Saturday 31 December 2011

TUJUAN HIDUP KITA (MANUSIA) DI DUNIA


Oleh: Narfa Insani As-Salafy
Allah Ta’ala sudah menjelaskan dengan sangat gamblangnya di dalam Al Qur’an apa yang menjadi tujuan kita hidup di muka bumi ini. Cobalah kita membuka lembaran-lembaran Al Qur’an dan kita jumpai pada surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Saudaraku ... Jadi, Allah tidaklah membiarkan kita begitu saja. Bukanlah Allah hanya memerintahkan kita untuk makan, minum, melepas lelah, tidur, mencari sesuap nasi untuk keberlangsungan hidup. Ingatlah, bukan hanya dengan tujuan seperti ini Allah menciptakan kita. Tetapi ada tujuan besar di balik itu semua yaitu agar setiap hamba dapat beribadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115).

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengatakan, “Apakah kalian diciptakan tanpa ada maksud dan hikmah, tidak untuk beribadah kepada Allah, dan juga tanpa ada balasan dari-Nya[?] ” (Madaarijus Salikin, 1/98) Jadi beribadah kepada Allah adalah tujuan diciptakannya jin, manusia dan seluruh makhluk. Makhluk tidak mungkin diciptakan begitu saja tanpa diperintah dan tanpa dilarang. Allah Ta’ala berfirman,

“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36).

Imam Asy Syafi’i mengatakan,

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?”.

Ulama lainnya mengatakan,

“(Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan?” (Lihat Madaarijus Salikin, 1/98)

Bukan Berarti Allah Butuh pada Kita, Justru Kita yang Butuh Beribdah pada Allah
Saudaraku, setelah kita mengetahui tujuan hidup kita di dunia ini, perlu diketahui pula bahwa jika Allah memerintahkan kita untuk beribadah kepada-Nya, bukan berarti Allah butuh pada kita. Sesungguhnya Allah tidak menghendaki sedikit pun rezeki dari makhluk-Nya dan Dia pula tidak menghendaki agar hamba memberi makan pada-Nya. Allah lah yang Maha Pemberi Rizki. Perhatikan ayat selanjutnya, kelanjutan surat Adz Dzariyat ayat 56. Di sana, Allah Ta’ala berfirman,

“Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari makhluk dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan pada-Ku. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz Dzariyat: 57-58)

Jadi, justru kita yang butuh pada Allah. Justru kita yang butuh melakukan ibadah kepada-Nya.
Saudaraku ... Semoga kita dapat memperhatikan perkataan yang sangat indah dari ulama Robbani, Ibnul Qoyyim rahimahullah tatkala beliau menjelaskan surat Adz Dzariyaat ayat 56-57.

Beliau rahimahullah mengatakan,“Dalam ayat tersebut Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dia tidaklah menciptakan jin dan manusia karena butuh pada mereka, bukan untuk mendapatkan keuntungan dari makhluk tersebut. Akan tetapi, Allah Ta’ala Allah menciptakan mereka justru dalam rangka berderma dan berbuat baik pada mereka, yaitu supaya mereka beribadah kepada Allah, lalu mereka pun nantinya akan mendapatkan keuntungan. Semua keuntungan pun akan kembali kepada mereka. Hal ini sama halnya dengan perkataan seseorang, “Jika engkau berbuat baik, maka semua kebaikan tersebut akan kembali padamu”. Jadi, barangsiapa melakukan amalan sholeh, maka itu akan kembali untuk dirinya sendiri. ” (Thoriqul Hijrotain, hal. 222)

Jelaslah bahwa sebenarnya kita lah yang butuh pada ibadah kepada-Nya karena balasan dari ibadah tersebut akan kembali lagi kepada kita.

Apa Makna Ibadah?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Dalam ibadah itu terkandung mengenal, mencintai, dan tunduk kepada Allah. Bahkan dalam ibadah terkandung segala yang Allah cintai dan ridhoi. Titik sentral dan yang paling urgent dalam segala yang ada adalah di hati yaitu berupa keimanan, mengenal dan mencintai Allah, takut dan bertaubat pada-Nya, bertawakkal pada-Nya, serta ridho terhadap hukum-Nya. Di antara bentuk ibadah adalah shalat, dzikir, do’a, dan membaca Al Qur’an.” (Majmu’ Al Fatawa, 32/232)

