meyakini bahwa ada penguasa lain di alam ini. Ada yang meyakini bahwa yang menguasai pantai laut selatan adalah Nyi Roro Kidul, yang menguasai (atau dalam bahasa mereka “mbahu rekso”) Gunung Merapi adalah mbah ini dan itu, yang menguasai jembatan ini, pohon ini dan yang menyuburkan pertanian adalah mbah anu dan lain sebagainya. Lalu diantara mereka ada pula yang apabila akan ditimpa kesusahan atau mara bahaya, tidak meminta tolong kepada Alloh ‘Azza wa Jalla semata (sebagaimana kaum musyik dulu), namun malah datang kepada dukun-dukun, paranormal-paranormal, ataupun dengan istilah yang lebih unik yaitu Juru Kunci yang pada dasarnya mereka tersebut tidak berkuasa sedikitpun untuk menghindarkan mereka dari bahaya.

Mereka mendatanginya untuk meminta penolak bala, nasehat-nasehat penolak bala seperti membuat sesajen-sesajen dan ritual-ritual yang tidak ada dalam ajaran Islam. Bahkan kesyirikan tersebut diperparah dengan bungkusan-bungkusan “Islami”, seperti membacakan kertas-kertas atau buah-buahan atau sayur lodeh dan sesajian lainnya dengan ayat-ayat seperti ayat Al-Quran. WAllohu ‘Alam, Na’udzu Billah. Sehingga manusia yang tidak memiliki Tauhid dan Akal yang benar mengganggap kesyrikan tersebut sebagai Syariat Islam.

Bukankah ini lebih parah dibandingkan kaum musyrikin terdahulu? Maka semoga Alloh ‘Azza wa Jalla memberi petunjuk kepada kita dan seluruh kaum muslimin

Mintalah Hanya Kepada Alloh.

Meminta perlindungan atau isti’adzah merupakan salah satu macam dari do’a, sehingga termasuk dalam ibadah. Sehingga didalamnya berlaku kaidah ibadah secara umum yaitu tidak boleh bagi siapapun juga untuk menujukan ibadah tersebut kepada selain Alloh ‘Azza wa Jalla. Sehingga barang siapa yang meminta perlindungan kepada selain Alloh maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan kepada Alloh. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh, maka janganlah kamu menyembah seorang pun didalamnya di samping (menyembah) Alloh” (QS: Jin: 18)

Diantara contoh isti’adzah kepada selain Alloh adalah ruwatan, membunyikan klakson ketika melewati tempat angker dan permisi ketika melewati tempat angker serta contoh-contoh yang disebutkan diatas.

Kandungan Isti’adzah

Dalam isti’adzah terkandung dua amalan, yakni amalan zhohir dan amalan batin. Amalan zhohirnya adalah ketika dia meminta perlindungan itu sendiri kepada yang lain bisa dengan sesama makhluk atau dengan sang kholiq, yakni agar terjaga dan terselamatkan dari kejelekan. Dan amalan bathinnya adalah berupa bersandarnya hati, tenangnya hati dan sikap pasrahnya menyerahkan hajatnya kepada orang atau siapa yang mampu melindunginya.

Maka apabila isti’adzah pada dua macam ini, yakni amalan zhohir dan amalan batin, maka tentulah isti’adzah ini harus ditujukan hanya kepada Alloh, tidak boleh kepada selain-Nya. Mengapa?

Karena didalamnya terkandung amalan hati, dimana berdasarkan ijma’ ulama tidaklah boleh bagi siapapun juga untuk ber-tawajjuh (menghadap), ber-ta’alluq (bergantung) dan menyandarkan hatinya kepada selain Alloh.

Namun apabila yang dimaksud dengan isti’adzah adalah hanya terbatas pada amalan zhohir saja, maka boleh ditujukan kepada selain Alloh (kepada makhluk). Dan perkara seperti ini tentu saja tidak kita ingkari. Terkadang seseorang meminta bantuan kepada saudaranya yang lain agar terhindar dari kejelekan atau marabahaya .Seperti seorang yang minta bantuan polisi dari ancaman pembunuhan atau lainnya. Maka hal seperti ini hukumnya mubah (boleh) namun dengan syarat berikut ini:

Perkara tersebut adalah perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk.
Maka tidak boleh seseorang hamba meminta perlindungan dari bahaya badai dan gempa serta tsunami kepada Nyi Roro Kidul atau kepada makhluk yang lainnya, meminta perlindungan dari bahaya paceklik kepada dukun, kyai ataupun nabi sekalipun. Mengapa? Karena jelas-jelas perkara ini perkara yang sedikitpun tidak mereka kuasai.

