Sunday 29 January 2012

Khaulah Binti Tsa’labah (Wanita Yang Aduannya Didengar Allah Dari Langit Ketujuh)


Beliau adalah Khaulah binti Tsa`labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa`labah Ghanam bin ‘Auf. Beliau tumbuh sebagai wanita yang fasih dan pandai. Beliau dinikahi oleh Aus bin Shamit bin Qais, saudara dari Ubadah bin Shamit r.a yang beliau menyertai perang Badar dan perang Uhud dan mengikuti seluruh perperangan yang disertai Rasulullah saw. Dengan Aus inilah beliau melahirkan anak laki-laki yang bernama Rabi`.

Khaulah binti Tsa`labah mendapati suaminya Aus bin Shamit dalam masalah yang membuat Aus marah, dia berkata, “Bagiku engkau ini seperti punggung ibuku.”

Kemudian Aus keluar setelah mengatakan kalimat tersebut dan duduk bersama orang-orang beberapa lama lalu dia masuk dan menginginkan Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah Islam. Khaulah berkata, “Tidak…jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkankan terhadapku sehingga Allah dan Rasul-Nya lah yang memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita."

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah saw, lalu dia duduk di hadapan beliau dan menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan suaminya. Keperluannya adalah untuk meminta fatwa dan berdialog dengan nabi tentang urusan tersebut. Rasulullah saw bersabda, “Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.”

Wanita mukminah ini mengulangi perkatannya dan menjelaskan kepada Rasulullah saw apa yang menimpa dirinya dan anaknya jika dia harus cerai dengan suaminya, namun rasulullah saw tetap menjawab, “Aku tidak melihat melainkan engkau telah haram baginya”.

Sesudah itu wanita mukminah ini senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Pada kedua matanya nampak meneteskan air mata dan semacam ada penyesalan, maka beliau menghadap kepada Yang tiada akan rugi siapapun yang berdoa kepada-Nya. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu tentang peristiwa yang menimpa diriku”.
Alangkah bagusnya seorang wanita mukminah semacam Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah saw dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan untuk Allah Ta`ala. Ini adalah bukti kejernihan iman dan tauhidnya yang telah dipelajari oleh para sahabat kepada Rasulullah saw.

Tiada henti-hentinya wanita ini berdo`a sehingga suatu ketika Rasulullah saw pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah saw sadar kembali, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan al-Qur`an tentang ditimu dan suamimu kemudian beliau membaca firman-Nya (artinya), “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan [halnya] kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat,…sampai firman Allah: “dan bagi oranr-orang kafir ada siksaan yang pedih.”(Al Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah saw menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Zhihar:

Nabi : Perintahkan kepadanya (suami Khansa`) untuk memerdekan seorang budak

Khaulah : Ya Rasulullah dia tidak memiliki seorang budak yang bisa dia merdekakan.

Nabi : Jika demikian perintahkan kepadanya untuk shaum dua bulan berturut-turut

Khaulah : Demi Allah dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan shaum.

Nabi : Perintahkan kepadanya memberi makan dari kurma sebanyak 60 orang miskin

Khaulah : Demi Allah ya Rasulullah dia tidak memilikinya.

Nabi : Aku bantu dengan separuhnya

Khaulah : Aku bantu separuhnya yang lain wahai Rasulullah.

Nabi : Engkau benar dan baik maka pergilah dan sedekahkanlah kurma itu sebagai kafarat baginya, kemudian bergaulah dengan anak pamanmu itu secara baik.” Maka Khaulah pun melaksanakannya.


Inilah kisah seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada pemimpin anak Adam a.s yang mengandung banyak pelajaran di dalamnya dan banyak hal yang menjadikan seorang wanita yang mengangkat kepalanya tinggi-tinggi dengan bangga dan perasaan mulia dan besar perhatian Islam terhadapnya.

Ummul mukminin Aisyah ra berkata tentang hal ini, “Segala puji bagi Allah yang Maha luas pendengaran-Nya terhadap semua suara, telah datang seorang wanita yang mengajukan gugatan kepada Rasulullah saw, dia berbincang-bincang dengan Rasulullah saw sementara aku berada di samping rumah dan tidak mendengar apa yang dia katakan, maka kemudian Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan wanita yang memajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya dan mengadukan (halnya) kepada Allah…” (Al-Mujadalah: 1)

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh Islam yang menghentikan Khalifah Umar bin Khaththab r.a saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Beliau berkata, “Wahai Umar aku telah mengenalmu sejak namamu dahulu masih Umair (Umar kecil) tatkala engkau berada di pasar Ukazh engkau mengembala kambing dengan tongkatmu, kemudian berlalulah hari demi hari sehingga memiliki nama Amirul Mukminin, maka bertakwalah kepada Allah perihal rakyatmu, ketahuilah barangsiapa yang takut akan siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat dengannya dan barangsiapa yang takut mati maka dia kan takut kehilangan dan barangsiapa yang yakin akan adanya hisab maka dia takut terhadap Adzab Allah.” Beliau katakan hal itu sementara Umar Amirul Mukminin berdiri sambil menundukkan kepalanya dan mendengar perkataannya.

Akan tetapi al-Jarud al-Abdi yang menyertai Umar bin Khaththab tidak tahan mengatakan kepada Khaulah, “Engkau telah berbicara banyak kepada Amirul Mukminin wahai wanita.!” Umar kemudian menegurnya, “Biarkan dia…tahukah kamu siapakah dia? Beliau adalah Khaulah yang Allah mendengarkan perkataannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya. “

Dalam riwayat lain Umar bin Khaththab berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka aku akan mengerjakan shalat kemudian kembali mendengarkannya sehingga selesai keperluannya.”


(SUMBER: buku Mengenal Shahabiah Nabi SAW., karya Mahmud Mahdi al-Istanbuly dan Musthafa Abu an-Nashar asy-Syalaby, h.242-246, penerbit AT-TIBYAN)

Read more: http://arrahmah.com/read/2009/06/18/4670-khaulah-binti-tsa.html#ixzz1kjWK2Qc1

Kaidah-kaidah menjaga Anak Dalam Islam


Delapan Kunci “Menjaga” Anak


Selain delapan “kunci”, hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan bagi buah hatinya

Hidayatullah.com--Anak merupakan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena amanah, maka kelak Dia akan meminta pertanggungjawaban kepada kita atas amanah tersebut.


Jika anak-anak tumbuh menjadi shalih dan shalihah, tentu akan membawa keuntungan dunia dan akhirat bagi orangtuanya. Sebaliknya, jika orangtua lalai dalam mengajar dan mendidik, keberadaannya akan membawa bencana dunia dan akhirat.