Tidak Semua Makhluk Merealisasikan Tujuan Penciptaan Ini
Perlu diketahui bahwa irodah (kehendak) Allah itu ada dua macam.
Pertama adalah irodah diniyyah, yaitu setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah berupa amalan sholeh. Namun orang-orang kafir dan fajir (ahli maksiat) melanggar perintah ini. Seperti ini disebut dengan irodah diniyyah, namun amalannya dicintai dan diridhoi. Irodah seperti ini bisa terealisir dan bisa pula tidak terealisir.
Kedua adalah irodah kauniyyah, yaitu segala sesuatu yang Allah takdirkan dan kehendaki, namun Allah tidaklah memerintahkannya. Contohnya adalah perkara-perkara mubah dan bentuk maksiat. Perkara-perkara semacam ini tidak Allah perintahkan dan tidak pula diridhoi. Allah tidaklah memerintahkan makhluk-Nya berbuat kejelekan, Dia tidak meridhoi kekafiran, walaupun Allah menghendaki, menakdirkan, dan menciptakannya. Dalam hal ini, setiap yang Dia kehendaki pasti terlaksana dan yang tidak Dia kehendaki tidak akan terwujud. Jika kita melihat surat Adz Dzariyat ayat 56,

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Tujuan penciptaan di sini termasuk irodah diniyyah. Jadi, tujuan penciptaan di sini tidaklah semua makhluk mewujudkannya. Oleh karena itu, dalam tataran realita ada orang yang beriman dan orang yang tidak beriman. Tujuan penciptaan di sini yaitu beribadah kepada Allah adalah perkara yang dicintai dan diridhoi, namun tidak semua makhluk merealisasikannya. (Lihat pembahasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa, 8/189)

Dengan Tauhid dan Kecintaan pada-Nya, Kebahagiaan dan Keselamatan akan Diraih
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Tujuan yang terpuji yang jika setiap insan merealisasikannya bisa menggapai kesempurnaan, kebahagiaan hidup, dan keselamatan adalah dengan mengenal, mencintai, dan beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Inilah hakekat dari perkataan seorang hamba “Laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah)”. Dengan kalimat inilah para Rasul diutus dan semua kitab diturunkan. Suatu jiwa tidaklah menjadi baik, suci dan sempurna melainkan dengan mentauhidkan Allah semata.” (Miftaah Daaris Sa’aadah, 2/120)

Kami memohon kepada Allah, agar menunjuki kita sekalian dan seluruh kaum muslimin kepada perkataan dan amalan yang Dia cintai dan ridhoi. Tidak ada daya untuk melakukan ketaatan dan tidak ada kekuatan untuk meninggalkan yang haram melainkan dengan pertolongan Allah.

وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيمًا كَثِيرًا دَائِمًا إلَى يَوْمِ الدِّينِ .

Wallahu a'lam bisshowab.

"Kisah Seorang Pemuda yang "MEMELET" orang yg dicintainya dgn PUASA DAWUD dan SHOLAT TAHAJJUD"


Suatu ketika, Ibnu Sina didatangi pasien remaja ‘nakal’, masih tergolong keluarganya, yang mengalami obesitas (kegemukan) dan mengeluh kesulitan memikat hati wanita.

“Paman, saya ingin menikahi seorang gadis yang saya cintai, tapi dia menolak lamaran saya,” keluhnya sambil terus mengunyah kacang “Sudan” kesukaannya.

Ibnu Sina tertawa lirih. ”Kamu harus ‘memeletnya’ dengan salat Malam (Qiyamul Lail) setiap hari dan berpuasa seperti puasanya Nabi Daud (sehari puasa sehari tidak) selama setahun.
Juga ingat! Calon isteri kamu tidak suka kebiasaanmu makan kacang Sudan ini, maka jangan dimakan!”

Metode halus Ibnu Sina yang memberi nasihat kepada Kholid tidak mempergunakan bahasa ‘ceplas-ceplos’ yang makna sebenarnya: “Berdoalah dan kuruskan dulu badan kamu dengan berpuasa agar setiap gadis tidak menolakmu!”

Mengingat obsesi Kholid yang begitu besar untuk mendapatkan dambaan hatinya, dia mematuhi terapi ‘ajaib’ Ibnu Sina. Setiap malam, dia bangun mengerjakan salat Sunnah Qiyamul Lail, siang harinya berpuasa sebagaimana puasanya Nabi Daud, dan tidak mau lagi memakan kacang Sudan.

Seminggu sebelum tepat satu tahun, wanita yang diidam-idamkan Kholid meninggal dunia sebab lepra (turunan).
Kholid yang sudah terlihat kurus, tapi sehat, kembali mengeluh. “Paman, dia meninggal”.

