Monday 12 July 2010

Berbakti kepada Orang tua Selagi mereka Masih Hidup

Berbakti kepada Orang tua Selagi mereka Masih Hidup

Orangtua-mu memelihara dirimu agar hidup teruss..sedangkan dirimu mendampingi orang tua lanjut dengan sebaliknya..

Berbuat baik kepada kedua orang tua hukumnya wajib, baik waktu kita masih kecil, remaja atau sudah menikah dan sudah mempunyai anak bahkan saat kita sudah mempunyai cucu. Ketika kedua orang tua kita masih muda atau sudah lanjut usianya bahkan pikun kita tetap wajib berbakti kepada keduanya.

Bahkan lebih ditekankan lagi apabila kedua orang tua sudah tua dan lemah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat Al-Isra’ ayat 23 dan 24 dalam pembahasan sebelumnya.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS.17:23)

"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (QS.17:24)

Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman bahwa Rabb (Allah) telah memerintahkan kepada manusia agar tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah saja. Kemudian hendaklah manusia berbuat sebaik-baiknya kepada kedua orang tuanya.

Jika salah seorang atau kedua-duanya ada di sisinya dalam usia lanjut maka jangan katakan kepada keduanya perkataan ‘uh’ serta tidak boleh membentak keduanya, memukulkan tangan, menghentakkan kaki karena hal itu termasuk durhaka kepada kedua orang tua. Dan katakanlah kepada keduanya dengan perkataan yang mulia.

Pada ayat ini Allah mengatakan ‘kibara’, kibar atau kibarussin artinya berusia lanjut, sedangkan ‘indaka’ berarti pemeliharaan yaitu suatu kalimat yang menggambarkan makna tempat berlindung dan berteduh pada saat masa tua, lemah dan tidak berdaya. Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan tentang lebih ditekankannya berbuat baik pada kedua orang tua pada usia lanjut karena :

Pertama
Keadaaan usia lanjut adalah keadaan dimana keduanya membutuhkan perlakuan yang lebih baik karena keadaannya pada saat itu sangat lemah.

Kedua
Semakin tua usia orang tua berarti semakin lama orang tua bersama anak. Hal ini dapat menyebabkan ‘Si Anak’ merasa berat sehingga dikhawatirkan akan berkurang berbuat baiknya, karena segala sesuatunya diurusi oleh anak dan keluarlah perkataan ‘ah’ atau membentak atau dengan ucapan, “Orang tua ini menyusahkan”, atau yang lain. Apalagi apabila orang tuanya sudah pikun, akan membuat anak mudah marah atau benci kepadanya. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berwasiat agar manusia selalu ingat untuk berbakti kepada kedua orang tua.

Banyak sekali hadits-hadits yang menyebutkan tentang ruginya seseorang yang tidak berbakti kepada kedua orang tua pada waktu orang tua masih berada di sisi kita. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh beberapa sahabat yaitu :

“Artinya : Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [Hadits Riwayat Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346]
Kemudian hadits berikut ini :

“Artinya : Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, “Amin, amin, amin”. Para sahabat bertanya. “Kenapa engkau berkata ‘Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata : ‘Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!’, maka aku berkata : ‘Amin’. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi. ‘Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!’ maka kukatakan, ‘Amin”. [Hadits Riwayat Bazzar dalama Majma'uz Zawaid 10/1675-166, Hakim 4/153 dishahihkannya dan disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi dari Ka'ab bin Ujrah, diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 644 [Shahih Al-Adabul Mufrad No. 500 dari Jabir bin Abdillah]

Pada umumnya seorang anak merasa berat dan malas memberi nafkah dan mengurusi kedua orang tuanya yang masih berusia lanjut. Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa keberadaan kedua orang tua yang berusia lanjut itu adalah kesempatan paling baik untuk mendapatkan pahala dari Allah, dimudahkan rizki dan jembatan emas menuju surga.

