Monday 2 January 2012

Belajar Dari Kupu-Kupu




” Bunda..bunda” aku lepaskan sejenak pandanganku dari sebuah layar kecil dihadapanku menghadap anakku yang sedang bermain di halaman.
” Apa Nak ” aku menemuinya di halaman.
” Ini apa yaa Bunda “anakku menunjukk sesuatu di ranting pohon.

” Oohh..ini namanya kepompong nak, nanti dari sini akan keluar kupu-kupu. Lihat Nak, kepompongnya gerak-gerak, sepertinya calon kupu-kupu sebentar lagi akan keluar ” aku tersenyum dengan keingin tahuan anakku.
” Aku mau lihat yaa Bunda ”

Aku hanya membalasnya dengan senyum. Aku pun kembali menekuni layar yang ada di hadapanku.
” Bunda..bunda..kupu-kupu nya sudah keluar ” aku bergegas menghampirinya.
” Mana-mana ” aku mencari kupu-kupu di atas kepalaku, namun yang ku cari sepertinya tak ada.
” Itu Bunda ” Anakku menunjuk ke arah tanah. Aku mengerenyitkan dahi.

” Lho kok gak bisa terbang ” Lalu aku melihat kupu-kupu tadi lebih dekat dengan meletakkannya di tanganku.

” Sepertinya sayap kupu-kupu ini gak sempurna Nak. Tadi kamu apakan ?? ”
” Tadi kan aku cuma ingin membantu kupu-kupu itu agar cepat keluar Bunda, abisnya kasian kayaknya susah bangetkeluarnya. Udah gitu lama lagi gak keluar-keluar. Kok jadinya malah gak bisa terbang Bunda ” kata anakku polos. Aku mengerti maksud dari anakku. Dia hanya ingin menolong.

“Nak.. Calon kupu-kupu ini sebenarnya butuh proses panjang sehingga dia bisa menjadi kupu-kupu yang indah. Didalam kepompong tadi lah proses yang sudah Allah tentukan terjadi. Biar calon kpu-kupu tadi bisa terbang, sayapnya harus kuat sayang. Nah..kekuatan sayap itu nantinya akan berkembang ketika calon kupu-kupu tadi melebarkan sayapnya saat dia membuka secara perlahan-lahan kepompong tadi. Jadi ketika dia membuka kepompong tadi, dia sedang memperkuat sayapnya biar bisa terbang. Kamu memang baik Nak, mau membantu kupu-kupu ini keluar dari kepompongnya. Tapi calon kupu-kupu ini jadi gak bisa memperkuat sayapnya, karna dia gak membuka kepompongnya dengan sayapnya. Tapi dengan bantuanmu Nak. Makanya kupu-kupu ini jadi lemah, sayapnya jadi gak kuat, akhirnya gak bisa terbang ”

Aku menjelaskan panjang lebar pada anakku, yang disambut tatapan syahdu pada kupu-kupu yang hanya mampu merayap. Akhirnya anakku pun meletakkan kupu-kupu tadi di atas ranting dan hanya bisa menatapnya dengan penuh pembelajaran yang berarti.

=====================================

Sebenarnya, kita sebagai manusia mempunyai proses yang sama dengan kupu-kupu tadi. Kita membutuhkan perjuangan dalam hidup ini agar kita kuat saat menghadapi cobaan dari Allah Azza Wa Jalla. Seandainya kita menjadi kupu-kupu dan kepompong adalah cobaan bagi kita, kita akan menjadi sangat kuat ketika kita hendak terbang menempuh badai dunia. Namun bila kita tidak menghendaki cobaan ada didalam hidup kita, maka kita akan menjadi lemah ketika menghadapi badai dunia.