Ibnu Sina mengambil napas dalam-dalam dan berucap,”Kholid, mengingat gadis yang kamu cintai sudah wafat, sekarang terserah kamu, apakah kamu akan kembali pada kebiasaan burukmu? Atau kamu akan mengalihkan cintamu kepada Tuhanmu yang telah menyayangimu dengan tidak menikahkan kamu dengan gadis itu?”

Kholid menangis sambil menjawab,“Paman, Tuhan telah memberi saya kesembuhan rohani dan jasmani setelah bertahun-tahun saya merasa sakit.
Saya akan tetap menjalankan terapi salat dan puasa untuk mencurahkan cinta saya kepada Tuhan.”

Menyingkap 1001 Hikmah Shalat Subuh

“Sesungguhnya amal manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya” Jika shalatnya baik, maka baik pula seluruh amalnya; dan kalau jelek, maka jeleklah seluruh amalnya. Bagaimana mungkin seorang mukmin mengharapkan kebaikan di akhirat, sedang pada hari kiamat bukunya kosong dari shalat Subuh tepat waktu?

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya (berjamaah di masjid) sekalipun dengan merangkak” [HR Al-Bukhari dan Muslim]

Shalat Subuh memang shalat wajib yang paling sedikit jumlah rekaatnya; hanya dua rekaat saja. Namun, ia menjadi standar keimanan seseorang dan ujian terhadap kejujuran, karena waktunya sangat sempit (sampai matahari terbit)

Ada hukuman khusus bagi yang meninggalkan shalat Subuh. Rasulullah saw telah menyebutkan hukuman berat bagi yang tidur dan meninggalkan shalat wajib, rata-rata penyebab utama seorang muslim meninggalkan shalat Subuh adalah tidur.

“Setan melilit leher seorang di antara kalian dengan tiga lilitan ketika ia tidur. Dengan setiap lilitan setan membisikkan, ‘Nikmatilah malam yang panjang ini’. Apabila ia bangun lalu mengingat Allah, maka terlepaslah lilitan itu. Apabila ia berwudhu, lepaslah lilitan yang kedua. Kemudian apabila ia shalat, lepaslah lilitan yang ketiga, sehingga ia menjadi bersemangat. Tetapi kalau tidak, ia akan terbawa lamban dan malas”.

“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang banyak berjalan dalam kegelapan (waktu Isya’ dan Subuh) menuju masjid dengan cahaya yang sangat terang pada hari kiamat” [HR. Abu Dawud, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah]

Allah akan memberi cahaya yang sangat terang pada hari kiamat nantinya kepada mereka yang menjaga Shalat Subuh berjamaah (bagi kaum lelaki di masjid), cahaya itu ada dimana saja, dan tidak mengambilnya ketika melewati Sirath Al-Mustaqim, dan akan tetap bersama mereka sampai mereka masuk surga, Insya Allah.

“Shalat berjamaah (bagi kaum lelaki) lebih utama dari shalat salah seorang kamu yang sendirian, berbanding dua puluh tujuh kali lipat. Malaikat penjaga malam dan siang berkumpul pada waktu shalat Subuh”. “Kemudian naiklah para Malaikat yang menyertai kamu pada malam harinya, lalu Rabb mereka bertanya kepada mereka - padahal Dia lebih mengetahui keadaan mereka - ‘Bagaimana hamba-2Ku ketika kalian tinggalkan ?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat dan kami jumpai mereka dalam keadaan shalat juga’. ” [HR Al-Bukhari]

Sedangkan bagi wanita - walau shalat di masjid diperbolehkan - shalat di rumah adalah lebih baik dan lebih banyak pahalanya, yaitu yang mengerjakan shalat Subuh pada saat para pria sedang shalat di masjid. Ujian yang membedakan antara wanita munafik dan wanita mukminah adalah shalat pada permulaan waktu.

“Barang siapa yang menunaikan shalat Subuh maka ia berada dalam jaminan Allah. Shalat Subuh menjadikan seluruh umat berada dalam jaminan, penjagaan, dan perlindungan Allah sepanjang hari. Barang siapa membunuh orang yang menunaikan shalat Subuh, Allah akan menuntutnya, sehingga Ia akan membenamkan mukanya ke dalam neraka” [HR Muslim, At-Tarmidzi dan Ibnu Majah]

Banyak permasalahan, yang bila diurut, bersumber dari pelaksanaan shalat Subuh yang disepelekan. Banyak peristiwa petaka yang terjadi pada kaum pendurhaka terjadi di waktu Subuh, yang menandai berakhirnya dominasi jahiliyah dan munculnya cahaya tauhid. “Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat?” (QS Huud:81)

Rutinitas harian dimulainya tergantung pada pelaksanaan shalat Subuh. Seluruh urusan dunia seiring dengan waktu shalat, bukan waktu shalat yang harus mengikuti urusan dunia.

