Saturday 31 December 2011

..**Jadilah Sahabat yang menyenangkan untuk pasangan (yang halal tentunya)**..


Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan (ithmi'nân/ thuma’nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.

Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah serta langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.

Menikahlah, Karena Itu Ibadah
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman Islam yang benar.

Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan. Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya, karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempua

n, harus memahami konsep-konsep pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan, pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.

Jadilah Sahabat yang Menyenangkan
Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai suami-istri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula sebaliknya.

Keduanya benar-benar seperti dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar patner kerja bagi suami, apalagi bawahan atau pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati suaminya.

Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (TQS. ar-Rum [30]: 21).

Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya, suami akan selalu mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela; saling menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing.

Keduanya pun selalu siap berproses bersama meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah ithmi'nân/tuma’ninah (ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.

Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warahmah adalah suatu keniscayaan.

Bersabar atas Kekurangan Pasangan
Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanya berlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik kecil ataupun besar, yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak; istri yang kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang ulet' mencari nafkah. Penyebab lainnya adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.

Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga. Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai persoalan. Hanya saja, seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem kehidupannya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, Allah memudahkan penyelesaian segala urusannya.

Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan Islam.

Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma‘shûm (terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau istri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil adalah bersabar!

Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan Allah Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-Zumar [39]: 10).

Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam menjalankan seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi ujian dan cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau istri) kita.

Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama: Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau justru melanggar larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada suami: suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu, atau malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya, melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut ilmu dan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita kepada Allah Swt.

Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di antara suami-istri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap istri, padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha maksimal tetapi tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik; suami “cara bicaranya” kurang lembut dan cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut bersabar untuk mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:

Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi perangainya yang lain. (HR Muslim).

Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan, cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Wallâhu a‘lam bi ash-shawab. [keluarga/syabab.com]

~•♥•~Indahnya Persahabatan Suami-Istri~•♥•~




Oleh. Ir. Ratu Erma Rahmayanti
Pembina Forum Mar’ah Shalihah Pusat Pengembangan Islam

Tujuan pernikahan selain untuk melestarikan keturunan generasi manusia, juga dalam rangka untuk meraih sakinah mawaddah wa rahmah dalam keluarga. Kehidupan keluarga ini diawali dari adanya suami istri dalam rumah tangga. Interaksi keduanya (yakni suami dan istri) telah diatur oleh hukum-hukum syariat Islam yang terkait dengan kehidupan berkeluarga. Ada kewajiban masing-masing yang harus ditegakkan. Ada hak masing-masing yang harus terpenuhi. Pelaksanaan kewajiban masing-masing baik suami atau istri secara tidak langsung akan menjamin pemenuhan hak keduanya. Namun bukan berarti pelaksanaan hukum-hukum dalam rumah tangga bersifat mengekang dan sangat membebani keduanya. Bahkan pelaksanaan kewajiban-kewajiban ini menjadi sangat indah dan menyenangkan bila antara suami-istri ada pola persahabatan yang harmonis. Dengan pola persahabatan yang harmonis ini, sakinah, mawaddad wa rahmah akan mudah teraih. Seperti apa persahabatan antara suami istri?

Mengapa persahabatan suami istri begitu penting dalam rumah tangga?

Membina rumah tangga memerlukan waktu yang tidak sedikit, tidak ada orang yang bercita-cita menjalani rumah tangga hanya sebentar saja, inginnya langgeng bahkan sampai usia mereka menjadi kakek dan nenek. Perjalanannya melalui hari-hari yang panjang. Bila keseharian rumah tangga dijalani dengan suasana tidak enjoy, pantaslah bila keluarga yang tidak harmonis dikatakan “Rumahku nerakaku”, namun sebaliknya bila dijalani denga enjoy dikatakan “rumahku surgaku” atau “baiti jannati”. Gambaran baiti jannati terwujud bila pergaulan antara orang yang menjalani rumah tangga itu memiliki hubungan dengan corak atau pola persabatan. Shoohaba artinya saling menyertai, mendampingi, mengisi dan memberi. Take and give gitu, satu sama lain memenuhi haknya dan menjalankan kewajiban masing-masing.