Ketika kita menghendaki kekuatan, maka Allah memberikan kita cobaan agar kita menjadi orang yang kuat. Ketika kita meminta kebijaksanaan, maka Allah memberikan kita berbagai masalah untuk di pecahkan, agar kita mampu menjadi orang yang bijak dalam berfikir. Ketika kita meminta keberanian, maka Allah memberikan kita rintangan hidup, agar kita mampu merasakan keberanian dalam menghadapi setiap masalah. Ketika kita meminta Cinta, maka Allah memberika kita orang-orang yang patut kita bantu agar kita mampu merasakan cinta dan kasih sayang dengan sesama muslim dalam sebuah Ukhuwah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak memberikan apa yang kita mau, tapi apa yang kita butuhkan. Yakinlah bahwa setiap cobaan dan ujian adalah bentuk kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada kita, agar kita bisa menempuh badai dunia.

Wallahua’lam bi ash Showwab.

Keikhlasan Seorang Suami






Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup. Seharusnya saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi yang aku rasakan justru rasa haru biru. Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, "Jadi juga kau nikah sama 'buntelan karung hitam' itu ....?!?"
Duh......, hatiku sempat kebat-kebit mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut 'buntelan karung hitam'.
"Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!" sambung ibu lagi.
"Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu...?" Kali ini aku terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat tersinggung mendengar ucapanku.
"Oh.... rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu. baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa perempuan itu ke rumah ini !!" DEGG !!!!
"Yanto.... jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba," teguran Ismail membuyarkan lamunanku. Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
"Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah ...akhi," sekali lagi Ismail memberi semangat padaku.
"Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai !" Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad nikah.
"Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien. Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain."
Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam. Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.
"Assalamu'alaikum .... permintaan hafalan Qur'annya mau di cek kapan De'...?" tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur'an tiap malam satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui. "Nanti saja dalam qiyamullail," jawab istriku, masih dalam tunduknya. Wajahnya yang
berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah. Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku 'tidak menarik'. Sekelebat pikiran itu muncul ....dan segera aku mengusirnya.
Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
"Bang, sudah saya katakan sejak awal ta'aruf, bahwa fisik saya seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima sesuatu yang tidak ia sukai pada istrinya.
Saya ingin mengingatkan Abang akan firman Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama pernikahan mereka," ...
Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat patut (ahsan). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjanjikan padanya kebaikan yang banyak." (QS An-Nisa:19)
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah. "Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan
kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan
menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas."
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih menyisakan segumpal ragu.
"Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh... saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk," ucapnya lagi. "Tidak...De'.
Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah. Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi," paparku sambil menggenggam erat tangannya.
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do'a kubentangkan pada Nya.
"Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri karena rupa yang cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan kupasrahkan pada-Mu. Karera itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam Jannah-Mu !"
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu kutatap raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, .. sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa melaksanakan shoum sunnah Rasul Nya. "...dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya pada Allah ..." (QS. al-Baqarah:165)
=========================================
Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah , maka kuatkanlah aku dan aku ini hina maka muliakanlah aku dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang maha Pengasih.

Meminang Bidadari



“Menikah ?”
“Ya..”
“Tentu”, jawab Ayesha tanpa ragu.
“Pertimbangkan dulu. Jangan cepat ambil keputusan.”
Bibinya berkata benar. Ayesha sedikit tersipu, tangannya membenahi abaya yang dipakainya dengan rikuh.

“Dengan siapa, Ammah ?”
Wajah lembut itu tiba-tiba mengeras. Kedua matanya mendadak meyembung.
Mungkin karena air mata yang siap turun, entah kenapa. Luapan bahagiakah,karena keponakannya yang diurus sejak kecil ini akhirnya ada yang meminang ?
Ayesha menunggu jawaban dari ammahnya. Tapi beberapa kejap hanya dilalui gelombang senyap.

“Ammah….dengan siapa ?”
Pandangan tajam wanita berumur itu menembus bola mata Ayesha. Seperti menimbang-nimbang kesiapan keponakan yang dicintainya itu, menikah.
Ayesha membalas pandang, lebih karena ia tak mengerti kenapa pernikahan, kalau memang itu yang akan terjadi padanya, tak disambut ammah dengan riang, seperti pernikahan pada umumnya.
“Dengan Ayyash !”

