Wednesday 1 August 2012

JERITAN PERAWAN (NB: KHUSUS WANITA!)

bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua) menjadi satu perkara yang menakutkan saat ini, mengancam kebanyakan pemudi-pemudi di masyarakat kita yang Islami, bahkan di seluruh dunia. Berikut ini marilah kita mendengarkan salah satu jeritan mereka :

Majalah Al-Usrah edisi 80 Dzulqa’dah 1420 H menuliskan jeritan seorang perawan tua dari Madinah Munawaroh,”Semula saya sangat bimbang sebelum menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau kesurupan. Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorang pun mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku ini dengan ringkas.

Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami… dan.. dan…
Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta’adud (poligami). Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, “Fulan menikah lagi yang kedua”, tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, “Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku’. Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta’addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta’addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari’at ta’addud. Saya katakan kepada mereka, ‘Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku”. Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.

Begitulah, hari terus berlalu sedangkan aku masih menanti pemuda impianku. Saya menanti… akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umurku dalam penantian. Telah lewat 30 tahun… oh Illahi, apa yang harus kuperbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup, orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.
Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, ‘Fulanah jadi perawan tua”. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Kasihan Fulanah jadi perawan tua”, akan tetapi… fulanah yang dimaksud itu ternyata aku. Ya Illahi! Sesungguhnya itu adalah namaku… saya telah menjadi perawan tua. Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua. Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitunganku, apa yang saya kerjakan?
Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantuku menyelesaikan problema-problemaku… Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, “Wanita ini tidak malu”. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa… akan tetapi bukan dari hatiku. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tanganku menggenggam bara api? Saya tidak sanggup…

Suatu hari, saudaraku yang paling besar mendatangiku dan berkata, “Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya…” Tanpa terasa saya berkata, “Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!” Ia berkata kepadaku, “Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta’addud (poligami)”. Hampir saja saya berteriak di hadapannya, “Kenapa kamu tidak menyetujuinya?” Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat… Kedua tanganku di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta’addud, sekarang menerimanya. Saudaraku berkata, “Sudah terlambat”
Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta’addud. Satu hikmah ini telah membuatku menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya ALlah, ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kata ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, “Berta’addud-lah, nikahilah satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kalian dengan firman-Nya, “… Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka satu…” Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami.”
Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah bersuami, “Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi ALlah. Lihatlah keadaan suadarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu”
Engkau mungkin mengatakan kepadaku, “Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya”. Saya katakan kepadamu, “Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya”.

Engkau mungkin juga mengatakan, “Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi.” Saya katakan kepadamu, “Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. (1)

Demi ALlah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu “Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia”. Ya ALlah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih”
A.A.N -Madinah

1. HR. Bukhari dalam kitan Iman no 13 dan Muslim no 45.
Disalin oleh Jilbab Online dari buku “Istriku Menikahkanku”, As-Sayid bin Abdul Aziz As-Sa’dani, Darul Falah, cet. Agustus 2004

KETAHUAN MENCURI MALAH DISURUH NIKAH KARENA BERUSAHA TAQWA

Ada seorang pemuda yang bertakwa, tetapi dia sangat lugu. Suatu kali dia belajar pada seorang syaikh. Setelah lama menuntut ilmu, sang syaikh menasihati dia dan teman - temannya : "Kalian tidak boleh menjadi beban orang lain. Sesungguhnya, seorang alim yang menadahkan tangannya kepada orang-orang berharta, tak ada kebaikan dalam dirinya. Pergilah kalian semua dan bekerjalah dengan pekerjaan ayah kalian masing- masing. Sertakanlah selalu ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut." 

Maka pergilah pemuda tadi menemui ibunya seraya ber-tanya: "Ibu, apakah pekerjaan yang dulu dikerjakan ayahku?" Sambil bergetar ibunya menjawab: "Ayahmu sudah meninggal. Apa urusanmu dengan pekerjaan ayah-mu?" Si pemuda ini terus memaksa agar diberitahu, tetapi si ibu selalu mengelak. Namun akhirnya si ibu terpaksa angkat bicara juga, dengan nada jengkel dia berkata: "Ayahmu itu dulu seorang pencuri?"! 

Pemuda itu berkata: "Guruku memerintahkan kami -murid-muridnya- untuk bekerja seperti pekerjaan ayahnya dan dengan ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan pekerjaan tersebut." 