“Jika kamu menolong (agama) Allah, maka ia pasti akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad : 7)

“Sungguh Allah akan menolong orang yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa” (QS Al-Hajj:40)

TIPS MENJAGA SHALAT SUBUH :

1. Ikhlaskan niat karena Allah, dan berikanlah hak-hak-Nya
2. Bertekad dan introspeksilah diri Anda setiap hari
3. Bertaubat dari dosa-dosa dan berniatlah untuk tidak mengulangi kembali
4. Perbanyaklah membaca doa agar Allah memberi kesempatan untuk shalat Subuh
5. Carilah kawan yang baik (shalih)
6. Latihlah untuk tidur dengan cara yang diajarkan Rasulullah saw (tidur awal; berwudhu sebelum tidur; miring ke kanan; berdoa)
7. Mengurangi makan sebelum tidur serta jauhilah teh dan kopi pada malam hari
8. Ingat keutamaan dan hikmah Subuh; tulis dan gantunglah di atas dinding
9. Bantulah dengan 3 buah bel pengingat(jam weker; telpon; bel pintu)
10. Ajaklah orang lain untuk shalat Subuh dan mulailah dari keluarga
11. Perbanyaklah berzikir pada-Nya agar selalu ingat pada-Nya dan selalu merasa diawasi oleh-Nya

Jika Anda telah bersiap meninggalkan shalat Subuh, hati-hatilah bila Anda berada dalam golongan orang-orang yang tidak disukai Allah untuk pergi shalat. Anda akan ditimpa kemalasan, turun keimanan, lemah dan terus berdiam diri.



Disarikan dari :

Buku “MISTERI SHALAT SUBUH”

Menyingkap 1001 Hikmah Shalat Subuh Bagi Para Pribadi dan Masyarakat

Pengarang : DR. Raghib As-Sirjani
Penerbit : Aqwam

SELEMBAR KAIN...


Bismillah......

jilbab hanyalah selembar kain....
namun tidak pada niat yang terpancangkan...
dan komitmen yang di pertahankan...

jangan pandang helai kain itu "murah"...
jikalau terdapat mutiara hikmah atas penjagaan sebuah "istiqamah"...

tak terhenti dari sebuah ibadah...
tak berbatas dari banyaknya muamalah...

karena AQIDAH ,
adalah yang MEMPERINDAH...

sehelai kain itu .....
adalah bayaran MAHAL bagi jiwa yang kental mempertahankan IMAN...

dan cobalah telisik kembali...
bermuhasabah...

sudahkah engkau berjilbab karena illah, billah illallah?

"dan seseorang yang memiliki CINTA, maka ia akan bercenderung mengikuti dan membela apa yang menjadi kecintaannya..."

mana cinta untuk Allah?
mana cinta bagi Rasulullah?




* mulailah JUJUR terhadap HATI dan DIRI SENDIRI, jangan keluar dari FITRAH!!!

Beberapa Kemungkaran di Akhir Tahun



 بــــِـسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ


Dzulqarnain M. Sunusi


الْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنْ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ
Amma Ba’du,

Allah Subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan nikmat yang sangat besar kepada umat Islam sebagaimana firman-Nya,

 “Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama kalian.” [Al-Mâ`idah: 3]

Juga dari kesempurnaan nikmat-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah meridhai, kecuali agama Islam,

 “Barangsiapa mencari (agama) selain agama Islam, sekali-kali tidaklah (agama itu) akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi. [Âli ‘Imrân: 85]

Oleh karena itu, kewajiban seorang muslim adalah menjaga diri di atas nikmat Islam yang agung ini sebagaimana perintah-Nya,

 “Kemudian Kami menjadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan (agama itu) maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” [Al-Jâtsiyah: 18]

Demikian pula firman-Nya,

“Maka berpegang-teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. Dan sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar merupakan suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu, serta kelak kamu akan dimintai pertanggungajawaban.”[Az-Zukhruf: 43-44]

Hendaknya seorang muslim senantiasa berbangga dengan agamanya,
 “Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin.” [Al-Munâfiqûn: 8]