Ayyash ?
Ammah mengangguk. Wajahnya pucat, namun terkesan lega.
Biarlah…..biarlah Ayesha yang memutuskan….ini hidupnya.
Suara hati wanita itu bicara.

Di depannya tubuh Ayesha seperti kaku. Seolah tak percaya. Senang, tapi …juga tahu apa yang akan dihadapinya. Berita itu mungkin benar. Yang jadi pertanyaan, siapakah dia ?
“Kau pikirkan dulu, ya ? Ia memberi waktu sampai tiga hari. Katanya lebih cepat lebih baik.”
Ayesha masih tak bergerak. Pandangannya menembus jendela, meyisiri rumah-rumah di lingkungannya, dan debu tebal yang terembus di jalan.

Pernikahan….sungguh penantian semua gadis. Dengan Ayyash pula, siapa yang keberatan ? Tapi semua pun tahu, apa arti sebuah pernikahan di Palestina.
Tantangan, perjuangan lain yang membutuhkan kesiapan lebih besar. Terutama bagi setiap gadis, yang menikahi pemuda pejuang macam Ayyash!

***
Dulu sekali, sewaktu kecil, ia tak memungkiri, kerap memperhatikan Ayyash dan teman-temannya dari balik kerudung yang biasa ditutupkan ke wajah, jika mereka kebetulan berpapasan. Mereka bertetangga. Begitulah Ayesha mengenal Ayyash, dan melihat bocah lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya, tumbuh dewasa.

Ayah Ayyash salah satu pemegang pimpinan tertinggi di Hamas, sebelum tewas dalam aksi penyerangan markas tentara Israel. Ibunya, memimpin para wanita Palestina dalam berbagai kesempatan, mencegat, dan mengacaukan barisan tentara Yahudi, yang sedang melakukan pengejaran atas pejuang intifadah. Mereka biasa muncul tiba-tiba dari balik tikungan yang sepi, atau memadat di pasar-pasar, dan menyulitkan pasukan Israel yang mencari penyusup.

Bukan tanpa resiko, karena semua pun tahu, para tentara itu tak menaruh kasihan pada perempuan, atau anak-anak. Para perempuan yang bergabung, menyadari betul apa yang mereka hadapi. terkena tamparan atau tendangan, bahkan popor senapan, hingga tubuh mengucurkan darah, bahkan terlepas nyawa, adalah taruhannya.

Ayesha sejak lima tahun yang lalu, tak pernah meninggalkan satu kalipun aksi yang diadakan. Ia iri dengan para lelaki yang mendapat kesempatan lebih memegang senjata. Itu sebabnya gadis berkulit putih kemerahan itu, tak ingin kehilangan kesempatan jihadnya, sejak usia belia.
Tiga tahun lalu, ketika ibunda Ayyash syahid, dalam satu aksinya, setelah sebuah peluru mendarat di dahinya, mereka semua datang, juga Ayesha, untuk menyalatkan wanita pejuang itu.

Pedihnya kehilangan ummi, Ayesha menyadari perasaan berduka yang
bagaimanapun memang manusiawi. Begitu kagumnya ia melihat ketegaran Ayyash, mengatur semua prosesi, hingga tanah menutup dan memisahkannya dari ibunda tercinta. Tak ada sedu sedan, tak ada air mata. Hanya doa yang terucap tak putus. begitulah Ayyash menghadapi kehilangan abi, saudara-saudara lelakinya, adik perempuannya yang paling kecil, lalu terakhir ummi yang dikasihi. Begitu pula yang dipahami Ayesha, cara pejuang menghadapi kematian keluarga yang mereka cintai.