Bagaimana bila hubungan suami dan istri tidak dilandasi pola persahabatan ini?

Lawan dari persahabatan adalah persaingan. Dalam persaingan, satu sama lain akan saling mengungguli dan mesti pihak yang merasa unggul akan merendahkan yang lain. Suasana ini tentu saja akan menimbulkan ketidakharmonisan, suami akan keberatan memenuhi hak istri yang menjadi kewajibannya, begitu juga istri keberatan jika harus taat suami kalau suaminya tidak memenuhi kewajibannya. Akhirnya, yang terjadi adalah konflik terus.

Apakah berarti membangun persahabatan itu perlu dimulai sejak belum menikah? Misalnya ketika proses penjajakan untuk menuju pernikahan, agar ketika menikah bisa lebih bersahabat.

Bisa saja, tapi tidak dengan cara pacaran. Dengan alasan penjajakan dan membangun persahabatan. Yang harus dilakukan sebelum menikah adalah memahami hubungan dalam kehidupan pernikahan.

21. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Dari ayat tersebut difahami bahwa dasar dari pernikahan adalah ketenangan. Dasar dari kehidupan rumah tangga adalah ketenangan. Agar terjadi hubungan persahabatan yang penuh suka cita dan ketenangan, Islam menjelaskan ada hak-hak istri yang harus dipenuhi suami sebagai kewajibannya, dan ada pula hak-hak suami yang harus dipenuhi sebagai kewajiban atas sang istri. Dalam hal ini Allah berfirman:

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

[143] hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa’ ayat 34).

Dalam ayat lain Allah berpesan:
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Jadi agar nanti saat pernikahan terasa hubungan yang sarat dengan persahabatan, masing-masing harus mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajibannya.

Bila kita menikah dengan orang yang baru kita kenal mungkinkah kita langsung bisa membangun persahabatan dengannya?

Tentu saja bisa, karena saat hati calon pasangan suami istri telah mantap untuk menapaki jalan rumah tangga, berarti mereka telah siap menjalankan kewajiban dalam rumah tangga dan siap memenuhi hak-hak masing-masing pasangan. Karena gambaran persahabatan itu kan saling memberi dan menerima. Masalah hati (rasa cinta dan sayang) itu mah bisa diatur, karena persahabatan tidak semata terjalin hanya didasari cinta (syahwat/kecenderungan). Banyak yang membangun hubungan karena “cinta” (yang berpacaran dulu kemudian menikah), rumah tangganya penuh dengan perselisihan.

Dalam hubungan keluarga ada hukum yang mewajibkan istri harus taat pada suami, istri harus melayani suami, tidakkah ini merupakan satu bentuk diskriminasi satu pihak terhadap pihak lainnya?

Tentu saja tidak. Kalau difikirkan dengan jernih mengapa seorang istri harus taat pada suaminya, sebenarnya itu merupakan hubungan timbal balik yang kuat. Suami kan diminta mempergauli istrinya dengan baik, ia harus menafkahi semua kebutuhan istri, bersikap lembut, tidak kasar, tidak cenderung pada wanita lain (menjaga perasaan istri), berwajah ramah (berseri-seri) dan selain itu suami berkewajiban melindungi istrinya dari kejahatan, bahaya dll dan juga bertanggungjawab dalam pendidikan istrinya. Nah, dengan kewajiban dan tanggungjawab yang begitu besar, sepantasnyalah ia mendapat imbalan keta’atan sang istri. Karena pada saat hak-hak dirinya (suami) dipenuhi dengan keta’atan istrinya, suami akan merasa bahagia dan bebannya terasa ringan untuk dipikul.

Sahabat Ibnu Abbas menuturkan: “Para istri berhak untuk dipergauli (dibimbing, dan dibina) secara baik, disisi lain ia harus ta’at pada apa yang telah diwajibkan atas mereka yaitu memenuhi hak-hak para suami”.