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
 “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” [Fâthir: 10]

Seorang muslim tidak diperbolehkan memandang orang-orang kafir dengan pandangan pengagungan dan pembesaran karena Allah telah menghinakan mereka dengan kekafiran,

 “Dan barangsiapa yang Allah hinakan, tiada seorang pun yang memuliakannya.” [Al-Hajj: 18]

Pun seorang muslim tidak diperkenankan untuk menatap kehidupan orang-orang yang penuh dengan kemegahan dan perhiasan dunia dengan tatapan kekaguman karena hal tersebut hanya kesenangan yang berakhir kepada neraka,

“Katakanlah, ‘Bersenang-senanglah kalian karena sesungguhnya tempat kembali kalian ialah neraka.’.”[Ibrâhîm: 30]

Saudaraku seiman,
Pergantian tahun -sebagaimana halnya pergantian hari dan bulan- adalah suatu hal yang bermakna bagi seorang muslim dan muslimah. Waktu yang terus bergulir dan umur yang terus berkurang adalah renungan untuk memperbaiki lembaran-lembaran yang telah berlalu dan untuk menata masa mendatang. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

 “Allah mempergantikan malam dan siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran besar bagi orang-orang yang mempunyai penglihatan.” [An-Nûr: 44]
Untuk selalu meningkatkan perbaikan kepada-Nya.

 “Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi serta silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadan berbaring serta memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami terhadap siksa neraka.” [Âli ‘Imrân: 190-191]

Namun, perlu diingat bahwa memperingati akhir tahun atau tahun baru tidaklah dikenal dalam Islam. Tidak dikenal pada tahun Hijriyah mereka, apalagi pada tahun Masehi orang-orang kafir.
Banyaknya kemungkaran pada akhir tahun mengharuskan adanya tulisan-tulisan seperti ini guna menasihati dan saling mengajak kepada jalan yang lurus.

Saudaraku seiman,
Allah Subhanahu wa ta’ala melarang kita untuk menyerupai orang-orang zhalim dari kalangan kuffar dan selainnya.
Allah ta’ala mengingatkan,

 “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa terhadap Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” [Al-Hasyr: 19]
Kecondongan kepada mereka adalah suatu hal yang sangat berbahaya sebagaimana firman-Nya,

 “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang zhalim yang mengakibatkan kalian disentuh olehapi neraka.” [Hûd: 113]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
( مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ )
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, dia termasuk ke dalam kaum tersebut.”
Juga dari Abu Sa’îd Al-Khudry z, sesungguhnya Rasulullah bersabda,

( لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى! قَالَ: فَمَنْ )
“Sungguh kalian betul-betul akan mengikuti jalan-jalan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga, andaikata mereka masuk ke lubang dhab[1], niscaya kalian akan mengikutinya,” Kami berkata, “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashara?” Beliau menjawab, “(Ya), siapa lagi (kalau bukan mereka)?” (H.R. Al-Bukhâry dan Muslim)

Larangan menyerupai orang-orang kafir adalah dalam segala hal, baik dalam perkara zhahir maupun batin. Adanya keserupaan pada hal yang zhahir menunjukkan kesamaan pada hal yang batin. Hal tersebut bukanlah sifat seorang Mukmin. Allah berfirman,

 “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, (tetapi) saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan (Allah) memasukkan mereka ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, mereka kekal di dalam (surge) itu. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun merasa puas akan (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah bahwa sesungguhnya golongan Allah, merekalah golongan yang beruntung.” [Al-Mujâdilah: 22]

Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan pula,

 “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin-pemimpin (kalian); yang sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kalian yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk ke dalam golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim.” [Al-Mâ`idah: 51]
Berikut beberapa kemungkaran yang perlu diingatkan.

Pertama, keharaman merayakan hari Natal dan Tahun Baru.

Umat Islam tidaklah mengenal hari raya, kecuali tiga hari: Idul Fitri, Idul Adha, dan hari Jum’at. Perayaan hari raya, selain tiga hari raya ini, adalah bentuk penyerupaan terhadap kaum kuffar dan perkara baru dalam agama. Rasulullah bersabda,
( مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ )
Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak memiliki tuntunan dari kami, amalan itu tertolak.
Tidak ada silang pendapat di kalangan ulama akan keharaman hal di atas.

Kedua, penetapan kalender dengan perhitungan Masehi.