Dan kini, Ayesha dua puluh dua tahun. masih menyimpan pendar kekaguman dan simpati yang sama bagi Ayyash. Bocah lelaki bermata besar itu sudah menjelma menjadi lelaki gagah, dengan kulit merah kecoklatan, hidung bangir, dan mata setajam elang. Semangat perjuangan dan ketabahan lelaki itu sungguh luar biasa. Sewaktu kedua abangnya melakukan aksi bom syahid, meledakkan gudang logistik Israel, ia hanya mengucapkan innalillahi, sebelum bangkit dan menggemakan Allahu Akbar, saat memasuki rumah dan mengabarkan berita itu pada umminya.
Lalu ketika Fatimah, adiknya yang berpapasan dengan tentara, diperkosa, dan dibunuh sebelum dilemparkan ke jalan dengan tubuh tercabik-cabik.

Ayyash masih setabah sebelumnya. Padahal siapapun tahu, cintanya pada Fatimah, bungsu di keluarga mereka.

Ayesha tak mengerti terbuat dari apa hati lelaki itu. Setelah semua kehilangan, tak ada dendam yang lalu membuatnya membabi buta atau meluapkan amarah dengan makian kotor. Ayyash menerima semua itu dengan keikhlasan luar biasa. Hanya matanya yang sesekali masih berkilat, saat ada yang menyebut nama adiknya. Di luar itu, hanya keshalihan, dan ketaatannya pada koordinasi gerak Hamas, yang kian bertambah. Begitu, dari hari ke hari.

****

Mereka berhadapan. Pertama kali dalam hidupnya ia bisa bebas menatap wajah lelaki itu dari jarak dekat. Ayyash yang tenang. Hanya bibirnya yang menyunggingkan senyum lebih sering, sejak ijab kabul diucapkan, meresmikan keberadaan keduanya.
Ayyash yang tenang dan hati Ayesha yang bergemuruh. Bukan saja karena kebahagiaan yang meluap-luap, tapi oleh sesuatu yang lain. Sebetulnya hal itu ingin disampaikannya pada lelaki yang kini telah menjadi suaminya.

Namun saat terbayang apa yang telah dihadapi Ayyash, dan senyum yang dilihatnya pertama kali begitu cerah. Batin Ayesha urung. Biarlah….nanti-nanti saja, atau tidak sama sekali, pikirnya. Ia tak mau ada yang merisaukan hati lelaki itu, terlebih karena waktu yang mereka miliki tak banyak. Bahkan sebentar sekali.

Dua hari lalu, Ayyash sendiri yang meyampaikan kebenaran berita itu, niatan lelaki berusia dua puluh tujuh tahun, yang sudah selama dua pekan ini dibicarakan dari mulut ke mulut.

“Ayyash mencari istri ?”
“Ia akan menikah secepatnya, akhirnya ”
“Tapi siapa yang akan menerima pernikahan berusia sehari semalam ?”
Percakapan gadis-gadis di lingkungan mereka. Awalnya Ayesha tak mengerti.
“Kenapa sehari semalam ?”, tanyanya pada ammahnya.
“Sebab, lelaki itu sudah menentukan hari kematiannya, Ayesha. Kini tinggal sepekan lagi. Waktunya hampir habis.”

Ayesha ingat ia tiba-tiba menggigit bibir menahan sesak yang tiba-tiba melanda. Ayyash pasti sudah menyanggupi melakukan aksi bom bunuh diri,seperti dua saudaranya dahulu. Cuma itu alasan yang bisa diterima, kenapa pejuang yang selama ini terkesan tak peduli dan tak pernah memikirkan untuk menikah, tiba-tiba seolah tak sabar untuk segera menikah.

“Saya ingin menghadap Allah, yang telah memberi begitu banyak kemuliaan pada diri dan keluarga saya, dalam keadaan sudah menyempurnakan separuh agama.

Kalimat panjang lelaki itu, wajahnya yang menunduk, dan rahangnya yang terkatup rapat. Menunggu jawaban darinya.

Ayesha merekam semua itu dalam ingatannya. Dua hari lalu, saat khitbah dilangsungkan.
“Ya….”jawabannya memecah kesunyian. Ammah serta merta memeluknya dengan wajah berurai air mata. Bahagia berbaur kesedihan atas keputusan Ayesha.