Karena itu sungguh rugi jika seorang anak menyia-nyiakan kesempatan yang paling berharga ini dengan mengabaikan hak-hak orang tuanya dan dengan sebab itu dia tidak masuk surga.

Jika kita mencoba membandingkan antara berbakti kepada kedua orang tua dengan jalan mengurusi kedua orang tua yang sudah lanjut usia atau bahkan sudah pikun yang berada di sisi kita dengan ketika kedua orang tua kita mengurusi dan mebesarkan serta mendidik kita sewaktu masih kecil, maka berbakti kepada keduanya masih terbilang labih ringan. Mungkin kita mengurusnya hanya beberapa tahun saja.

Sedangkan mereka mengurus kita membutuhkan waktu lebih dari 10 tahun. Dari mulai hamil, hingga dilahirkan kemudian disekolahkan. Kedua orang tua kita memberikan segala yang kita minta mungkin lebih dari 10 tahun bahkan sampai 25 tahun.

Ketika orang tua mengurusi kita, dia mendo’akan agar si anak hidup dengan baik dan menjadi anak yang shalih, tetapi ketika orang tua ada di sisi kita, di do’akan supaya cepat meninggal. Bahkan ada di antara mereka yang menyerahkan keduanya ke panti jompo. Ini adalah perbuatan dari anak-anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya.

Bagaimanapun keadaannya, kedudukan mereka tetaplah sebagai orang tua kita, walaupun mereka bodoh, kasar atau bahkan jahat kepada kita. Dialah yang melahirkan dan mengurusi kita, bukan orang lain. Maka kita wajib berbakti kepada keduanya bagaimanapun keadaannya.

Seandainya dia berbuat syirik atau bid’ah, kita wajib mendakwahkan kepadanya dengan baik supaya dia kembali, kita do’akan supaya mendapatkan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan diperlakukan dengan tidak baik, berbuat kasar atau pun yang lainnya.

[Disalin dari Kitab Birrul Walidain, edisi Indonesia Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam - Jakarta]

Memilih Pasangan Hidup

Menentukan pilihan memang sesuatu yang menyulitkan, penuh dengan pertimbangan karena ingin mendapatkan hasil yang memuaskan. Sepintar apapun manusia, Logica dari otak manusia hanya bisa menimbang nimbang saja dan berfikir secara maksimal untuk menentukan sebuah pilihan, dan tidak ada satu manusiapun yang bisa menentukan dengan pasti hasil akhir dari sebuah pertimbangan yang matang sekalipun.

Dunia ini dan segala isinya yang menciptakan adalah Alloh S.W.T dan Alloh lah yang maha tau apa yang akan terjadi karena semua yang terjadi di Dunia ini pasti atas kehendak dan seizin-Nya. Oleh karena itu sudah sepantasnya lah kita selalu memohon petunjuk dari-Nya, untuk itu dibutuhkan keyakinan dan kepercayaan penuh bahwa Alloh lah yang maha tau dan sebagai Penolong!

Keyakinan adalah sebagai kunci, karena tanpa keyakinan yang kuat, akan selalu muncul rasa ragu. Bicara keyakinan terkait erat dengan Keimanan, karena Iman sebagai tali pengikat untuk membulatkan keyakinan dan bila keimanan seseorang sudah bulat, dia akan merasa amat bergantung sekali pada Tuhan-nya "Alloh 'azza wa jalla", segala sesuatunya selaluakan dikembalikan pada-Nya, termasuk menentukan sebuah pilihan.

Membahas Topik di atas, yaitu Memilih Pasangan Hidup. Istikharah adalah cara yang tepat untuk mengadu/bertanya pada Alloh dengan cara Sholat. Sholat sunnah yang satu ini memang dikhususkan untuk meminta diberikan petunjuk mengenai pilihan yang terbaik. Biasanya yang kerap terjadi adalah masalah memilih pasangan hidup, karena kadang orang suka ragu dan bertanya-tanya sendiri "Apakah calon pasangan saya benar-benar baik atau tidak?!" Walaupun secara penampilan dan pekerjaan sudah memenuhi kreteria, yang menjadi kekhawatiran adalah mengenai Perangai (Kepribadian yang sebenarnya), karena bisa jadi awal-awal sebelum nikah baik-baik saja (maklum masa pendekatan), yang menjadi persoalan yaitu ketika masuk pada masa berumah tangga...