Ibunya menyela: "Hai, apakah dalam pekerjaan mencuri itu ada ketakwaan?" Kemudian anaknya yang begitu polos menjawab: "Ya, begitu kata guruku." Lalu dia pergi bertanya kepada orang-orang dan belajar bagaimana para pencuri itu melakukan aksinya. Sekarang dia mengetahui teknik mencuri. Inilah saatnya beraksi. Dia menyiapkan alat-alat mencuri, kemudian shalat Isya' dan menunggu sampai semua orang tidur. Sekarang dia keluar rumah untuk menjalankan profesi ayahnya, seperti perintah sang guru (syaikh). Dimulailah dengan rumah tetangganya. Saat hendak masuk ke dalam rumah dia ingat pesan syaikhnya agar selalu bertakwa. Padahal mengganggu tetangga tidaklah termasuk takwa. Akhirnya, rumah tetangga itu ditingalkannya. Ia lalu melewati rumah lain, dia berbisik pada dirinya: "Ini rumah anak yatim, dan Allah memperi-ngatkan agar kita tidak memakan harta anak yatim". Dia terus berjalan dan akhirnya tiba di rumah seorang pedagang kaya yang tidak ada penjaganya. 

Orang-orang sudah tahu bahwa pedagang ini memiliki harta yang melebihi kebutuhannya. "Ha, di sini", gumamnya. Pemuda tadi memulai aksinya. Dia berusaha membuka pintu dengan kunci-kunci yang disiapkannya. Setelah berhasil masuk, rumah itu ternyata besar dan banyak kamarnya. Dia berke-liling di dalam rumah, sampai menemukan tempat penyim-panan harta. Dia membuka sebuah kotak, didapatinya emas, perak dan uang tunai dalam jumlah yang banyak. Dia tergoda untuk mengambilnya. Lalu dia berkata: "Eh, jangan, syaikhku berpesan agar aku selalu bertakwa. Barangkali pedagang ini belum mengeluarkan zakat hartanya. Kalau begitu, sebaiknya aku keluarkan zakatnya terlebih dahulu." 

Dia mengambil buku-buku catatan di situ dan menghidupkan lentera kecil yang dibawanya. Sambil membuka lembaran buku-buku itu dia menghitung. Dia memang pandai berhitung dan berpengalaman dalam pembukuan. Dia hitung semua harta yang ada dan memperkirakan berapa zakatnya. Kemudia dia pisahkan harta yang akan dizakatkan. Dia masih terus menghitung dan menghabis-kan waktu berjam-jam. Saat menoleh, dia lihat fajar telah menyingsing. Dia berbicara sendiri: "Ingat takwa kepada Allah! Kau harus melaksanakan shalat dulu!" Kemudian dia keluar menuju ruang tengah rumah, lalu berwudhu di bak air untuk selanjutnya melakukan shalat sunnah. 

Tiba-tiba tuan rumah itu terbangun. Dilihatnya dengan penuh keheranan, ada lentera kecil yang menyala. Dia lihat pula kotak hartanya dalam keadaan terbuka dan ada orang sedang melakukan shalat. Isterinya bertanya: "Apa ini?" Dijawab suaminya: "Demi Allah, aku juga tidak tahu." Lalu dia menghampiri pencuri itu: "Kurang ajar, siapa kau dan ada apa ini?" Si pencuri berkata: "Shalat dulu, baru bicara. Ayo pergilah berwudhu' lalu shalat bersama. Tuan rumah-lah yang berhak jadi imam". 

Karena khawatir pencuri itu membawa senjata si tuan rumah menuruti kehendaknya. Tetapi -wallahu a'lam- bagaimana dia bisa shalat. Selesai shalat dia bertanya: "Sekarang, coba ceritakan, siapa kau dan apa urusanmu?" Dia menjawab: "Saya ini pencuri". "Lalu apa yang kau per-buat dengan buku-buku catatanku itu?", tanya tuan rumah lagi. Si pencuri menjawab: "Aku menghitung zakat yang belum kau keluarkan selama enam tahun. Sekarang aku sudah menghitungnya dan juga sudah aku pisahkan agar kau dapat memberikannya pada orang yang berhak", Hampir saja tuan rumah itu dibuat gila karena terlalu ke-heranan. Lalu dia berkata: "Hai, ada apa denganmu sebe-narnya. Apa kau ini gila?" Mulailah si pencuri itu bercerita dari awal. Dan setelah tuan rumah itu mendengar ceritanya dan mengetahui ketepatan serta kepandaiannya dalam menghitung, juga kejujuran kata-katanya, juga mengetahui manfaat zakat, dia pergi menemui isterinya. 