Orang yang dimintai tersebut masih hidup
Maka tidak boleh meminta kepada orang-orang yang telah mati, meskipun dia seorang wali atau nabi sekalipun.

Orang yang dimintai tidak dalam keadaan ghoib (terjadi komunikasi)
Maka salah perbuatan orang-orang thoriqot atau kaum sufi yang mereka meminta kepada syaikh-syaikh thoriqotnya (yang tidak hadir) agar terhindar dari suatu bahaya.
Dari ketiga syarat diatas, maka barang siapa yang ketika dalam isti’adzahnya kepada selain Alloh (kepada makhluk) itu tidak memenuhi ketiga syarat tersebut, maka sesungguhnya dia telah melakukan kesyirikan kepada Alloh ‘Azza wa Jalla dalam hal isti’adzah.

Ancaman Kepada Kesyirikan

Allah berfirman yang artinya: “Sesungguhnya Alloh tidak mengampuni apabila dia dipersekutukan dan dia mengampuni dosa-dosa selainnya kepada siapa yang dikehendakinya” (QS: An Nisa: 116). Rasulullah shalallahu 'alahi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang mati sedangkan dia membuat tandingan-tandingan untuk Alloh maka dia masuk neraka” (HR: Bukhori)

Dalam kaitan dengan isti’adzah Alloh menceritakan yang artinya: “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS: Al-Jin: 6). Dari ayat ini Alloh ‘Azza wa Jalla menjelaskan bahwa orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Alloh, maka tidaklah dia akan mendapatkan suatu ketenangan, bahkan sebaliknya dia akan bertambah takut dan mendapatkan dosa.

(Dikutip dan diolah dari: Buletin At-Tauhid edisi 19 Sya’ban 1426 H)

www.media-muslim.info

Hadits-Hadits Cinta di atas Cinta

Dari anas bin malik radliyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu’alaihiw a sallam bersabda: “Ada tiga hal yang barangsiapa memilikinya niscaya ia akan mendapatkan manisnya iman: (1). Allah ta’ala dan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam lebih ia cintai daripada yang lainnya, (2). Mencintainya seseorang, tidaklah ia mencintainya melainkan karena Allah ta’ala, (3). Benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah ta’ala menyelamatkan darinya sebagaimana ia benci dirinya dimasukkan ke dalam api”[1]

Merasakan manisnya sesuatu merupakan buah dari cinta terhadapnya. Di kala seseorang mencintai sesuatu atau menyukai lantas mendapatkannya, maka ia akan merasakan manis, lezat dan bahagia karenanya. Demikian pula manisnya iman yang dirasa oleh seorang mukmin; kelezatan dan kebahagiaan yang ia dapatkan dalam keimanannya sebanding dengan cinta yang ada dalam dirinya. Dan hal itu akan ia dapatkan dengan melakukan tiga hal yang disebutkan oleh hadits di atas.[2]

Yang berhak dicinta di atas cinta

Cinta, sebuah kata yang indah didengar, manis diucapkan, nikmat dirasakan. Cinta adalah karunia dan rohmat dari Allah ta’ala yang Dia berikan dan Dia bagikan kepada manusia.

Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah menjadikan cinta sebagai jalan menuju apa yang dicintai-Nya, dan telah menjadikan ketaatan dan ketundukan kepada-Nya sebagai dalil atas kebenaran dan kejujuran cinta. Dia-lah yang telah menggerakkan jiwa dengan cinta menuju kesempunaan. Mahasuci Allah yang telah memalingkan hati kepada yang Dia kehendaki dan untuk apa yang Dia kehendaki dengan kekuasaan-Nya. Dia lah yang menjadikan cinta bercorak dan bercita warna, membagikan cinta kepada para hamba-Nya, memberikan pilihan kepada mereka apa dan siapa yang dicintainya; ada cinta yang mulia dan ada yang hina, ada yang cinta harta, wanita, tahta dan segala yang nista.

Namun ada sebuah cinta yang paling mulia, (yaitu) cinta kepada Sang Pencipta cinta, yang telah menciptakan alam semesta dengan cinta, dan untuk cinta, karena pada hakikatnya cinta yang tertinggi dan termulia dari hamba adalah menghamba kepada-Nya. Dan tiada yang berhak menerima cinta termulia ini melainkan Dzat yang seluruh alam semesta harus tunduk kepada-Nya. Karena tidaklah jin dan manusia diciptakan melainkan untuk menghamba kepada-Nya. Dan seluruh cinta harus tunduk di bawah cinta-Nya dan cinta karena-Nya.