Setelah melakukan beberapa kali Sholat istikharah, biasanya hasilnya akan terasa di hati, tidak hanya melalui mimpi saja. Jadi intinya akan terasa di hati (Alloh menguatkannya melalui hati) dan tentunya otak pun ikut andil pula menimbang dengan matang mengendalikan perasaan. Bila sudah mendapat ketetapan di hati, yang perlu diperhatikan adalah jangan pernah melambungkan harapan terlalu tinggi bahwa pasangan Anda akan benar-benar sempurna, walaupun dia didapatkan dari hasil istikharah.

Ketika nanti pasangan Anda (suami/isteri) kedapatan beberapa kali bersikap kurang baik, anggap lah ini sebuah ladang amal sabar dan sekalian mempraktekan ilmu yang selama ini sudah Anda dapat dari majelis ta'lim atau dari buku dan media lainnya. Dan jangan sekali-kali Anda berfikir bahwa hasil dari istikharah ternyata gagal ketika suatu hari Anda merasa sedikit kesal mendapati kelakukan pasangan Anda sikapnya kurang baik, harusnya tetap lah berfikir bahwa dia memang pilihan terbaik yang Alloh pilihkan.

Ketika keadaannya seperti itu tadi, yang menjadi tantangan untuk Anda lakukan adalah menunjukan sikap yang lebih baik dari dia, agar Anda menjadi contoh kebaikan untuknya, karena tidak selesai hanya berharap saja dia harus lebih baik dari Anda, tetapi kita harus melakukan sesuatu untuk menjadi jalan perubahan untuknya. Karena bisa jadi begini, sekarang memang pasangan Anda belum baik, tapi yakin lah bahwa suatu saat dia akan lebih baik dari Anda, kontribusi motivasi dari Anda diperlukan juga untuknya.

Terjadinya sebuah Ikatan tali pernikahan, tidak berarti semuanya menjadi serba cocok, serba lancar dan jauh dari Masalah. Tidaklah begitu adanya, ada baiknya kita perlu berfikir begini: "dia bukan aku dan aku bukan dia, aku adalah aku begitu pun dia! tapi aku adalah bagian dari dia dan dia bagian dari aku. Karena aku Mencintainya, jadi aku harus bisa memakluminya dan berusaha untuk terus bersikap baik, lebih baik darinya hingga sikapku bisa menjadi contoh kebaikan untuknya." Wallahu 'alam bish showab

Semoga ada manfaatnya!

*******

abudaffa[at]eramuslim.com

Manajemen Waktu dan Kualitas Diri

Dalam Al-Qur’anul Karim Surat Al-Ashr (103): 1-3, Allah berfirman yang artinya sebagai berikut.

1. Demi masa.

2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,

3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia memang benar-benar berada dalam kerugian apabila tidak memanfaatkan waktu yang telah diberikan oleh Allah secara optimal untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan baik. Hanya individu-individu yang beriman dan kemudian mengamalkannyalah yang tidak termasuk orang yang merugi, serta mereka bermanfaat bagi orang banyak dengan melakukan aktivitas dakwah dalam banyak tingkatan.

al-ashr.gif

Lebih lanjut, dalam Al-Qur’an surat Al-Imran (3) ayat 104, Allah berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dengan demikian, hanya orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf dan meninggalkan yang munkarlah orang-orang yang memperoleh keuntungan.

Setiap muslim yang memahami ayat di atas, tentu saja berupaya secara optimal mengamalkannya. Dalam kondisi kekinian dimana banyak sekali ragam aktivitas yang harus ditunaikan, ditambah pula berbagai kendala dan tantangan yang harus dihadapi.