Dalam pelaksanaannya masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak pasangannya, bagaimana agar semua ini bisa berjalan indah dan menyenangkan?
Pandanglah semua itu dalam rangka taat perintah Allah, Sang Maha Diraja, Pemilik seluruh alam. Niscaya saat menjalankan kewajiban dan tatkala memenuhi hak yang menjadi pasangan hidup akan terasa indah dan menyenangkan. Kepuasan batin yang tidak bisa dinilai, saat kita telah mampu menjalankan titah Sang Pencipta. Perasaan senang saat menjalankan perintah harus dipupuk sejak dini, tidak muncul tiba-tiba. Diawali dengan kesadaran akan arti kehidupan, untuk apa manusia hidup dan apa makna bahagia yang hakiki. Mulai dengan ketaatan-ketaatan, terikat hukum syara dalam segala hal. Dengan pembiasaan seperti ini, niscaya rasa senang dan bahagia dalam menjalankan perintah Allah akan terasa.

Apa kiat-kiat menguatkan jalinan persahabatan antara suami istri?
- Usahakan mengenal lebih dalam karakter pasangan
- Senantiasa memahami bahwa ada kekurangan pada pasangan kita, tapi ingat firman Allah:
- Menerima setiap kelebihan yang ada pada pasangan dan memberi penghargaan untuk hal itu
- Melakukan komunikasi yang terbuka dan hangat, setiap masalah dibicarakan dan dicarikan solusinya bersama
- Cepat memaafkan bila terjadi kekeliruan pada pasangan kita

Sebaik-baik Shaf Shalat.

Sebaik-baik Shaf Shalat.
"Khairu Shufuf al-rijal awwaluha wa khiru shufuf al-nisa' akhiruha."
yang artinya:
"Sebaik-baik shaf shalat laki-laki adalah yang terdepan dan sebaik-baik shaf shalat perempuan adalah yang terbelakang.
Hadits riwayat dari:
-Abu Hurairah.
-Abu Umamah.
-Fatimah binti Qais.
-Ibn Abbas.
-Anas.
-Umar ibn Khattab.



Kalau membaca hadits di atas teringatlah kita ketika Rasulullah SAW di masjid Nabawi yang sederhana dan bersahaja, tidak ada tabir dan belum dibangun bersusun seperti dewasa ini.

Paparan yang sedemikian ini disebut Sya'nul Wurud ( kondisi riil saat Nabi menyampaikan sebuah pesan ).
Belum algi pakaian yang digunakan oleh kebanyakan laki-laki yang sampai tengah betis, sehingga pada pelaksanaan shalat jama'ah ketika bangun untuk melaksanakan rakaat berikutnya, pihak wanita dinasehati oleh Rasulullah supaya tidak langsung ikut berdiri, melainkan menunggu kaum lelaki benar-benar telah berdiri tegak.

Tentu laki-laki yang berdiri pada shaf terdepan merasa aman dari terlihatnya aurat oleh kaum wanita.
Hal itu tentu berbeda ketika seseorang berada pada shaf terbelakang, yang konsentrasinya akan terasa risih bila auratnya terlihat oleh wanita yang berdiri di belakangnya.


Kekhusyu'an mereka yang berdiri pada shaf terdepan tentu lebih sempurna ketimbang mereka yang berdiri di shaf terbelakang.
Seperti itu juga kebalika yang terjadi pada wanita.
Mereka tentu lebih nikmat berdiri pada shaf terbelakang daripada mereka berdiri pada shaf terdepan.

Pemahaman seperti ini tentu akan berbeda sekiranya masjid di renovasi menjadi 2 tingkat misalnya.
Tingkat bawah diperuntukkan untuk kaum laki-laki dan tingkat atas untuk kaum perempuan.
Atau bisa juga kondisi masjid diberi sekat kain atau kayu untuk memisahkan jama'ah lelaki dan perempuan.

Masihkah shaf shalat wanita yang terbaik pada yang terbelakang.
Untuk memberikan pemahaman seperti ini tidaklah mudah, ketika kita harus berhadapan dengan teman yang memahami hadits dengan pendekatan tekstual murni.
Wallahu A'lam.