Semakin bertambah cinta seorang mukmin kepada Allah ta’ala dan Rasul-Nya, semakin bertambah pula rasa manis imannya. Karena iman memiliki rasa manis dalam hati, kelezatan iman yang tidak diketahui melainkan oleh Allah ta’ala, itulah cinta di atas cinta[3].

Cinta Hakiki Cinta Yang Terbukti

Cinta butuh kepada bukti untuk bisa diakui kebenaran cintanya. Karena siapapun bisa saja mengaku cinta, namun tidak semua pengakuan cinta itu hakiki dan sejati, dan tidak semua pengakuan cinta itu abadi. Ada tanda-tanda dan bukti cinta yang harus diwujudkan hingga bisa diketahui manakah sebenarnya cinta yang sejati dan mana yang hanya sekedar cinta palsu. Demikian pula apakah cinta itu tulus dan murni ataukah sebenarnya ada keinginan lain dibalik pengakuan cinta, apalagi jika pengakuan cinta itu ditujukan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau cinta karena Allah ta’ala dan benci karena-Nya; tentu bukan pengakuan yang sepele dan mudah diucapkan begitu saja, tetapi disinilah ukuran iman akan ditentukan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Tidaklah seorang hamba beriman hingga aku menjadi orang yang lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya dan manusia semuanya.” (HR. Bukhori)

Allah ta’ala juga berfirman:

”Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri” (QS. Al-Ahzab: 6).

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Hisyam radliyallahu’anhu bahwa ia berkata: Kami bersama Nabi shallallahu’alaihi wa sallam ketika itu beliau shallallahu’alaihi wa sallam menggandeng Umar bin al Khattab radliyallahu’anhu lalu Umar berkata kepada beliau,

”Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri”.

Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Tidak ![4] Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan Nya, hingga aku menjadi orang yang lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri”

Maka ’Umar radliyallahu’anhu pun berkata kepada beliau, ”Sesungguhnya sekarang, Demi Allah, engkau sungguh lebih aku cintai daripada diriku sendiri”.

Maka beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

”Sekaranglah wahai Umar !”[5] yakni, baru sekaranglah imanmu sempurna.

Pedoman Hakikat Cinta

Allah ta’ala telah memberikan sebuah pedoman untuk mengetahui hakikat pengakuan cinta seseorang, (yaitu) bahwa yang menjadi ukuran dan bukti cinta seseorang kepada Allah ta’ala adalah sejauh mana dia dalam ber ittiba’ (mengikuti petunjuk) Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Allah berfirman:
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللهُ غَفُورُُ رَّحِيمُُ

”Katakanlah: ’Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian’. Allah Maha Pengampun dan Penyanyang” (QS. Ali-’Imron: 31)

Ittiba’ kepada Rasulullah merupakan bukti cinta hamba kepada Allah ta’ala. Dan Allah ta’ala memberikan janji kepada hamba-Nya berupa balasan cinta-Nya ketika memenuhi syarat cinta. Karena yang paling penting dan paling agung bukanlah pengakuan hamba bahwa ia mencintai-Nya, namun yang paling penting dan agung adalah ketika ia dicintai dan dibalas cintanya oleh yang dicintainya.

Ayat ini juga menunjukkan bahwa ittiba’ kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam adalah bukti dan realisasi pengakuan cinta seseorang kepada Rasulullah yang harus didahulukan dan diletakkan di atas cinta kepada yang lainnya. Dan inilah hakikat cinta kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam yang sebenarnya. Barangsiapa yang menyelisihi, menyimpang dan meninggalkan ittiba’, apalagi mengolok-olok, meremehkan, menghina dan menghujat sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah ta’ala, sekaligus menafikan kesempurnaan atau bahkan seluruh imannya.

Hanya kepada-Nya lah seharusnya kita memberikan cinta di atas cinta. Walillahil mahabbah.