Bukan satu dua kali kita dikejutkan dengan pemberitaan akibat ulah anak-anak kita. Seorang siswa yang sopan, tiba-tiba bisa bunuh diri. Seorang mahasiswa yang ketika di rumah kalem, tiba-tiba bisa menjadi perampok bahkan memperkosa atau membunuh teman dekatnya. Yang tak kalah mengejutkan, berita terbaru dari Jawa Timur, seorang gadis belia, sudah mampu menjadi bos mucikari dan agen pelacuran. Sungguh mengagetkan.

Ada apa yang salah dengan kita, para orangtua? Bukankah kita semua ini, adalah para sarjana dan orang-orang terdidik?

1. Akidah yang Benar

Sesungguhnya, agama kita (Islam) telah menetapkan banyak hal, termasuk masalah pendidikan pada anak. Ini hal yang sangat penting. Jika anak-anak memiliki akidah yang benar, maka itu lahan subur bagi tumbuhnya kebaikan-kebaikan. Tidak ada kebaikan pada diri anak yang akidahnya melenceng.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai anak, aku akan ajarkan padamu beberapa kalimat: Jagalah Allah pasti engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk menolongmu, mereka tidak bisa menolongmu dengan sesuatu kecuali atas hal yang telah Allah takdirkan. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat berkumpul untuk mencelakaimu, mereka tidak bisa mencelakaimu dengan sesuatu kecuali atas yang telah Allah takdirkan, pena-pena telah diangkat dan catatan-catatan telah kering.” (Riwayat Ahmad dan Tirmidzi)


2. Memohon Pahala
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang menafkahkan hartanya kepada keluarganya dengan mengharap pahala, maka baginya adalah pahala sedekah.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Mas’ud)


3. Diingatkan Shalat
Shalat merupakan kewajiban paling utama seorang hamba terhadap Allah. Rasulullah menegaskan, “Perintahkan anakmu untuk shalat saat usia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)


4. Menuntun Berakhlak Baik dan Memperbaiki Kesalahan
Umar bin Abu Salamah Radhiyallahu ‘anhu saat masih kecil dalam asuhan Rasulullah, tangannya ke sana ke mari di atas makanan. Dia bersabda, “Wahai anak, bacalah ‘Bismillah’, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat darimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abu Salamah)


5. Memisahkan Tempat Tidur
Memasuki usia sepuluh tahun, pisahkanlah tempat tidurnya. Anak-anak pada usia ini sudah terhitung dewasa dan mendekati masa baligh (puber), gairahnya mulai muncul. Maka memisahkan tidur mereka akan mencegah petaka yang tidak diinginkan. Rasulullah bersabda, “…pisahkanlah tempat tidur mereka.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, Baihaqi, dan lain-lain)


6. Berlaku Adil

Tidak bijak bila membeda-bedakan anak dalam berinteraksi dan menafkahi. Perlakuan pilih kasih kerap membawa permusuhan di antara saudara. Hal itu merupakan bentuk kezhaliman terhadap anak.
Rasulullah bersabda, ”Aku tidak akan bersaksi atas suatu kejahatan, takutlah kamu kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anakmu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir)


7. Lemah Lembut, Bermain, dan Mencium
Rasulullah tidak segan mengajak anak-anak untuk bermain, berlaku lemah lembut, serta mendekati dan mencium mereka. Simaklah bagaimana cara Rasulullah memanggil mereka, “Wahai anakku.”


8. Tegas Saat Diperlukan

Anak yang tidak pernah mendapat hukuman (saat diperlukan) akan mempunyai tabiat yang kurang bagus. Hendaklah orangtua bisa menunjukkan kepada anak-anak dan keluarganya bahwa dia adalah orang yang tegas dan keras saat kondisi mengharuskan itu.

Rasulullah pernah bersabda, “…pukullah mereka (jika meninggalkan shalat) saat usia sepuluh tahun.” (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

Juga, “Gantunglah cambuk di tempat yang bisa dilihat oleh anggota keluargamu, karena hal itu akan menjadi sebuah pelajaran.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad)


Selain yang terurai di atas, hendaknya para orangtua tampil menjadi teladan bagi buah hatinya, lalu mengajari ilmu yang membawa kemanfaatan dunia dan akhirat, serta tidak mendoakan yang buruk kepada mereka (anak-anak). [Ali Athwa, berbagai sumber/hidayatullah.com]

Monday 2 January 2012

Umar Mereformasi Kebijakan Bani Umayyah



Oleh : Hafidz AbdurrahmanUmar bin Abdul Aziz memang mempunyai pandangan yang berbeda dengan kebanyakan penguasa Bani Umayyah dalam meluruskan kebengkokan, baik dalam politik domestik maupun luar negeri. Bahkan, dalam kehidupan pribadinya ketika menjadi khalifah.Ketika penguasa Bani Umayyah sebelumnya mengambil sikap bermusuhan dengan lawan politiknya, maka Khalifah Umar bin Abdul Aziz justru membuka diri dan merangkul lawan-lawan politik Bani Umayyah, seperti kelompok Syiah dan Khawarij. Semuanya itu tak lain untuk menurunkan ketegangan politik yang diwariskan secara turun temurun oleh Bani Umayyah.Khalifah Umar, misalnya, menghentikan kebiasaan Bani Umayyah menyerang Sayyidina Ali di mimbar-mimbar masjid, sebagaimana kebiasaan penguasa Bani Umayyah. Dengan kebijakannya itu, para pendukung Sayyidina Ali, Yang menamakan dirinya Syiah, merasa tidak terusik. Sedangkan terhadap kaum Khawarij, Khalifah Umar banyak melakukan rekonsiliasi dengan membuka pintu dialog dan argumentasi, sebagaimana yang dilakukannya dengan Syaudzab bin al-Hakam,  tokoh Khawarij.


Selain itu, ia membangun toleransi antar umat beragama dan tanpa menghilangkan peranan negara dalam mengimplementasikan Islam dengan sempurna, termasuk kepada mereka, sebagai metode praktis untuk mengajak mereka memeluk Islam.Di antara kebijakannya, Umar banyak memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang Kristen, sebagaimana yang dilakukannya terhadap seorang pastor, yang diberinya 1000 Dinar. Ia juga menginstruksikan kepada para walinya untuk mengajak ahli dzimmah yang di wilayahnya untuk memeluk Islam. Khalifah agung ini pun pernah menulis Surat kepada Raja Bizantium, Luis III, untuk mengajaknya masuk Islam. Hasil dari kebijakannya itu, banyak penduduk yang tinggal di wilayah Wara Nahar yang memeluk Islam, termasuk banyak penguasa Sind dan Punjab di India yang memenuhi seruannya. 