Bagi umat Islam, telah berjalan di tengah mereka penetapan bulan berdasarkan ketetapan Islam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah padawaktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu.” [At-Taubah:36]
Penyebutan nama-nama bulan telah masyhur dalam berbagai hadits Nabi. Demikian pula, umat Islam telah bersepakat bahwa penanggalan mereka berdasarkan pada hijrah Nabi sehingga mereka hanya mengenal Kalender Hijriyah.

Ketiga, berpartisipasi dalam hari raya mereka.

Imam Malik rahimahullah berkata, “Hal yang kubenci (yaitu) ikut bersama mereka pada perahu yang mereka tumpangi, dalam rangka hari raya mereka, karena dikhawatirkan bila kemungkaran dan laknat terhadap mereka turun.” (Al-Luma`i/492)
Ibnul Hajj berkata, “Seorang muslim tidak halal menjual suatu apapun kepada orang Nashrani menyangkut keperluan hari raya mereka. Tidak daging, tikar, tidak pula pakaian. Juga tidak menimpahkan suatu apapun, walau hanya seekor kendaraan, karena hal tersebut tergolong membantu mereka di atas kekafirannya. Para penguasa memiliki kewajiban untuk melarang kaum muslimin dari hal tersebut.” (Fatâwâ Ibnu Hajar Al-Haitsamy 4/238)

Keempat, memberi hadiah atau ucapan selamat.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun memberi ucapan selamat kepada simbol-simbol khusus kekafiran, (hal tersebut ) adalah haram menurut kesepakatan (ulama) ….” (Ahkâm Ahl Ad-Dzimmah1/441-441)
Abu Hafs Al-Hanafy berkata, “Barangsiapa yang memberi hadiah telur kepada seorang musyrik untuk mengagungkan hari (raya mereka), sungguh dia telah kafir kepada Allah Ta’âlâ.” (Fath Al-Bâry 2 / 513)

Kelima, berpakaian dengan pakaian mereka.

Telah sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam akan celaan terhadap memakai pakaian orang-orang kafir. Juga terhadap para perempuan, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah dahulu.” [Al-Ahzâb:33]

Keenam, menerima hadiah dari perayaan mereka.

Syaikh Ibnu Bâz rahimahullah dan Al-Lajnah Ad-Dâ`imah memfatwakan,
“Seorang muslim tidak boleh memakan (makanan) apapun yang dibuat oleh orang-orang Yahudi, Nashrani, atau musyrikin berupa makanan-makanan hari raya mereka. Seorang muslim juga tidak boleh menerima hadiah hari raya mereka karena (penerimaan) tersebut merupakan bentuk memuliakan mereka, tolong-menolong bersama mereka dalam menampakkan simbol-simbol mereka, dan melariskan bid’ah-bid’ah mereka, serta berserikat bersama mereka pada hari-hari raya mereka, yang terkadang hal tersebut menyeret (seorang muslim) untuk menjadikan hari-hari raya mereka sebagai hari raya kita atau, paling tidak, terjadi pertukaran undangan untuk mengambil makanan atau hadiah pada hari raya kita dan hari raya mereka. Hal ini merupakan bentuk-bentuk fitnah dan perbuatan bid’ah dalam agama.

Telah sah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Siapa yang mengada-adakan perkara baru dalam agama kami hal yang bukan dari agama, hal tersebut tertolak.”
Juga tidak diperbolehkan untuk memberi hadiah kepada mereka perihal hari raya mereka.” (Fatawa Al-Lajnah 22/399)

Ketujuh, ikut andil dalam kemaksiatan dan kemungkaran. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

( مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيْهِمْ بِالْمَعَاصِيْ ثُمَّ يَقْدِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لاَ يُغَيِّرُوا إِلاَّ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ )
“Tidaklah suatu kaum, yang diperbuat kemaksiatan-kemaksiatan di antara mereka, kemudian mereka sanggup mengubah hal itu, lantas mereka tidak mengubah hal tersebut, kecuali dikhawatirkan bahwa Allah akan menimpakan siksaan terhadap mereka semua secara umum.” (H.R Abu Dawud)
Hendaknya setiap hamba bertakwa kepada Allah serta menjaga diri dan keluarganya terhadap segala hal yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu wa ta’ala,

 “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian terhadap api neraka.”[At-Tahrîm: 6]
Wallâhu A’lam.


[1] Dhabb adalah hewan yang mirip biawak, tetapi bukan biawak seperti sangkaan sebagian orang, -pent..


Pada hari ini telah Kusempurnakan agama kalian untuk kalian, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepada kalian, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama kalian.” [Al-Mâ`idah: 3]