Thursday 20 May 2010

Siapakah Rasulullah Muhammad SAW itu?

http://media.isnet.org/islam/Haekal/Muhammad/index.html

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam adalah manusia biasa, bukan malaikat dan bukan pula anak Tuhan atau lain-lainnya. Beliau secara manusiawi sama dengan kita seluruh umat manusia.
Terbukti beliau terlahir dari jenis manusia, ayahanda beliau serta ibunya adalah Abdullah bin Abdul Muthallib, serta ibundanya bernama Aminah, keduanya dari suku Quraisy di Makkah Mukarramah keturunan Nabiyullah Ismail bin Nabi Ibrahim ‘alaihimas salam. Sebagai rahmat dan jawaban atas permohonan Abul Anbiya’ Ibrahim alaihis salam yang tercantum dalam firman Allah:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesunggu-hnya Engkaulah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqarah: 129).
Allah menegaskan agar beliau menyatakan tentang diri beliau, dengan firmanNya dalam surat Al-Kahfi ayat 110 dan ayat-ayat yang lain:
“Katakan, sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku”(Al-Kahfi : 110)
“Katakan: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa per-bendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengetahui kecuali yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat?” Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)? (Al-An’aam: 50).
Rasulullah juga berwasiat agar beliau tidak dihormati secara berlebihan, seperti orang-orang Nashara menghormati Nabi Isa ‘Alaihis Salam, beliau melarang ummatnya menjadikan kuburan beliau sebagai tempat sujud, melarang menggelari beliau dengan gelaran yang berlebihan atau memberikan penghormatan dengan berdiri ketika beliau hadir.
Dari sahabat Amr Radhiallaahu anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah kamu memuji aku (berlebihan) sebagaimana orang Nasrani memuji Isa Ibnu Maryam. Sesungguhnya saya hanyalah seorang hamba, maka katakanlah: Hamba Allah dan RasulNya”. (HR. Al-Bukhari)
Abu Hurairah Radhiallaahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Janganlah engkau jadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan (sepi dari ibadah) dan jangan engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan” (HR. Abu Dawud).
Dari Abu Hurairah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda:
“Jangan engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan, dan janganlah engkau jadikan rumah-rumah kamu sebagai kuburan dan dimanapun kamu berada (ucapkanlah do’a shalawat kepadaku) karena sesungguhnya do’a shalawatmu sampai kepadaku”. (Diriwayat-kan Imam Ahmad).

Cara dan konsekwensi beriman kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam: adalah sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka, segala yang baik dan mengharamkan mereka dari segala yang buruk dan membuang bagi mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.”). (Al-A’raf: 157).
Sudah Sepantasnyalah kita mempertebal Iman dan Taqwa kita kepada Allah juga memperdalam Iman kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam sekaligus melaksanakan konsekuensinya.

Yaitu kita bersungguh-sungguh agar melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. Meyakini dengan penuh tanggung jawab akan kebenaran Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam dan apa yang dibawa oleh beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menandaskan tentang ciri orang bertaqwa:
“Dan orang-orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (Az-Zumar : 33).

2. Ikhlas mentaati Rasul Shallallaahu alaihi wa Sallam dengan melaksanakan seluruh perintah dan menjauhi seluruh larangan beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana janji Allah :
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (An-Nuur: 54).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (An-Nisaa’: 65).

3. Mencintai beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam, keluarga, para sahabat dan segenap pengikutnya. Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallambersabda:
“Tidaklah beriman seseorang (secara sempurna)sehingga aku lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

4. Membela dan memperjuangkan ajaran Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam serta berda’wah demi membebaskan ummat manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari ke zhaliman menuju keadilan, dari kebatilan kepada kebenaran, serta dari kemaksiatan menuju ketaatan.Sebagaimana firman di atas:
“Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (Al-A’raaf: 157).

5. Meneladani akhlaq dan kepemimpinan Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam dalam setiap amal dan tingkah laku, itulah petunjuk Allah:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah”. (Al-Ahzab:21).

6. Memuliakan dengan banyak membaca shalawat salam kepada beliau Shallallaahu alaihi wa Sallam terutama setelah disebut nama beliau
“Merugilah seseorang jika disebut namaku padanya ia tidak membaca shalawat padaku.” (HR. At-Tirmidzi)

7. Waspada dan berhati-hati dari ajaran-ajaran yang menyelisihi ajaran Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam seperti waspada dari syirik, tahayul, bid’ah, khurafat, itulah pernyataan Allah:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi ajaran Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih”. (An-Nur: 63).

8. Mensyukuri hidayah keimanan kepada Allah dan RasulNya dengan menjaga persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-shahihah. Itulah tegaknya agama:
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah karenanya”. (Asy-Syura: 13)
Oleh: Waznin Ibnu Mahfudl