Di Maroko, Khalifah Umar mengirim para fuqaha untuk mengajarkan Islam kepada kaum Barbar, sehingga bangsa Barbar itu pun mayoritas memeluk Islam.Selain kebijakan yang radikal ini, Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga memulai reformasi birokrasi, yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran reformatifnya. Yang paling menonjol adalah kecepatan birokrasinya dalam melayani urusan publik, sehingga tidak ada satu urusan yang ditangguhkan untuk diselesaikan hari berikutnya.Tidak hanya itu, ia pun memilih orang yang terbaik dan layak untuk mengurus urusan administrasi dan birokrasi. 


Tidak hanya itu, ia juga terus-menerus mengontrol dan mengevaluasi mereka. Antara lain, Khalifah Umar memberhentikan murid dan pengikut al-Hajjaj bin Yusuf, Yang dikenal kejam, dari seluruh urusan birokrasi dan administrasi.Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah berhasil membuktikan bahwa cara satu-satunya untuk menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk konflik horizontal, adalah dengan kembali kepada akidah Islam, kemudian meleburkan masyarakat dalam masyarakat Islam Yang dibangun berdasarkan akidah ini. 
Tanpa ada diskriminasi hak dan kewajiban di antara mereka. Ini dirasakan oleh kaum Kristen, Yahudi maupun Majusi yang baru masuk Islam. Mereka terbebas dari jizyah, maupun kharaj, serta mendapatkan hak dan kewajiban yang sama, sebagaimana kaum Muslim yang lain.

Dakwahtainment




Apa yang kamu pikirkan pertama kali baca judul ini? Seperti mengingatkan kepada acara gosip seleb? Hmm.. nggak salah juga. Kata “entertainment” yang melekat dengan kata info sering kita temukan dalam acara-acara gosip selebritis: infotainment alias informasi seputar hiburan. Nah, dakwahtainment juga kira-kira mirip lah. Mungkin tepatnya Dakwah Entertainment, disingkat jadi dakwahtainment. Lho, kalo gitu artinya dakwah yang bersifat hiburan dong? Bisa jadi. Atau… bisa juga dakwah yang dikemas dengan cara menghibur.

Bro en Sis, dakwah entertainment semarak di saat Ramadhan. Coba deh tengok, hampir semua stasiun televisi menayangkan dakwah yang dikemas dengan hiburan, atau malah dalam beberapa stasiun televisi dakwah digabung dengan hiburan. Televisi memang media paling ampuh untuk mengemas dan menayangkan dakwahtainment. Selain jangkauannya luas, juga kekuatannya sebagai media dengan keunggulan audio visual (bisa didengar dan bisa dilihat), televisi bisa mengambil ceruk pasar pemasang iklan. Kok bisa?

Iya. Ini terjadi semacam relasi komoditas. Masyarakat butuh guyuran rohani di bulan Ramadhan ketimbang di bulan lainnya. Nah, kebutuhan itu disadari betul pengelola televisi. Klop. Bertemunya dua kebutuhan, namun berbeda cara pandang. Masyarakat sih yang penting ada isi, sementara pengelola media memandang hal itu sebagai peluang bisnis. Hitungannya, kalo pengelola televisi menggelar sebuah program dakwah, apalagi jika dikemas dengan hiburan, maka akan menarik penonton dalam jumlah banyak. Kalo udah begitu, berarti rating acara tersebut bakalan naik. Berikutnya, pengiklan bakalan ngantri pengen mengambil jatah tayang di acara tersebut. Bisnis iya, menyampaikan pesan dakwah juga tercapai.

Tapi, apa sudah cukup memenuhi kebutuhan masyarakat? Belum. Menurut saya belum memenuhi kebutuhan akan siraman rohani yang maksimal. Saya memang belum melakukan survei, tetapi sebuah acara bisa bagus atau tidak cukup dilihat dari konten alias isi pesannya. Sebagus apapun kemasan, kalo isi pesannya tanpa makna, apalagi jika mengaburkan makna, maka tayangan tersebut terkategori sampah. Maaf, ini fakta. Lagi pula, bertaburannya simbol-simbol agama dalam berbagai acara Ramadhan dan sinetron religi sekadar tempelan saja. Pakaian (baju koko, jilbab, kerudung, sorban, peci dan sejenisnya) juga ritual (shalat, doa, mengucapkan salam dan sejenisnya) dihadirkan tanpa konteks yang mendukung pesan moral.

Sobat muda muslim, pasti kamu tahu deh sejumlah sinetron religi di beberapa stasiun televisi. Simbol-simbol agama memang mendominasi setiap tayangannya. Tetapi, pesan yang disampaikan kering dari nilai-nilai islami. Mungkin hanya beberapa saja sinetron yang udah lumayan bagus macam—salah satunya, ini sekadar menyebut contoh—Para Pencari Tuhan. Gimana yang lainnya? Silakan bandingkan aja dengan standar tersebut. Meski Para Pencari Tuhan juga masih perlu perbaikan di sana-sini, tetapi masih mending dibanding sinetron lainnya yang mengambil ceruk dakwahtainment.

Selain sinetron, acara menjelang sahur dan berbuka puasa menjadi sasaran empuk menarik jumlah penonton dan sekaligus pengiklan. Agar bisa mempertahankan penggemar dan pengiklan (dan bila perlu menambah jumlahnya), maka jalan pintasnya dihadirkan acara-acara yang memiliki rating paling tinggi selama ini untuk disulap jadi ada unsur religinya, dan agar terlihat agak islami. Lagi-lagi, di sektor ini pun yang dihadirkan hanyalah selebritis dengan pakaian dan ritual yang tak memberi konteks apapun yang mendukung pesan moral. Malah, keberadaan ustad di acara itu sekadar tempelan belaka. Selain durasi waktunya yang dikasih jatah sebatas waktu antara imsak dan shalat shubuh alias tak lebih dari sepuluh menit, juga ‘dipaksa’ mengikuti irama yang sudah ada. Alih-alih diberi kesempatan memberikan pendapatnya, malah ada ustad yang ikut larut dalam suasana acara tersebut. Ya, karena tujuan utamanya bisnis, maka kalo pun ada orang yang dapat ilmu, itu hanya efek samping saja. Halah!