Seorang muslim haruslah pandai untuk mengatur segala aktivitasnya agar dapat mengerjakan amal shalih setiap saat, baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal, dirinya menginginkan sebagai ahli ibadah, dengan aktivitas qiyamullail, shaum sunnah, bertaqarrub illallah, dan menuntut ilmu-ilmu syar’i. Dalam hubungannya secara horizontal, ia menginginkan bermuamalah dengan masyarakat, mencari maisyah bagi keluarganya, menunaikan tugas dakwah di lingkungan masyarakat, maupun di tempat-tempat lainnya.

Semua itu tentu saja harus diatur secara baik, agar apa yang kita inginkan dapat terlaksana secara optimal, tanpa harus meninggalkan yang lain. Misalnya, ada orang yang lebih memfokuskan amalan-amalan untuk bertaqarrub ilallah, tanpa bermu’amalah dengan masyarakat. Ada juga yang lebih mementingkan kegiatan muamalah dengan masyarakat, tetapi mengesampingkan kegiatan amalan ruhiyahnya.

Dalam hal ini, manajemen waktu untuk merencanakan, mengatur, dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang ada haruslah memiliki landasan-landasan berikut.

1. Pengetahuan kaidah yang rinci tentang optimalisasi waktu

Setiap muslim, hendaknya memahami dan mengetahui kaidah-kaidah yang rinci tentang cara mengoptimalkan waktunya. Hal ini bertujuan untuk kebaikan dan kemaslahatan dirinya dan orang lain. Tokoh-tokoh seperti Imam Ibnul Jauzi, Imam Nawawi, dan Imam Suyuthi adalah orang-orang yang menjadi teladan bagi orang-orang yang bisa mengoptimalkan waktu semasa hidupnya.

2. Memiliki manajemen hidup yang baik

Setiap muslim haruslah pandai mengatur segala urusan hidupnya dengan baik, menghindari kebiasaan yang tak jelas, matang dalam pertimbangan dan mempunyai perencanaan sebelum melakukan pekerjaan. Ia harus berpikir, membuat program, mempersiapkan, mengatur dan melaksanakannya.

3. Memiliki Wudhuhul Fikrah

Seorang muslim haruslah memiliki keluasan atau fleksibilitas dalam berpikir, seperti mampu berpikir benar sebelum bertindak, berpengetahuan luas, mampu memahami substansi pemikiran dan paham. Hal itu penting sebagai dasar pengembangan berpikir ilmiah.

4. Visioner

Seorang muslim juga harus memiliki pandangan jauh ke depan, bisa mengantisipasi berbagai persoalan yag akan terjadi di tahun-tahun mendatang.

5. Melihat secara utuh setiap persoalan

Setiap orang yang dapat mengatur waktunya secara optimal, tidak melihat masalah secara parsial. Karena bisa jadi, persoalan itu memiliki kaitan dengan yang lainnya.

6. Mengetahui Perencanaan dan skala prioritas

Mengetahui urutan ibadah dan prioritas, serta mengklasifikasi berbagai masalah adalah faktor penting dalam mengatur waktu agar menghasilkan kerja yang optimal. Dengan membuat skala prioritas, akan menghindarkan dari ketidakteraturan kegiatan.

7. Tidak Isti’jal dalam mengerjakan sesuatu

Mengerjakan sesuatu dengan tidak tergesa-gesa dan berdasar pada ketenangan jiwa yang stabil merupakan landasan yang penting dalam mewujudkan hidup yang lebih baik.

Sementara, orang yang musta’jil menginginkan agar dalam waktu singkat ia mampu melakukan hal-hal yang terpuji, sekaligus meninggalkan hal-hal yang tidak terpuji. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sunah kauniyah, yaitu hukum alam dan kebiasaan.

8. Berupaya seoptimal mungkin

Jika kita menginginkan terwujudnya aktivitas amal shalih, maka secara optimal kita harus mengarahkan diri pada persoalan itu sesuai kemampuan yang ada pada diri kita.