Mereka berdua dikaruniai seorang puteri. Setelah keduanya berbicara, tuan rumah itu kembali menemui si pencuri, kemudian berkata: "Bagaimana sekiranya kalau kau aku nikahkan dengan puteriku. Aku akan angkat engkau menjadi sekre-taris dan juru hitungku. Kau boleh tinggal bersama ibumu di rumah ini. Kau kujadikan mitra bisnisku." Ia menjawab: "Aku setuju." Di pagi hari itu pula sang tuan rumah memanggil para saksi untuk acara akad Nikah Puterinya.

KETIKA SI CANTIK CARI JODOH

Asma binti Umamah adalah seorang perempuan Arab yang sangat jelita. Kecantikannya tersohor ke seluruh negeri. Selain cantik, Asma seorang perempuan terpelajar yang sangat cerdas. Asma sosok perempuan idaman setiap lelaki. Namun, hingga usianya terus beranjak dewasa, tak ada satu pun lelaki yang dia terima lamarannya.

Suatu ketika, Khalifah Adillah bin Marwan mengutus seseorang untuk meminang Asma lewat orangtuanya. Khalifah itu hendak menikahkan anak semata wayangnya yang sudah lama mengincar Asma. Mendapat pinangan dari seorang Khalifah, ternyata tidak membuat Asma gembira, tapi justru dia kembali menolak pinangan itu. Sampai beberapa kali pinangan diberikan, Asma tetap menolaknya. Awalnya, orangtua Asma bingung apa yang diinginkan oleh anak perempuannya itu.

Asma hanya berkata dengan penuh keyakinan, “Allah akan memberikan jodoh yang baik dan terbaik untukku.”
Asma selalu memanjatkan doa dan bertahajud kepada Allah agar didatangkan jodoh yang baik dan terbaik baginya. Pada suatu hari, Asma kedatangan sahabat lamanya, Abu Hurairah. Asma mengenal Abu Hurairah sebagai orang yang sangat saleh dan berbudi. Begitu pun orangtua Asma mengenal Abu Hurairah sebagai sahabat Asma sejak kecil. Sebenarnya Abu Hurairah tak sengaja berkunjung ke rumah Asma. Saat itu dia sedang membeli barang dagangan untuk dijual kembali di kotanya.

Namun, pada pertemuan itu, Abu Hurairah malah bercerita tentang keadaannya sekarang. “Istriku meninggal karena sakit dan aku memiliki seorang anak perempuan yang salihah berusia 3 tahun.”
Mendengar cerita itu, Asma berkata, “Jika kau menginzinkan, aku akan membantumu mengasuh putrimu”.
“ Maksudmu ? “, Abu Hurairah terkejut dengan ucapan Sahabatnya.
“ Sudah lama aku berdoa kepada Allah untuk dipertemukan dengan jodohku yang terbaik, entah mengapa ketika aku bertemu denganmu dan mendengar ceritamu, aku jadi yakin ini jawaban atas doaku “.

Tentu saja Abu Hurairah yang juga mengenal baik Asma, menyambut tawaran itu dengan bahagia. Demikian juga orangtua Asma, Mereka berbahagia. Namun Pernikahan Asma menjadi pergunjingan di kalangan masyarakat, banyak yang mencibir karena menganggap Asma yang cerdas bertindak gegabah dalam menentukan jodohnya.
Asma menolak anak Khalifah, tetapi malah menikah dengan seorang duda beranak satu. Namun, Asma tidak peduli dengan gunjingan itu, begitu pun orangtuanya. Sebagai seorang perempuan, dia pun mendapatkan hak untuk memilih jodohnya. Orangtua Asma justru merasa bahagia. Anak perempuannya menikah dengan seorang lelaki yang saleh dan taat beribadah serta berbudi luhur, sedangkan anak Khalifah belum tentu mampu memimpin keluarga yang diridhai Allah.

Dalam Islam, memang ada anjuran untuk menikahi seseorang karena 4 hal, yaitu harta benda, nasab, kecantikan/ketampanan, dan agamanya. Asma yang jelita dan cerdas memilih Agama sebagai faktor utama memilih jodoh.