..**Sayang, nikah yuk?**..


Bismillahirrahmanirrahim..
Seorang wanita berbicara dengan kekasihnya,” Sayang, nikah yuk?”
Kekasihnya menjawab,”Nanti dulu ya neng, ntar abang nggak bisa membahagiakan kamu.”
Dalam hati kekasihnya berkata, kalau aku menikah pasti aku nggak akan bebas lagi.Sang wanita pun hanya bisa pasrah.
Di lain tempat ada seorang muslimah sedang ber-FB an ria dengan seseorang yang dia sebut ikhwan.
Muslimah itu pun mengirimkan pesan,”Kapan antum ke rumah ana, akh? kita tidak akan seperti ini terus kan akh?”
Ikhwan itu pun membalas,”Sabar yaa ukhti, ana pasti akan datang ke rumah anti, hanya ana ingin agar anti mau menanti ana sampai selesai kuliah lalu bekerja. Bila ini memang cinta, sungguh anti pasti sanggup menanti ana.”
Si ikhwan dalam hati berkata, kalau aku lulus kuliah itu 4 tahun lagi, terus nanti cari kerja kira-kira 2 tahun. Bisa nggak ya?
Muslimah itu pun meski ragu tapi tetap menerima dengan dalih karena cinta.
***
Berapa banyak laki-laki atau wanita yang beralasan seperti di atas, berapa banyak muslim atau muslimah yang tidak jelas alasannya. Diajak menikah alasannya banyak dan berubah-ubah, dari yang belum cocok jadi meng-halalkan pacaran dengan dalih ingin mencari yang cocok. Atau menanti tanpa batas waktu dengan dalih ta’aruf, padahal tak ada bedanya dengan mereka yang pacaran.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Kalau memang belum sanggup untuk mengikat seseorang dalam sebuah hubungan halal yakni Pernikahan, tak perlulah kamu rela dikerubuti syetan yang akan membawamu pada perzinaan.
Hilangkan pikiran untuk pacaran yang akhirnya hanya akan membuatmu terpuruk pada kesemuan cinta. Awalnya memang meyakinkan akhirnya menyesakkan, hanya karena alasan ketidak cocokan atau karena dia bukan orang yang tepat buat mendampingimu. Sampai kapan hal itu akan menjadi alasan untuk meng-halalkan pacaran?
Pupuskan dahulu untuk berta’aruf, agar tidak adanya seseorang yang menantimu sepanjang waktu sedangkan kamu tidak tahu sampai kapan bisa mewujudkannya. Jangan membuat dalih-dalih untuk membuatnya menunggu atas nama cinta, padahal kamu tidak siap untuk melamarnya. Semua ini hanya akan menambah kegalauan dan kekecewaan bahkan menghancurkan hidup orang lain.
Apabila memang kamu sudah siap, segera halalkan lah hubunganmu, namun bila kamu belum siap untuk menikah, maka jagalah hatimu dahulu. Jangan kamu umbar janjimu padahal kamu tahu kamu belum mampu menepatinya.
Pikirkanlah lagi bila kamu ingin menerima ta’arufan dari laki-laki, padahal kamu tahu bila kamu harus menanti ketidakpastian. Iya kalau memang penantianmu ada hasilnya, kalau tidak? kamu hanya akan membuang waktu. Apabila dia ingin serius denganmu, dia tidak akan membiarkanmu dalam ketidakpastian.
***

Di suatu rumah, seorang wanita sedang bercengkrama dengan seorang laki-laki. Tak lain dia adalah suaminya yang sudah di nikahinya selama 20 tahun.
Suaminya bertanya,”Kenapa kamu memilihku untuk menikahimu? padahal kita tidak lama berjumpa. Semudah itu kah kau jatuh cinta padaku?”
Wanita itu pun tersenyum manja seraya menjawab,”Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memilihmu untuk ku cintai.”
Sungguh cinta yang hakiki datangnya dari sebuah Pernikahan, bukan hanya dengan janji semata.