Dakwah bukanlah hiburan
Bro en Sis, ada baiknya kamu mengetahui juga definisi dakwah. Nah, kata dakwah adalah derivasi dari bahasa Arab “Da’wah”. Kata kerjanya da’aa yang berarti memanggil, mengundang atau mengajak. Ism fa’ilnya (alias pelaku) adalah da’i yang berarti pendakwah. Di dalam kamus al-Munjid fi al-Lughoh wa al-a’lam disebutkan makna da’i sebagai orang yang memangggil (mengajak) manusia kepada agamanya atau mazhabnya.

Itu secara bahasa, bagaimana secara istilah (syar’i)? Secara istilah, dakwah berarti ajakan kepada orang lain, baik dengan perkataan maupun perbuatan, kepada kebaikan (al-khair), menyuruh orang lain untuk mengerjakan hal-hal yang berpahala (al-ma’ruf), serta mencegah orang lain untuk melakukan hal-hal yang berdosa (al-munkar). Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. (yang artinya) “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS Ali Imran [3]: 104)

Islam adalah agama dakwah. Salah satu inti dari ajaran Islam memang perintah kepada umatnya untuk berdakwah, yakni mengajak manusia kepada jalan Allah (tauhid) dengan hikmah (hujjah atau argumen). Kepedulian terhadap dakwah jugalah yang menjadi trademark seorang mukmin. Artinya, orang mukmin yang cuek bebek sama dakwah berarti bukan mukmin sejati. Bener, lho. Apa iya kamu tega kalo ada teman kamu yang berbuat maksiat kamu diemin aja?

Bahkan Allah memuji aktivitas mulia ini dalam firmanNya:”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim” (QS Fushshilat [41]: 33)

Boys and gals pembaca setia gaulislam, karena dakwah harus menyeru kepada yang ma’ruf sekaligus mencegah orang berbuat munkar, atau mengingatkan orang ketika berbuat munkar, maka sudah pasti benturannya juga kuat. Ingat lho, gimana beratnya dakwah Rasulullah saw. di Makkah. Kalo kamu sempat baca Sirah Nabawiyah, bakalan tahu gimana pahit getirnya Rasulullah saw. dan para sahabat ketika mengajak masyarakat Quraisy untuk meninggalkan kekufuran dan mengganti keimanan mereka dengan Islam. Dakwah Islam yang disampaikan oleh Rasulullah saw. nggak memaksa orang untuk masuk Islam, tetapi dengan cara berdialog, mengajak berpikir dan akhirnya mereka yang masuk Islam adalah orang-orang yang sudah rela, bukan terpaksa.

Meskipun Rasulullah saw. dan para sahabat melakukan dakwahnya tanpa kekerasan, tetapi perlawanan dari kaum Quraisy adalah dengan kekerasan. Beberapa sahabat Rasulullah saw. disiksa dan dan bahkan dibunuh oleh pembesar Quraisy agar masuk kembali ke ajaran nenek moyangnya. Bahkan Rasulullah saw. sendiri pernah diminta menghentikan dakwah oleh Abu Jahal dan para begundalnya melalui lisan Abu Thalib, pamannya. Tetapi, apa jawaban Rasulullah saw.?

Rasulullah saw. berkata kepada pamannya: “(Paman), demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah meme­nangkan agama ini atau aku hancur karenanya.”

Wuih, keren banget! Semoga kita bisa meneladani beliau dalam dakwah menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari perbuatan munkar. Insya Allah kita bisa.

Tetapi kalo kita lihat kondisi sekarang, dakwah ternyata tak lebih dari sekadar hiburan, bahkan ditempelkan ke dalam acara-acara yang sejatinya nggak islami. Kesempatan para mubaligh di layar kaca untuk nahi munkar nyaris tipis, atau bahkan sudah tidak mungkin lagi. Selain itu, ketika dakwah dicampur dengan hiburan, sejak saat itu dakwah sudah kehilangan tujuan utamanya untuk menyeru agar manusia berbuat baik dan tidak melakukan kemunkaran. Ironi yang entah sampai kapan bisa berakhir.

Jangan terbawa arus
Bro en Sis yang tetap setia membaca artikel dari gaulislam ini, kamu kudu mulai melek media. Nggak asal telen aja semua yang datangnya dari media massa, dalam hal ini televisi. Sebabnya, setiap tayangan itu tak lepas dari penyutradaraan. Tentu saja, isinya sesuai yang dikehendaki sang sutradara dan para pemilik modal.

Saat ini, dakwahtainment memang kental dengan aroma pengaburan makna dari dakwah dan tujuan dakwah. Niat menyampaikan dakwah yang dibalut dominan binis ini justru akan berdampak pada kemunduran dakwah itu sendiri. Termasuk dalam hal ini adanya ajang pencarian dai cilik, yang sarat dengan muatan bisnis. Sehingga isinya harus mengikuti selera pasar dan kering dari makna perjuangan untuk menegakkan syariat Islam secara kaafah (menyeluruh). Amat disayangkan tentunya.

Dakwah “bil-Tivi” ini, meski ada manfaatnya dalam beberapa hal, tetapi potensi bahayanya juga besar. Kok bisa? Bisa. Buktinya, pesan-pesan Islam yang ideologis tak muncul di situ. Sehingga perubahan pola pikir untuk menjadi lebih islami dan ideologis tak muncul sama sekali. Sebaliknya, malah berputar di arena sekularisme belaka. Banyak yang mengaku muslim, tetapi hanya taat di dalam masjid atau ketika beribadah ritual. Tetapi di luar masjid, duit dan kepentingan hawa nafsu lah yang dijadikan sesembahan. Gawat!

So, jangan terbawa arus. Selektiflah memilih tayangan media massa dan tetap belajar Islam dengan cara yang benar dan baik, yakni ada gurunya dan materi yang diajarkannya benar bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Lebih keren lagi kalo kamu juga nantinya jadi pengemban dakwah Islam yang handal. Bisa ya! [By.O. SOLIHIN]

Mencetak Generasi Tangguh




Pondasi Aqidah di Usia Dini
“Mendidik anak sedari kecil adalah ibarat mengukir di atas batu.” Sabda Nabi saw tersebut sangat tepat untuk menggambarkan pentingnya mendidik anak sedini mungkin. Anak yang masih kecil, mendidiknya membutuhkan kesabaran karena harus terus mengulang-ulang konsep yang hendak ditanamkan. Namun begitu konsep tersebut sudah masuk, maka ia akan tertancap dengan kuat di sana, sulit hilang seperti ukiran di atas batu.

Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini merupakan masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Pada masa ini pertumbuhan otak berlangsung sangat pesat (eksplosif). Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting menentukan kualitas anak di masa depan. Perkembangan intelektual anak usia 4 tahun telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80% dan pada saat mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai 100%. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa informasi awal yang diterima anak akan cenderung permanen dan menentukan perilaku anak pada masa berikutnya. Oleh karenanya anak perlu rangsangan psikososial dan pendidikan.

Bagi anak, pendidikan yang tepat pada usia dini akan menjadi pondasi keberhasilannya pada masa yang akan datang. Pendidikan agama tidak pelak lagi menjadi suatu kebutuhan bagi anak usia dini untuk membentuk kepribadian Islam. Secerdas apapun seorang anak, tanpa memiliki pendidikan agama sebagai landasan hidupnya, maka hidupnya di dunia tidak ada nilainya. Rasulullah saw bersabda :

“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya serta biasa beramal untuk bekal kehidupan setelah mati. Sebaliknya, orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sementara dia berangan-angan kepada Allah” (HR. At tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah, dan al-Hakim).

Dengan demikian pendidikan agama adalah kerangka yang kita gunakan dalam membentuk anak usia dini. Ilmu-ilmu lain seperti matematika, membaca, kesenian, sains dan sebagainya adalah pelengkap, yang memberi warna dan penampakan luar bagi kerangka tersebut.
Yang terpenting bagi orangtua adalah mengubah paradigma berpikir tentang anak. Selama ini orangtua berpandangan bahwa anak adalah asset, tempat orangtua bergantung nanti saat tua telah datang. Paradigma semacam ini menempatkan anak dalam rangka kebutuhan orangtuanya. Anak diarahkan untuk bisa bekerja, mencari uang untuk menghidupi orangtua kelak.

Ada pula paradigma yang lahir dari ide kapitalis-liberalis. Bahwa anak adalah individu yang unik dan berbeda. Maka anak diberi hak untuk bebas dalam menentukan pilihan, bebas untuk berkembang menjadi apapun yang ia inginkan. Bahkan sampai dikeluarkan konvensi hak anak yang mencakup juga hak anak untuk memeluk agama berbeda dari orangtuanya.

Paradigma yang seharusnya kita bangun adalah setiap anak memiliki hak untuk masuk surge kelak. Orangtua harus memastikan agar anak memperoleh haknya tersebut. Dengan demikian, orangtua mendidik anak untuk menjadikan hidupnya sebagai ladang amal. Bila anak menyimpang, orangtua wajib untuk meluruskan anak, sekalipun untuk meluruskan tersebut orangtua harus melakukan pemaksaan.

Paradigma semacam ini akan membuat orangtua berupaya mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Orangtua dengan cermat akan mengidentifikasi hal-hal apa yang bisa mengantarkan anak untuk meraih keridhaan Tuhannya dan apa saja yang bisa menghalanginya. Ia akan merumuskan target-target yang harus dicapai dalam mendidik anak, bukan semata mengikuti keadaan dan keinginan anak, atau seperti mengikuti air mengalir saja. Ia memilih apa yang bisa membahagiakan anak di akherat sekalipun pahit, bukan apa yang membahagiakan anak di dunia tapi mencelakakan akheratnya.

Untuk menguasai metode pendidikan anak yang paling tepat, kita terlebih dahulu harus mengenali potensi, karakter dan tahapan perkembangan anak dan menetapkan target-target yang jelas.
Mendidik anak usia dini pada dasarnya adalah mempersiapkan mereka untuk mampu menerima beban taklif hukum syara’ pada saat mereka mencapai usia baligh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, antara lain :

Mempersiapkan indera, otak, fisik, emosi, dan seluruh potensi hidup anak sehingga pada tahapan selanjutnya (usia pra baligh dan baligh) telah terlatih dan dapat melakukan aktivitas berpikir dan bersikap berdasarkan Islam

Melakukan stimulasi (rangsangan-rangsangan) yang tepat sesuai dengan tahap pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini (0-6 tahun)
Tidak memberi sanksi dan pembebanan yang lebih dari kemampuan pada anak usia dini
Belajar dilakukan sambil bermain tidak dengan pemaksaan
Tidak memperlakukan mereka seperti orang dewasa yang telah sempurna akalnya hingga bisa mengendalikan diri dalam pemenuhan kebutuhan jasmani dan naluri

Potensi Anak Usia Dini

Potensi yang dimiliki anak adalah sama dengan orang dewasa yakni akal, naluri dan kebutuhan fisik. Akal adalah proses berpikir pada manusia. Proses berpikir terjadi ketika indera menangkap fakta, kemudian mengirimnya ke otak yang menghubungkan fakta dengan informasi yang telah ada sebelumnya untuk mendapatkan suatu kesimpulan.

Untuk mengasah kemampuan berpikir anak, orangtua harus memberikan stimulasi pada komponen-komponen dalam aktivitas berpikirnya. Fakta yang dapat dicerap indera anak diperbanyak, misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan dan mengenalkan anak pada alam dan lingkungan di sekitarnya. Merangsang fungsi indera, seperti menyediakan berbagai mainan dengan berbagai warna, bentuk dan tekstur, memperdengarkan berbagai bunyi-bunyian, mengenalkan beraneka rasa dan seterusnya. Orangtua mengoptimalkan pertumbuhan otak anak dengan memberikan makanan bergizi dan menciptakan suasana penuh kasih sayang. Orangtua memberikan informasi-informasi yang sesuai dengan tahap perkembangan anak seperti mengenalkan nama-nama benda, memperkaya kosa katanya, membacakan cerita, mengenalkan anak pada Allah dan rasul, dan sebagainya.
Naluri memiliki tiga penampakan, yakni naluri mempertahankan diri (gharizah baqa’), naluri melangsungkan keturunan (gharizah nau’) dan naluri mensucikan sesuatu (gharizah tadayyun). Ketiga naluri ini juga perlu mendapatkan stimulasi sedari dini.

Anak kita ajarkan untuk mengontrol emosinya, menyampaikan pendapat secara terbuka dengan cara yang ma’ruf dan memupuk rasa percaya dirinya dalam naluri baqa’. Untuk naluri nau’, anak kita ajarkan perbedaan laki-laki dan perempuan, mengungkapkan kasih sayang kepada keluarga, dan bersilaturahim. Sedang untuk mengasah naluri tadayyunnya, kita ajak anak untuk mengenal Pencipta melalui alam semesta, menanamkan kekaguman atas keagungan-Nya dan mulai mengajak anak melakukan ibadah.