“Ummu Salamah, istri Nabi saw. Bertanya, ‘Ya Rasulullah, seorang wanita dari kami ada yang kawin dua kali , tigakali, dan empat kali (maksudnya menikah lagi sampai empat kali karena suamimya meninggal ) . Lalu, dia wafat dan masuk surga bersama suami-suaminya juga. Siapakah kelak yang akan menjadi suaminya di surga ? Nabi saw. Menjawab, ‘Dia disuruh memilih dan yang dia pilih adalah yang paling baik akhlaknya dengan berkata, ‘Ya Rabbku, orang ini ketika dalam negeri dunia paling baik akhlaknya terhadapku. Kawinkanlah aku dengan dia. Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik membawa kebaikan untuk kehidupan dunia dan akhirat.” –HR ATH-THABRANI

Sahabat, tidak sedikit diantara kita yang menentukan SPESIFIKASI JODOH untuk memenuhi KEPUASAN NAFSU dan EGO kita, maka bisa dipastikan Rumah Tangga atau Keluarga yang kita bangun akan menuai BANYAK MASALAH yang berkepanjangan. Karena sebenarnya MENIKAH adalah BAI’AT kita yang kedua kepada Allah SWT untuk Menegakkan ATURAN ALLAH SWT dalam Komunitas Terkecil yaitu Rumah Tangga, ketika salah satu TIDAK MEMAHAMI hakekat pernikahan ini, maka dapat dipastikan kehidupan Rumah Tangga kita tidak akan pernah EFEKTIF dan EFISIEN, akan selalu terjadi konflik kepentingan masing-masing. Kewajiban menjalankan PERAN kita sebagai HAMBA dan KHALIFAHNYA tidak akan pernah OPTIMAL.

Sebenarnya Allah SWT telah memberikan cara memilih Jodoh yang sangat sederhana, mudah dan menyelamatkan :
” Janganlah kalian menikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman.Sesungguhnya budak perempuan yang mukmin lebih baik dari perempuan yang musrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan perempuan – perempuan mukmin) sebelum mereka beriman. sesungguhnya budak (laki-laki) yang mukmin lebih baik dari orang yang musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat –Nya (perintah-perintah-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” (QS.al-baqarah {2}:221)

Lalu bagaimana kita tau, siapa calon Jodoh kita yang Pilihan Allah SWT itu ? ya sederhana saja, karena Jodoh kita ada di TANGANNYA, maka ketika kita sudah sipa lahir batin untuk menikah yang langsung saja kita minta jodoh kita itu segera dikirim, kalo lama tidak dikirim bagaimana ? ya sabar dan terus perbanyak Sholat untuk memintanya, kalo ada yang datang melamar, taunya itu jodoh pilihan Allah atau bukan bagaimana ? ya kita tanya dulu lagi sama Allah, apakah betul yang datang itu kirimanNYA atau bukan, kalo betul itu kirimanNYA akan ada isyarat KEMANTAPAN HATI kadang berupa mimpi yang baik kadang juga tanpa mimpi. Kalo itu bukan kirimanNYA juga akan ada isyarat KERAGUA-RAGUAN atau MIMPI PERINGATAN.

Nah kalo kita sudah dapat peringatan bahwa itu BUKAN kirimanNYA, lalu kita memaksakan diri untuk menerimanya karena sudah memenuhi spesifikasi untuk kepuasan nafsu dan ego kita, maka sangat dipastikan kehidupan Rumah Tangga kita akan berjalan sangat TIDAK EFEKTIF dan bisa jadi akan berujung kepada Perceraian, namun jika salah satu masih mampu MENGALAH dan tetap TABAH terhadap segala UJIAN karena menyadari KESALAHPILIHANNYA itu, Allah SWT akan tetap memberikan JALAN yang terbaik untuk kelangsungan hidup Rumah Tangga kita. Ya… Allah Maha Pengasih dan Penyayang dan selalu terbuka PINTU MAAFNYA untuk kita yang MENGAKUI KESALAHAN, jangan pernah berputus asa kalo sudah terlanjur SALAH PILIH.

Monday 30 July 2012

Bukan Pria Idaman

Manusia idaman sejati adalah makhluk langka. Begitu banyak ujian dan rintangan untuk menjadi seorang idaman sejati. Kebalikannya, yang bukan idaman malah tersebar ke mana-mana. Inilah yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini. Siapakah pria yang tidak pantas menjadi idaman dan tambatan hati? Apa saja ciri-ciri mereka? Mudah-mudahan -dengan izin Allah- kami dapat mengungkapkannya pada tulisan yang singkat ini.