Membayangkan keponakannya yang selalu dibanggakan karena semangatnya yang tak pernah turun, akan menjalani pernikahan. Yang malangnya, bahkan lebih pendek dari umur jagung.
Berganti-ganti Ayesha melihat wajah ammah yang basah air mata, lalu senyum dari bibir Ayyash yang tak henti melantunkan hamdalah.

Di depan Ayesha, Ayyash tampak begitu bahagia, karena tiga hari, sebelum tugas itu dilaksanakan, ia berhasil menemukan pengantinnya. Seorang bidadari dalam perjuangan yang ia hormati, dan kagumi kekuatan mental maupun fisiknya. Ya, Ayesha.

Mereka masih bertatapan. Saling menyunggingkan senyum. Ayesha yang
Wajahnya masih sering bersemu dadu, tampak sangat cantik di mata Ayyash.

Pengantinnya, bidadarinya…..kata-kata itu diulangnya berkali-kali dalam hati. Namun betapapun cantiknya Ayesha, Ayyash tak hendak melanggar janji yang ditekadkan jauh dalam sanubarinya.
“Ayesha…..saya tak menginginkanmu, bukan karena saya tak menghormatimu.”

Senyum Ayesha surut. Matanya yang gemintang menatap Ayyas tak berkedip, menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Ini malam pertama mereka, dan setelah ini, tak akan ada malam-malam lain. Besok selepas waktu dhuha,lelaki itu akan menemukan penggal akhir hidupnya, menemui kekasih sejati.

Allah Rabbul Izzati. Tak layakkah Ayesha memberikan yang terbaik baginya ?
Bagi ia yang akan menjelang syahid ?

Pendar di mata Ayesha luluh. Ayyash mendongakkan dagunya, tangannya yang lain menggenggam jari-jari panjang Ayesha, seakan mengerti isi hati istrinya.

“Saya mencintaimu, Ayesha. Dan saya meridhai semua yang telah dan akan Ayesha lakukan selama kebersamaan ini dan setelah saya pergi. Saya percaya dan berdoa, Allah akan memberimu seorang suami yang lebih baik, selepas kepergian saya.”

Ayesha tersenyum. Menyembunyikan hatinya yang masih gemuruh. Seandainya ia bisa menceritakannya pada Ayyash. Tapi ia tak sanggup. “Tak apa. Saya mengerti.” Cuma itu yang bisa dikatakannya pada Ayyash.

Suasana sekitar hening. Langit tanpa bulan tak mempengaruhi kebahagiaan di hati Ayyash. Bulan, baginya, malam ini telah menjelma pada kerelaan dan keikhlasan istrinya.

“Saya ingin, Ayesha bisa mendapatkan yang terbaik.” Lelaki itu melanjutkan kalimatnya. “Dan karenanya saya merasa wajib menjaga kehormatanmu. Kita bicara saja, ya ? Ceritakan sesuatu yang saya tak tahu, Ayesha.”

Ayesha menatap mata Ayyash, lagi. Disana ia bisa melihat kegarangan dan keteduhan melebur satu. Sambil ia berpikir keras apa yang bisa ia ceritakan pada lelaki itu ? Tak lama dari bibir wanita itu meluncur cerita-cerita lucu tentang masa kecil mereka. Canda teman-teman mainnya, dan kegugupannya saat pertama berhadapan dengan Ayyash. Juga jari-jari tangannya yang berkeringat saat ia mencium tangan Ayyash pertama kali.

Betapa ia hampir terjatuh karena kram, akibat duduk terlalu lama, ketika mencoba bangun menyambut orang-orang yang datang menyalami mereka tadi pagi.