Untuk potensi yang terkait dengan kebutuhan fisik, maka yang perlu kita perhatikan adalah melatih kemampuan fisik anak, baik motorik kasar seperti berlari, melompat, merayap, berenang, dan sebagainya; juga motorik halus seperti menggunting, menggambar, menarik garis, menempel, dan sebagainya. Selain itu, dalam pemenuhan kebutuhan fisiknya anak mulai kita kenalkan dengan konsep halal haram, sehingga nantinya ia memiliki standar dalam memenuhi kebutuhan fisiknya.
Karakteristik Anak Usia Dini

USIA 0-2 TAHUN
Anak berinteraksi secara fisik dan belajar dengan lingkungannya melalui panca indera (mencerap fakta dan informasi).
Pada awalnya perbuatan yang dilakukan hasil dari refleksi murni; lalu menjadikan dirinya sebagai obyek yang berhubungan dengan obyek-obyek lainnya (memperhatikan sesuatu yang menarik perhatiannya dan berusaha memintanya)
Anak belum dapat membedakan antara dirinya dengan lingkungan, karena itu ia menerima segala informasi yang datang dari luar dirinya, memiliki ketergantungan yang tinggi pada orang lain, dan pasrah terhadap segala perlakuan yang diberikan kepadanya, baik yang sesuai dengan perkembangan dirinya maupun tidak sesuai dengan perkembangan dirinya.

Informasi yang masuk akan diterima anak dengan bentuk global (tidak memperhatikan bagian-bagian), langsung (diterima apa adanya dan langsung mengikutinya) , pasif (belum memberi tanggapan yang berarti), dan spontanitas (belum ada kontrol perilaku atau bahasa).

Cara berkomunikasi anak usia 0-1 tahun adalah melalui tangisan/jeritan; ocehan atau celoteh; isyarat serta ekspresi emosional, sedangkan pada usia 1-2 tahun anak mulai mengeluarkan bunyi (satu kata) yang mengandung arti yang berbeda-beda (sebagai satu kalimat penuh); menyebutkan dua kata dengan maksud yang lebih jelas (mampu mengatur kembali kata-kata dalam bahasanya).
Kemampuan berbahasa anak usia ini diperoleh melalui proses Imitasi (menirukan), pengulangan dan merangkai kata-kata.
Sedangkan cara bersosialisasi adalah dengan mengenal orang-orang yang biasa berada disekitarnya , mengajak berkomunikasi dan menjadikan mereka sebagai pemenuh kebutuhannya. Anak juga belum mudah beradaptasi dengan orang-orang/tempat-tempat yang baru dikenalnya. Dalam bermain, anak bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri tidak ada kontak satu sama lain (bila ada kontak, maka yang terjadi perebutan dan penguasaan mainan).

Pada usia 0-2 tahun ini, anak diajarkan berbagai ketrampilan untuk hidup mandiri, seperti mengenakan pakaian, makan, minum, dsb. Periode ini juga periode perkembangan fisik yang pesat, sehingga anak perlu dirangsang untuk mengembangkan fisik dan motoriknya. Begitu juga dalam perkembangan bicara, anak perlu dirangsang dengan banyak mengajaknya berbicara, mengenalkan berbagai nama benda dan kosa kata baru, serta membacakan buku cerita anak yang sederhana.

Yang paling penting, anak disuasanakan dengan suasana islami untuk menumbuhkan minat dan kecenderungannya terhadap agama. Misalnya memperdengarkan ayat-ayat Al Qur’an, melibatkan anak dalam shalat, mengajarkan lagu anak-anak Islam, mengajarkan anak mengucap lafazh Allah dan Muhammad, membaca doa-doa harian, dan membiasakan anak perempuan memakai kerudung.

USIA 2-4 TAHUN
§ Latihan proses berpikir anak dilakukan dengan cara:
Pengalaman (segala sesuatu yang dialami dan dirasakan sebagai suatu pengalaman yang menyenangkan atau tidak menyenangkan)
Pengulangan (mengulang-ulang suatu perbuatan untuk mencapai kepuasan dan kenikmatan atas perbuatan tersebut
Peniruan (imitasi):Mengikuti secara persis apa yang dilihat (perbuatan/perlaku) dan yang didengarnya (ucapan) orang disekitarnya
Perhatian (Memperhatikan segala sesuatu yang baru dan yang kontras terhadap apa yang dilihat dan didengarnya)
§ Eksploratif secara individu (menjelajah segala sesuatu yang menjadi perhatiannya termasuk dalam bentuk eksplorasi penolakan/pembangkangan)
§ Berpikir statis (tidak dapat berpikir dibalik), telah dapat mengatur secara serial
§ Sudah dapat membedakan dan mengklasifikasi bentuk dan warna
§ Sudah dapat berpikir secara simbolik (menyesuaikan diri dengan pola pikir orang lain dengan cara meniru gerakan dan ucapan orang lain)
§ Belum mampu berpikir secara logis dan abstrak masih bersifat egosentris (berpikir terhadap dirinya sendiri)
§ Cara Berkomunikasi pada usia ini adalah menggunakan bahasa untuk mendapatkan apa yang diinginkannya (sudah mengerti hubungan sebab akibat) dan anak sudah bisa memberi umpan balik dalam berkomunikasi
§ Dalam hal bersosialisasi, anak sudah mulai melepaskan dirinya terhadap ketergantungan dengan orang lain. Ia sudah bisa bermain bersama dengan caranya sendiri-sendiri dan mulai bermain bersama dengan melibatkan dirinya
§ Disiplin sikap mulai dilatih tanpa harus memaksanya untuk melakukan dengan benar, begitu juga dengan disiplin waktu, karena anak belum bisa menerapkan disiplin waktu .

Selain terus mengajarkan apa yang harus diajarkan di tahap sebelumnya, anak usia ini sudah dapat diberikan stimulasi yang lebih luas. Untuk merangsang proses berpikirnya, anak diberikan kesempatan mengeksplorasi lingkungannya untuk mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya dalam hidup. Misalnya dengan mengajak anak berjalan-jalan ke tempat-tempat yang berbeda, mengamati alam lingkungan dan melakukan berbagai aktivitas. Ini adalah kesempatan yang baik untuk mengenalkan keberadaan Pencipta pada anak melalui pengamatan terhadap ciptaan-Nya.
Dalam memberikan informasi untuk merangsang proses berpikirnya, orangtua hendaknya tidak bosan untuk mengulang-ulangnya. Hal ini adalah bagian dari tahapan berpikirnya. Maka buang jauh prasangka kita bahwa anak “bandel” karena terus melakukan apa yang kita larang atau melanggar apa yang kita perintahkan.