Ciri Pertama: Akidahnya Amburadul
Di antara ciri pria semacam ini adalah ia punya prinsip bahwa jika cinta ditolak, maka dukun pun bertindak. Jika sukses dan lancar dalam bisnis, maka ia pun menggunakan jimat-jimat. Ingain buka usaha pun ia memakai pelarisan. Jika berencana nikah, harus menghitung hari baik terlebih dahulu. Yang jadi kegemarannya agar hidup lancar adalah mempercayai ramalan bintang agar semakin PD dalam melangkah.
Inilah ciri pria yang tidak pantas dijadikan idaman. Akidah yang ia miliki sudah jelas adalah akidah yang rusak.

Ibnul Qayyim mengatakan, “Barangsiapa yang hendak meninggikan bangunannya, maka hendaklah dia mengokohkan pondasinya dan memberikan perhatian penuh terhadapnya. Sesungguhnya kadar tinggi bangunan yang bisa dia bangun adalah sebanding dengan kekuatan pondasi yang dia buat. Amalan manusia adalah ibarat bangunan dan pondasinya adalah iman.” (Al Fawaid)
Berarti jika aqidah dan iman seseorang rusak -padahal itu adalah pokok atau pondasi-, maka bangunan di atasnya pun akan ikut rusak. Perhatikanlah hal ini!

Ciri Kedua: Menyia-nyiakan Shalat
Tidak shalat jama'ah di masjid juga menjadi ciri pria bukan idaman. Padahal shalat jama'ah bagi pria adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan dalam al Qur'an dan berbagai hadits. Berikut di antaranya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, seorang lelaki buta datang kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan berkata, ”Wahai Rasulullah, saya  tidak memiliki penunjuk jalan yang dapat mendampingi saya untuk mendatangi masjid.” Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah untuk tidak shalat berjama'ah dan agar diperbolehkan shalat di rumahnya. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan kepadanya. Namun  ketika lelaki itu hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya lagi dan bertanya, “Apakah kamu mendengar adzan?” Ia menjawab, ”Ya”. Rasulullah bersabda, ”Penuhilah seruan (adzan) itu.” (HR. Muslim). Orang buta ini tidak dibolehkan shalat di rumah apabila dia mendengar adzan. Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi panggilan adzan adalah dengan menghadiri shalat jama’ah. Hal ini ditegaskan kembali dalam hadits Ibnu Ummi Maktum. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, di Madinah banyak sekali tanaman dan binatang buas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mendengar seruan adzan hayya ‘alash sholah, hayya ‘alal falah? Jika iya, penuhilah seruan adzan tersebut”.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lihatlah laki-laki tersebut memiliki beberapa udzur: [1] dia adalah seorang yang buta, [2] dia tidak punya teman sebagai penunjuk jalan untuk menemani, [3] banyak sekali tanaman, dan [4] banyak binatang buas. Namun karena  dia mendengar adzan, dia tetap diwajibkan menghadiri shalat jama’ah. Walaupun punya berbagai macam udzur semacam ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memerintahkan dia untuk memenuhi panggilan adzan yaitu melaksanakan shalat jama’ah di masjid. Bagaimana dengan orang yang dalam keadaan tidak ada udzur sama sekali, masih diberi kenikmatan penglihatan dan sebagainya?!
Imam Asy Syafi'i sendiri mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.” (Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107)

Jika pria yang menyia-nyiakan shalat berjama'ah di masjid saja bukan merupakan pria idaman, lantas bagaimana lagi dengan pria yang tidak menjalankan shalat berjama'ah sendirian maupun secara berjama'ah?!
Seorang ulama besar, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, dalam kitabnya Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 7, mengatakan, ”Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir (pembahasan dosa-dosa besar), hal. 25, Ibnu Hazm berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.”

Ciri Ketiga: Sering Melotot Sana Sini
Inilah ciri berikutnya, yaitu pria yang sulit menundukkan pandangan ketika melihat wanita. Inilah ciri bukan pria idaman. Karena Allah Ta'ala berfirman,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".” (QS. An Nur: 30)
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya.

Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.” (HR. Muslim no. 5770)

Boleh jadi laki-laki tersebut jika telah menjadi suami malah memandang lawan jenisnya sana-sini ketika istrinya tidak melihat. Kondisi seperti ini pun telah ditegur dalam firman Allah,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir: 19)
Ibnu 'Abbas ketika membicarakan ayat di atas, beliau mengatakan bahwa yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah seorang yang bertamu ke suatu rumah. Di rumah tersebut ada wanita yang berparas cantik. Jika tuan rumah yang menyambutnya memalingkan pandangan, maka orang tersebut melirik wanita tadi. Jika tuan rumah tadi memperhatikannya, ia pun pura-pura menundukkan pandangan. Dan jika tuan rumah sekali lagi berpaling, ia pun melirik wanita tadi yang berada di dalam rumah. Jika tuan rumah sekali lagi memperhatikannya, maka ia pun pura-pura menundukkan pandangannya. Maka sungguh Allah telah mengetahui isi hati orang tersebut yang akan bertindak kurang ajar. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya (12/181-182).
Ibnu 'Abbas mengatakan, “Allah itu mengetahui setiap mata yang memandang apakan ia ingin khianat ataukah tidak.” Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid dan Qotadah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 12/182, Darul Qurthubah)

Ciri Keempat: Senangnya Berdua-duaan
Inilah sikap pria yang tidak baik yang sering mengajak pasangannya yang belum halal baginya untuk berdua-duaan (baca: berkhalwat). Berdua-duaan (khokwat) di sini bisa pula bentuknya tanpa hadir dalam satu tempat, namun lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via FB dan lainnya. Seperti ini pun termasuk semi kholwat yang juga terlarang.
Dari Ibnu Abbas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita kecuali jika bersama mahromnya.” (HR. Bukhari, no. 5233)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.” (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Ciri Kelima: Tangan Suka Usil
Ini juga bukan ciri pria idaman. Tangannya suka usil menyalami wanita yang tidak halal baginya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun ketika berbaiat dan kondisi lainnya tidak pernah menyentuh tangan wanita yang tidak halal baginya.
Dari Abdulloh bin ‘Amr, ”Sesungguhnya Rasulullah tidak pernah berjabat tangan dengan wanita ketika berbaiat.” (HR. Ahmad dishohihkan oleh Syaikh Salim dalam Al Manahi As Syari’ah)
Dari Umaimah bintu Ruqoiqoh dia berkata, ”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku tidak pernah menjabat tangan para wanita, hanyalah perkataanku untuk seratus orang wanita seperti perkataanku untuk satu orang wanita.” (HR. Tirmidzi, Nasai, Malik dishohihkan oleh Syaikh Salim Al Hilaliy)
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  “Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.” (HR. Muslim no. 6925)

Ciri Keenam: Tanpa Arah yang Jelas
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Seseorang dianggap telah berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.” (HR. Muslim no. 996)

Berarti kriteria pria idaman adalah ia bertanggungjawab terhadap istrinya dalam hal nafkah.
Sehingga seorang pria harus memiliki jalan hidup yang jelas dan tidak boleh ia hidup tanpa arah yang sampai menyia-nyiakan tanggungannya. Sejak dini atau pun sejak muda, ia sudah memikirkan bagaimana kelak ia bisa menafkahi istri dan anak-anaknya. Di antara bentuk persiapannya adalah dengan belajar yang giat sehingga kelak bisa dapat kerja yang mapan atau bisa berwirausaha mandiri.
Begitu pula hendaknya ia tidak melupakan istrinya untuk diajari agama. Karena untuk urusan dunia mesti kita urus, apalagi yang sangkut pautnya dengan agama yang merupakan kebutuhan ketika menjalani hidup di dunia dan akhirat. Sehingga sejak dini pun, seorang pria sudah mulai membekali dirinya dengan ilmu agama yang cukup untuk dapat mendidik istri dan keluarganya.
Sehingga dari sini, seorang pria yang kurang memperhatikan agama dan urusan menafkahi istrinya patut dijauhi karena ia sebenarnya bukan pria idaman yang baik.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa sebagai petunjuk bagi para wanita muslimah yang ingin memilih laki-laki yang pas untuk dirinya. Dan juga bisa menjadi koreksi untuk pria agar selalu introspeksi diri. Nasehat ini pun bisa bermanfaat bagi setiap orang yang sudah berkeluarga agar menjauhi sifat-sifat keliru di atas. Semoga Allah memudahkannya.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal



Sunday 22 July 2012

Jangan Khatamkan Al-Qur’an di Bulan Ramadhan

Ramadhan disebut juga bulan-nya Al-Qur’an; karena memang pada bulan inilah Allah swt menurunkan ayat pertama Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw yang juga sebagai tanda bahwa beliau telah diangkat menjadi Rasul untuk semesta alam ini.
Selain itu juga, karena memang pada bulan ini semua orang muslim menjadi sangat begitu dekat dengan al-Qur’an. Sehingga kita tidak bisa mendapati seorang muslim di bulan Ramadhan ini kecuali ia sedang menggenggam mushaf Al-Qur’an, baik itu dikantongi ataupun di-‘tengteng’. Itu saking giatnya mereka, sehingga mereka tidak ingin melewatkan kesempatan sedikit pun di waktu-waktu bulan Ramadhan ini kecuali ia manfaatkan dengan membaca mushaf Al-Qur’an.
Dan tidak jarang, bahkan hampir semua umat Islam mengusung target khatam Qur’an pada bulan suci ini. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. Bahkan ada sekelompok pemuda atau remaja yang mengadakan perlombaan siapa yang paling banyak khatam-nya, dan menjadi sebuah prestise tinggi jika bisa mengatakan “Alhamdulillah saya sudah khatam 2 kali Ramadhan ini”. Begitulah kira-kiranya.
Tapi semangat ini, semangat mengkhatam-kan al-Qur’an di bulan Ramadhan hendaknya tidak digeneralisir untuk semua orang. Bagi mereka yang memang sudah mahir dan mengerti hokum-hukum Tajwid (kaidah membaca al-Qur’an) dan bisa membacanya dengan benar, ya sah-sah saja buat mereka untuk mengkhatamkan al-Qur’an. Karena tidak akan menjadi masalah.
Tapi bagi mereka yang belum mahir membaca al-Qur’an atau bahkan tidak mengerti hokum-hukum tajwid (sebenarnya membaca al-Quran dengan tajwid itu –sesuai Ijma’ Ulama- hukumnya fardhu ‘Ain), maka program mengkhatamkan al-Quran ini sungguh tidak layak dikerjakan oleh mereka.
Al-Qur’an itu ada 30 Juz, berarti kalau kita ingin mengkhatamkan al-Qur’an pada bulan Ramadhan ini, kita diharuskan untuk menghabiskan satu hari ini dengan membaca 1 juz AL-Qur’an (dengan asumsi bahwa 1 bulan Ramadhan itu 30 hari). Dan satu juz Al-Qur’an itu terdiri dari sepuluh lembar mushaf Madani (cetakan Arab Saudi) yang sama juga 20 halaman Mushaf. Berarti mau tidak mau, kita harus membaca 20 halaman mushaf setiap harinya.
Menurut pengalaman yang saya temui dari beberapa kawan yang memang sudah mahir membaca al-Qur’an dan tentu saja mereka sangat mengerti hukum tajwid, membaca 1 juz atau 20 halaman mushaf al-Qur’an itu membutuhkan waktu 60-90 menit (1 sampai 1,5 jam). Itu bagi mereka yang lancar membacanya.
Tentu bagi kawan-kawan yang belum lancer dan mungkin tidak mengerti hokum-hukum tajwid, tentunya akan membutuhkan waktu lebih lama lagi. Tapi yang terjadi di lapangan, karena memang keinginan besarnya dan sudah menjadi target Ramadhan dari jauh-jauh hari, ia paksakan untuk bisa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan suci ini, akhirnya ia membaca sesukanya, tanpa peduli dengan kaidah-kaidah hokum tajwid. Ia tergesa-gesa dan terus membaca al-Quran walaupun salah, yang penting bisa memenuhi target baca satu hari satu juz bahkan lebih.
Padahal Allah telah memerintahkan dalam ayat-Nya:
“Dan Bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan (tartil)” (Al-Muzzammil 4)
Belum lagi mereka yang punya kesibukan, pekerjaan yang memang memakan waktu dan tenaga. Apa mungkin mereka kuat duduk 1 jam lebih dengan bacaan yang sudah tidak bisa dimengerti lagi? Yang terjadi akhirnya mereka bukan membaca Qur’an, tapi justru malah menghinakan Qur’an itu sendiri karena telah dibaca seenaknya, sesukanya, padahal ada kaidah yang HARUS diikuti. Alih-alih ingin menghargai dan menghormati al-Qur’an dengan mengkhatamkannya, tapi mereka malah menghinakannya.
“Loh bukankah baca Qur’an itu tetap mendapat pahala walaupun tidak mengerti artinya?”. Ya benar sekali. Siapapun yang membaca al-Qur’an pasti mendapat pahala walaupun ia tidak mengerti artinya atau tidak paham kaidahnya, malah mendapat 2 pahala, begitu hadits Nabi menjelaskan.
Tapi itu bagi mereka yang ma uterus belajar mempelajari kaidah-kaidahnya, bukan untuk kejar target khatam Qur’an tanpa mau belajar di sebelum bulan atau sesudah bulan Ramadhan seperti kebanyakan yang orang kerjakan belakangan ini. Mereka sepertinya menyepelekan al-Qur’an dengan ke-ogah-an mereka untuk belajar.
Lalu Bagaimana?
Semangat beribadah di bulan Ramadhan ini harusnya juga di implementasikan dengan melakukan ibadah sesuai kaidah yang telah ditetapkan oleh syariah itu sendiri. Dan di bulan Ramadhan ini, baiknya kita konversi semangat mengkhatamkan Qur’an itu menjadi semangat “BELAJAR TAJWID”. Jadi bulan Ramadhan ini sebutan barunya ialah “Bulan Tajwid”.
Tidak ada lagi cara kita untuk bisa lancer membaca al-Qur’an dan mengerti hokum serta kaidah-kaidahnya kecuali dengan kita mempelajari Tajwid itu sendiri. Karena ulama sejagad raya ini telah bersepakat bahwa mambaca AL-Quran dengan tajwid itu hukumnya Fardhu ‘Ain. Artinya kewajiban itu sama seperti kewajiban shalat 5 waktu yang harus dikerjakan oleh personal masing-masing muslim. Tidak ada tawar-tawaran lagi.
Waktu-waktu yang awalnya telah kita jadwalkan untuk berkhatam (tapi dengan bacaan salah), kita rubah dengan belajar tajwid, entah itu dengan mendatangi kawan yang mengerti guna meminta beliau mengajarkan kita tajwid. Atau mendatangi seorang ustadz/kiyai, atau juga kita mengikuti halaqah-halaqah tajwid yang biasa banyak digelar di masjid-masjid sekitar rumah kita masing-masing.
Satu bulan ini kita “khatamkan” ilmu tajwid itu, sehingga nantinya ketika keluar bulan Ramadhan ini kita sudah mampu membaca Qur’an dengan benar tanpa salah Insya Allah. Akhirnya bulan Ramadhan yang akan dating kita sudah siap dengan segudang target, baik itu meng-khatamkan al-Qur’an ataupun yang lainnya.
Akhirnya juga kita bisa tinggalkan kebiasaan buruk kita yang telah lama kita kerjakan, yaitu “masuk Ramadhan baca Qur’an nya begitu, keluar Ramadhan juga tetep ngga berubah, tetep salah. Tiap taon kaya begitu, trus buat apa ada kesempatan belajar di Ramadhan?”