9. Spesialisasi dan pembagian pekerjaan

Setiap muslim haruslah memiliki keahlian tertentu. Ia boleh memiliki pengetahuan luas, tetapi ia juga perlu memfokuskan pada keahlian tertentu.

Landasan-landasan di atas hanya dapat dipenuhi, jika telah memenuhi syarat sebagai berikut.

1. Disiplin dan Pembiasaan sejak dini

Penanaman disiplin akan waktu, mengahargai waktu sejak kecil merupakan hal penting. Dengan demikian, ia akan terbiasa untuk mengatur hidupnya secara mandiri dan optimal untuk merencanakan berbagai macam aktivitas. Disiplin terkait dengan ibadah, tidur, makan, termasuk senda gurau. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Berilah istirahat hati karena kalau dipaksakan akan membabi buta.”

2. Memiliki kecerdasan dan kejeniusan

Munculnya indikasi kecerdasan pada seseorang merupakan faktor penting untuk bisa mewujudkan hal di atas.

3. Memiliki kondisi fisik dan mental yang positif

Untuk melaksanakan manajemen waktu yang optimal, memang perlu ditunjang dengan adanya keinginan yang kuat, tindakan yang terus menerus, aktif, lapang dada, penuh optimisme, berpengetahuan luas, mampu memadukan berbagai pemikiran dan mampu mengendalikan emosi, seperti sedih, berduka dan susah, di samping memiliki budi pekerti dan akhhlak yang tinggi.

4. Memiliki ketrampilan

Pengetahuan yang luas, tanpa diiringi dengan ketrampilan hanya akan menjadi aksi yang tidak kongkret. Banyak orang yang pandai berbicara, tetapi hanya sedikit orang yang bisa bekerja dan menekuni bidang pekerjaannya.

10 Amalan Batin dalam membaca AL-QUR'AN

10 Amalan Batin dalam membaca AL-QUR'AN
1. Memahami keagungan & ketinggian firman, karunia ALLAH & kasih sayang-NYA
2. Mengagungkan Zat yang berfirman, yaitu ALLAH
3. Kehadiran hati & meninggalkan bisikan jiwa
4. TADABBUR (memperhatikan & merenungkan makna-makna AL-QUR’AN)
5. TAFAHHUM ( mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat)
6. Menghindari hambatan-hambatan kepahaman
7. TAKHSHISH (menyadari bahwa dirinyalah sasaran khitab/pembicaraan yg ada dalam AL-QUR’AN)
8. TAATSTSUR (hatinya terpengaruh dengan beragam kesan sesuai dengan beragam ayat yang dihayatinya)
9. TARAQQI (meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan AL-QUR’AN langsung dari ALLAH swt bukan dari dirinya)
Tingkatan bacaan ada 3
1. Tingkatan terendah, yaitu seorang hamba merasakan seolah-olah ia menbaca AL-QUR’AN kepada ALLAH di hadapan-NYA
2. Menyaksikan dengan hati seakan-akan ALLAH melihatnya, berbicara kepadanya, membisikkan kepadanya dengan berbagai nikmat & kebaikan-NYA
3. Melihat MUTAKLLIM (Zat yang berfirman) pada setiap kalam/firman yang dibacanya
10. TABARRI (melepaskan diri dari daya & kekuatan & tidak memandang diri dengan pandangan ridha & penyucian)
Bila menbaca ayat-ayat janji & pujian, maka tidak menyaksikan dirinya mlainkan menyaksikan orang-orang yang yakin & teguh kepercayaannya kepada kebenaran RASUL. Apabila membaca ayat-ayat kecaman & celaan, maka ia menyaksikan dirinya berada di sana & ia merasa dirinyalah yang dimaksud oleh ayat-ayat itu saking takut & cemasnya.