Karena masa ini adalah masa imitasi atau peniruan, kita perlu memberikan contoh keteladanan yang baik untuk anak. Mengajaknya untuk ikut shalat, mengaji, dan melibatkannya dalam aktivitas dakwah kita adalah hal yang harus kita lakukan untuk membentuk kebiasaan dan karakter anak. Begitu pula memberikan keteladanan dalam berkata yang baik, berbuat baik, serta mengasah perasaan peduli dengan orang lain.

Untuk memunculkan jiwa kepemimpinannya, beri kesempatan pada anak untuk membuat keputusan, menghargai pendapat-pendapatnya, dan merangsang keberaniannya untuk tampil di hadapan orang lain.

Pada usia ini, anak dapat mulai diajak untuk menghafal surat-surat pendek. Sambil bermain, ibu dapat memperdengarkan surat-surat pendek berulang-ulang. Anak akan secara otomatis merekam, sehingga mudah baginya untuk hafal lebih cepat. Ditunjang dengan sifat imitasinya, yaitu meniru, maka sekalipun anak belum mampu melafazhkan dengan tepat, namun ia telah memiliki dasar untuk hafalannya. Begitu pula membacakan doa-doa rutin harian akan mempercepat anak untuk hafal dan menjadi kebiasaannya.

Hadist-hadist pendek juga sudah dapat mulai diajarkan. Ketika menegur anak, atau mengajarkan sesuatu, bacakan hadistnya. Misalnya saat anak bertengkar, kita dapat menyampaikan:”Kata nabi kita, al muslimu akhul muslim, sesama muslim itu bersaudara.” Membacakan hadist akan membangun ketaatan anak pada Rasulullah saw, dan memudahkan anak menerima beliau sebagai teladan. Anak juga akan terbiasa untuk terikat dengan dalil pada saat melakukan sesuatu.

USIA 4-6 TAHUN
Masa keingintahuan (mulai berpikir dengan 4W+1H). Anak menjadi banyak bertanya tentang segala apa yang dilihat dan menjadi perhatiannya. Anak menjelajah untuk mengetahui bagaimana terjadinya benda atau sesuatu itu, dan bagaimana ia dapat masuk atau menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Anak juga memiliki kreativitas yang tinggi, suka membongkar pasang mainan dan mengubah bentuk yang sudah jadi atau mainan bongkar pasang
Proses terbentuknya kemampuan berpikir, meliputi poin-poin sebagai berikut :
Pengalaman disimpan sebagai suatu pelajaran dan menjadi pemahaman bila diberi stimulus yang berhubungan dengan pengalaman tersebut

Mengeluarkan informasi yang diperoleh dikeluarkan dalam bentuk pemahaman (bukan sekedar pengulangan kata)

Pemahaman yang diperoleh belum mampu untuk direalisasikan, sebatas memahami sesuatu dan menanggapi atas pemahamannya
Belum mampu menjabarkan, menguraikan dan menjelaskan secara rinci terhadap pemahaman tersebut

Perkembangan sosialisasi : masa ini adalah masa bermain dan berkelompok. Anak , banyak menghabiskan waktu dengan bermain secara bersama-sama dengan teman sebayanya (bermain sosial). Anak sudah dapat membedakan antara benda miliknya dengan miliknya orang lain; sudah dapat berhubungan dengan orang lain dan akan mencari teman sebaya untuk menjadi anggota kelompoknya.

Anak sudah mampu membedakan antara dirinya dengan orang lain dan mampu mengerti apa yang dilakukan orang lain untuk dirinya. Namun di sisi lain anak belum mampu memposisikan dirinya pada tempat orang lain (empati).

Cara berkomunikasi:
Sudah mampu secara aktif mengambil peran dalam komunikasi dengan keluarga dan teman-teman sebayanya
Sudah mulai menunjukkan sikap suka protes dan tidak mau kalah dalam berbicara
Sudah mulai menggunakan kata-kata untuk mempertahankan pendapatnya
Masa negativisme, anak sering melakukan sesuatu yang bertentangan
Berusaha menunjukkan perhatiannya dengan melakukan berbagai aktivitas untuk dapat perhatian orang lain

Mulai dilatih untuk memahami perpindahan obyek dengan bentuk yang berbeda akan menghasilkan berat yang sama. Sudah mulai bisa menerapkan disiplin waktu
Anak sudah dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan akhlaq, ibadah (puasa,berwudlu, sholat) dan muamalah (pinjam-meminjam dan jual-beli).
Untuk anak usia 4-6 tahun, lebih banyak lagi stimulasi yang dapat kita berikan. Namun tetap dengan menciptakan suasana yang menyenangkan anak tanpa melakukan pemaksaan. Rangsang rasa ingin tahu anak dengan memberikan banyak fakta untuk dieksplor. Anak akan banyak bertanya pada usia ini, mungkin dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab semisal : aku darimana, Allah ada di mana, mengapa kita tidak dapat melihat Allah, kemana perginya orang yang mati, dan sebagainya. Berikan jawaban yang sederhana tetapi tidak membohongi anak. Bila mungkin sertakan dalil dari Qur’an dan hadist.

Untuk membentuk aqidah anak, kita teruskan mengenalkan ciptaan Allah dan tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta. Selain itu berikan gambaran tentang berbagai nikmat Allah untuk menanamkan kecintaan anak pada-Nya. Misalnya bahwa Allah memberikan kita mata untuk melihat. Minta anak untuk berjalan dengan mata tertutup. Bagaimana bila Allah tidak memberikan mata untuk kita? Begitu pula setiap kita mendapat nikmat Allah, maka ceritakan pada anak dan ajak ia untuk mensyukurinya. Jelaskan bahwa Allah menyayangi kita. Dengan memahami kasih saying Allah, anak akan belajar untuk mencintai-Nya. Di kemudian hari, akan mudah bagi kita untuk memotivasi anak beribadah sebagai manifestasi cintanya kepada Allah.

Kenalkan juga anak dengan rukun-rukun iman lainnya. Untuk iman kepada yang ghaib seperti malaikat dan hari akhir, berikan dalil dari al Qur’an. Sedang keimanan terhadap al Qur’an, kita bisa jelaskan melalui bahasa sederhana, misalnya dengan penganalogan buku panduan penggunaan alat tertentu di rumah kita. Buku panduan penggunaan kompor misalnya. Bila kita langsung menggunakan kompor gas yang belum pernah kita kenal sebelumnya, maka bisa terjadi kesalahan yang berakibat fatal. Hidup adalah hal yang lebih penting dan lebih rumit. Maka Al Qur’an adalah buku manual manusia agar tidak salah langkah menggunakan hidupnya.