Meng-Khatam-Kan Qur’an Itu Gampang Dan Tidak Perlu Nunggu Ramadhan
Urusan mengkhatamkan Qur’an itu buat saya urusan yang paling gampang di antara ibadah-ibadah yang lain. Jadi jangan takut nggak bisa mengkhatamkan Qur’an, karena mengkhatamkan Qur’an itu gampang, sebentar dan bisa kapan saja, nggak perlu nunggu Ramadhan untuk bisa khatam.
Percayakah Anda bahwa dalam satu hari saja, saya atau kita semua itu bisa mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 70 kali bahkan seratus kali. Lah wong nggak butuh waktu lama kok, Cuma sekitar 3 sampai 5 menit kita bisa mengkhatamkan al-Qur’an.
Nabi Muhammad saw bersabda:
“Barang siapa yang membaca ‘qul huwallahu ahad’ (surat al-ikhlas) sekali berarti ia telah membaca sepertiga al-Qur’an” (HR Tirmidzi)
Dengan begitu, kalau kita membaca surat Al-Ikhlas itu sebanyak 3 kali berarti kita telah mengkhatamkan al-Qur’an. Mudah bukan? Jadi tidak perlu nunggu-nunggu Ramadhan untuk kita bisa khatam Qur’an.
Ramadhan itu kesempatan emas untuk kita menambah intensitas ibadah kita kepada Allah termasuk dengan membaca dan mempelajari Al-Qur’an. Bukan kejar-kejaran target siapa yang paling banyak khatamnya. Buat apa khatam berkali-kali tapi tidak mau belajar dan tidak mau sadar kalau bacaan kita tidak benar?
Jadi pertanyaan yang harus keluar dari mulut kita ketika bertemu saudara dan kawan ialah bukan “berapa kali sudah khatam?” tapi “sudah berapa hukum tajwid yang sudah dipelajari?”.
Wallahu A’lam.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/07/21726/jangan-khatamkan-al-quran-di-bulan-ramadhan/#ixzz21IZjUXWo