7 CARA PACARAN ALA KHADIJAH - MUHAMMAD

Seperti telah kita ketahui bersama, makna asli “pacaran” adalah “persiapan nikah”. (Lihat “Definisi & Bentuk Nyata Pacaran Islami“.) Dengan definisi tersebut, di bawah ini hendak aku paparkan pengamatanku mengenai bagaimana berlangsungnya proses yang menjadikan Khadijah-Muhammad siap menikah:

1. TA’ARUF PASIF: Khadijah mulai “naksir” Muhammad lantaran mendengar kabar mengenai kemuliaan akhlak beliau.

Saat itu, masyarakat Makkah sedang ramai membicarakan Muhammad bin Abdullah, seorang pemuda yang bisa menjaga kejujuran dan keluhuran hati, sementara para pemuda pada umumnya suka berfoya-foya. Khadijah naksir itu bukan lantaran ketampanan atau pun kekayaannya. Malah, saat itu Muhammad saw. merupakan pemuda yang miskin.

2. TA’ARUF AKTIF: Khadijah menyaksikan sendiri kemuliaan akhlak Muhammad melalui perbincangan dalam tatap muka langsung.

Pada mulanya, ketertarikan Khadijah kepada Muhammad bukanlah dalam rangka kepentingan asmara, melainkan bisnis. Kita tahu, Khadijah ialah seorang pengusaha kaya. Lantas, Khadijah pun memanggil Muhammad dan mengajaknya berbincang-bincang mengenai perdagangan. Dengan perbincangan seperti ini, Khadijah bisa mulai mengecek apakah benar bahwa Muhammad berakhlak mulia.

3. TANAZHUR (TA’ARUF INTERAKTIF): Khadijah dan Muhammad menjalin kerja sama pengembangan karir.

Melalui perbincangan tersebut tadi, Khadijah menganggap bahwa Muhammad adalah sosok yang ia butuhkan untuk berdagang ke negeri Syam. Muhammad pun menerima tugas itu dengan senang hati. Dengan interaksi seperti ini, Khadijah dapat me-recheck atau melakukan pengujian terhadap Muhammad sebelum benar-benar yakin bahwa Muhammad memang berakhlak mulia.

4. TANAZHUR LANGSUNG: Khadijah mengalami sendiri indahnya menjalin kebersamaan dengan Muhammad yang berakhlak mulia.

Sepulangnya Muhammad saw. dari negeri Syam, Khadijah menerima laporan langsung dari beliau mengenai penunaian tugas berdagang tersebut tadi. Khadijah sangat gembira dan terlihat antusias sekali menyimak laporan tersebut. Secara demikian, tumbuhlah rasa cintanya kepada beliau. Dari hari ke hari, cintanya semakin mendalam.

5. TANAZHUR BERJARING: Khadijah memanfaatkan jaringan (network)-nya untuk memperlancar interaksinya dengan Muhammad.

Maisarah ialah orang kepercayaan Khadijah yang menyertai Muhammad berdagang ke Syam. Ia pun menceritakan pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan. Laporan-laporannya mengenai kemuliaan Muhammad menjadikan Khadijah semakin berhasrat untuk menjadi istri beliau.

6. TANAZHUR BERMEDIA: Khadijah mengerahkan “agen cinta” untuk memperlancar hubungannya dengan Muhammad.

Dalam tradisi Arab ketika itu, bila seorang perempuan kaya mendatangi seorang pemuda untuk meminta menikahinya, maka itu dipandang memalukan. Untuk menyiasatinya, Khadijah pun mengutus Nafisah, seorang kepercayaannya lainnya, untuk membujuk Muhammad supaya mau melamar dirinya.

7. KHITBAH: Muhammad melamar Khadijah untuk menjadi istri beliau.

Di depan keluarga Khadijah, Muhammad saw. melamarnya. Maharnya 20 ekor unta. Lamaran pun diterima. Pernikahan itu sendiri dilaksanakan pada waktu 2 bulan 15 hari setelah Muhammad datang dari Syam. Usia Muhammad saat itu 25 tahun, sedangkan Khadijah 40 tahun.

Wallaahu a’lam.
----------------------------
"yang Unik yang dicari"