Tanamkan kecintaan anak kepada Rasulullah saw dengan menceritakan kisah-kisah perjuangan beliau, sifat-sifat beliau yang utama, dan kecintaan beliau kepada umat. Jelaskan juga bahwa cara kita mencintai beliau adalah dengan menjadikan beliau sebagai idola kita, teladan kita, mentaati semua ajarannya dan menjauhkan diri dari apa yang beliau larang dan tidak suka.

Sedangkan iman kepada qadha dan qadar Allah dapat kita jelaskan dari fakta yang ada di sekitar kita serta cerita-cerita, bahwa ketetapan Allah adalah yang terbaik untuk kita, sekalipun kadang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Ajak anak untuk menghafal surat-surat yang lebih panjang dari juz amma. Tidak sulit insya Allah bila kita terus menerus mengulangnya. Anak memiliki kemampuan hafalan yang kuat. Sedangkan untuk belajar membaca Al Qur’an, bisa dimulai pada usia ini namun tidak dipaksakan. Usia ideal bagi anak untuk belajar membaca adalah 7 tahun. Bila kita berkeinginan memulainya sebelum itu, buatlah suasana belajar menjadi suasana bermain yang anak merasa nyaman di dalamnya. Tanpa tekanan, paksaan, atau unsur menyalahkan.

Untuk memotivasi anak dalam berbuat di usia ini, kita gunakan arah motivasi mendekat, yaitu motivasi yang membuat anak terdorong untuk melakukan hal yang ia anggap menyenangkan. Bukan motivasi menjauh, yakni menakut-nakuti anak untuk menghindar dari suatu perbuatan. Contoh motivasi mendekat adalah kalau ia berbuat kebaikan, maka Allah akan memberikan pahala dan akan menyayanginya. Bila Allah sayang, maka Allah akan membalas dengan surga yang penuh dengan kenikmatan. Ini akan membuat anak merasa bahwa Allah adalah dzat yang penyayang.

Sebaliknya, memberikan motivasi menjauh seperti bila ia berbuat maksiat Allah akan menghukumnya, atau nanti akan memasukkannya ke neraka, dapat menciptakan image di benak anak bahwa Allah itu kejam. Dengan demikian, kenalkan anak terlebih dahulu dengan surga. Bila ia telah tamyiz, mampu membedakan baik buruk dengan konsekuensinya, baru kenalkan anak pada konsep dosa dan neraka.

Motivasi mendekat dapat pula diberikan melalui pemberian hadiah dan pujian. Hadiah tidak selalu dalam bentuk materi, namun bisa berupa cium sayang, pelukan, acungan jempol dan sebagainya. Sedang untuk pujian, selama tidak terkait dengan ibadah, pujian sah-sah saja diberikan. Namun bila terkait dengan ibadah, seperti anak melakukan shalat, pujian harus kita ubah, bukan dengan mengatakan “anak umi shalih”, namun katakan “Allah pasti akan memberimu pahala yang besar,” atau “anak umi pasti akan disayang Allah.” Ini untuk menghindarkan anak dari sifat riya, yaitu beramal untuk mendapatkan pujian.

Di usia ini anak sudah bersosialisasi dalam kelompok. Untuk mencetak anak dengan karakter pemimpin, yang terpenting adalah menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Rasa percaya diri dapat ditumbuhkan bila kita membentuk konsep diri yang positif pada anak. Konsep diri, yaitu cara pandang anak terhadap dirinya, bila positif, seperti aku anak pintar, anak shaleh, aku bisa, dan sebagainya, akan membuat anak menghargai dirinya sendiri dan menempatkan diri dalam relasi yang setimbang dalam pergaulan kelompok.

Suasana rumah yang terbiasa memberikan penghargaan kepada anak, memberikan kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan membuat keputusan, memberikan kepercayaan pada anak untuk mengerjakan tugas-tugas yang mampu dikerjakan anak, serta menganggap anak memiliki posisi yang penting dalam keluarga, akan membentuk sikap kepemimpinan pada anak. Sikap ini tinggal dipupuk terus agar kelak lahir seorang pemimpin besar.
Target Pendidikan untuk Anak Usia Dini

Kita perlu membuat target dalam mendidik anak agar kita memiliki arah yang jelas seperti apa kita mendidik mereka. Target akan membuat langkah kita lebih fokus. Target sebaiknya kita buat dalam parameter-parameter yang terukur, bukan dalam bentuk global seperti menjadikan anak kita anak yang shaleh. Bagaimana kriteria shaleh untuk anak usia dini? Perlu kita jabarkan lagi.
Target yang harus kita capai dalam pendidikan anak usia dini adalah sebagai berikut:
Anak telah mengenal Allah dan rasul-Nya serta rukun iman yang lain
Anak hafal juz Amma
Anak dapat mengerjakan sholat dengan sempurna (gerakan dan bacaannya)
Anak hafal hadits dan do’a sehari-hari.

Anak mengenal konsep pahala dan sorga, yang tampak dalam aktifitas sehari-hari, misalnya : gemar beribadah, gemar berbagi (memberi kepada orang lain ), gemar menolong orang lain dan senang melindungi yang lemah, mau mengalah (mendahulukan kepentingan orang lain), sabar (menunggu giliran, menyelesaikan pekerjaanya)

Anak memiliki kemampuan untuk bekerjasama dalam kelompok
Anak memiliki kepercayaan diri dan jiwa kepemimpinan yang kuat
Untuk anak perempuan, telah terbiasa menutup aurat saat bepergian keluar rumah
Dengan adanya target-target ini, kita sebagai orangtua akan lebih mudah untuk mengevaluasi kemampuan anak di setiap tahapan umurnya.

Inilah beberapa prinsip dalam mendidik anak di usia dini. Ibu, yang merupakan pelaku utama dalam proses pendidikan ini, harus selalu belajar dan mengembangkan kreativitas dalam memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak. Sekalipun sekolah-sekolah untuk anak usia dini telah banyak, termasuk yang bernafaskan Islam, tetapi tetap peran orangtua, terutama ibu tidak tergantikan.

Dari orangtualah anak mendapatkan pembiasaan, keteladanan, kasih sayang dan pengertian. Maka orangtua juga perlu ikut membenahi diri, mendidik diri sehingga mampu mendidik anaknya. Dengan cara inilah maka kita dapat menunaikan amanah yang diberikan Allah dan siap mempertanggungjawabkannya kelak di akhirat.[]