Di antara senyum dan derai tawa suaminya, Ayesha masih berpikir tentang lelaki yang duduk di hadapannya. Sungguh, ia ingin membahagiakan Ayyash,dengan cara apapun. Melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah Ayyash,membuat Ayesha tak habis pikir. Kenapa kebahagiaan orang lain, bisa membuatnya begitu bahagia ? Tapi inilah kebahagiaan itu, bisiknya sesaat setelah mereka menyelesaikan sholat malam dan tilawah bersama. Kali pertama dan terakhir. Kebahagiaan bukan pada umurnya, tapi pada esensi kata bahagia. Dan Ayesha belum pernah sebahagia itu sebelumnya.

Mereka masih belum bosan menatap satu sama lain, dan berpegangan tangan.
Saat ia merebahkan diri di dada Ayyash setelah sholat subuh, lelaki itu tak menolak.
“Biarkan saya berbakti padamu, Ayyash”

Ia ingat Ayyash menundukkan wajah dalam, seperti berpikir keras, sebelum kemudian mengangguk dan menerimanya.

Beberapa jam lagi, Ayesha menghitung dalam hati. Kedua matanya memandangi wajah Ayyash yang pulas di depannya. Tinggal beberapa jam lagi, dan mereka akan tinggal kenangan. Dirinya dalam kenangan Ayyash, Ayyash dalam kenangan orang-orang sekitarnya.
Ketika fajar mulai menampakkan diri, Ayesha yang telah rapi, kembali menatap Ayyash yang tertidur pulas, mencium kening dan tangan lelaki itu, sebelum meninggalkan rumah dengan langkah pelan.

***

Ayyash terbangun oleh gedoran di pintu. Pukul setengah tujuh pagi. Kerumunan di depan rumahnya. pagi pertama pernikahan mereka. Ada apa ?

“Ayyash….istrimu, Ayesha.”
Ada titik air meruah di wajah ammah Ayesha. Lalu suara-suara gemang berdengung. Saling meningkahi, semua seperti tak sabar menyampaikan berita itu padanya.
“Setengah jam yang lalu, Ayyash. Ledakan…Ayesha yang melakukannya…”
“Gudang peluru itu. Bunyi…bagaimana kau bisa tak mendengar ?”
Ayyash merasa tubuhnya mengejang. Istrinya…..Ayesha mendahuluinya ?
Kepalan tangannya mengeras. Mengenang semua keceriaan dan kejenakaannya,serta upaya Ayesha membahagiakannya semalam. Jadi….Masya Allah !

Istrinya kini….benar-benar bidadari.
Pikiran itu menghapuskan rasa sedih yang sesaat tadi mencoba menguasai hatinya. meski senyum kehilangan belum lepas dari wajah lelaki itu, sewaktu ia undur diri, dari kerumunan di depan rumah.

Keramaian yang sama masih menantinya dengan sabar, ketika tak lama kemudian lelaki itu berkemas, lalu dengan ketenangan yang tak terusik, melangkahkan kakinya meninggalkan rumah.
Waktunya tinggal sebentar. Tentara Israel pasti akan melakukan patroli kemari, sesegera mungkin, setelah apa yang dilakukan Ayesha. Ia harus segera pergi. Ayyash mempercepat langkahnya. teman-temannya sudah menunggu di dalam jip terbuka yang membawa mereka berempat.

Sepanjang jalan, tak ada kata-kata. semua melarutkan diri dalam zikir dan memutihkan niatan. Opearsi hari ini rencananya akan menghancurkan salah satu pusat militer Israel di daerah perbatasan. Memimpin paling depan, langkah Ayyash sedikitpun tak digelayuti keraguan, saat diam-diam mereka menyusup. Allah memberinya bidadari, dan tak lama lagi, ia akan menyusulnya.
Pikiran bahagianya bicara. Ayyash tersenyum, mengaktifkan alat peledak yang meliliti badannya. Ini, untuk perjuangan…

Dan bumi yang terharu atas perjuangan anak-anaknya, pun meneteskan air mata.
Hujan pertama pagi itu, untuk Ayyash dan Ayesha.