Wednesday 9 June 2010

MENCINTAI ALLAH

"Katakan (wahai Muhammad) apabila bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluarga besarmu, harta yang kamu cari, perdagangan yang kamu khawatir kebangkrutannya dan rumah tinggal yang disenanginya, lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan berjuang di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." (QS. At-Taubah:24)


Pendahuluan

Alhamdulillah kita telah dijadikan sebagai hamba-hamba muslim yang berserah diri kepada-Nya dengan menyatakan Laailaha illallah wa anna Muhammad Rasulullah. Hanya saja kenyataannya masih banyak dari kita yang belum konsekuen dengan pernyataannya. Kita menyatakan mencintai Allah, kenyataannya lebih mencintai hawa nafsu kita, sehingga tidak sedikit ajaran Allah yang kita langgar. Bahkan lebih dari itu menuhankan kebendaan dengan cara mencintainya melebihi cinta kita kepada Allah. Oleh karena itu Allah mensinyalir hal tersebut dalam Al-Quran surat Al-Baqarah:165, "Sungguh orang beriman lebih mencintai Allah daripada yang lainnya."

Definisi cinta menurut terminologi bahasa adalah kecenderungan atau keberpihakan. Sementara menurut terminologi syara� adalah keberpihakan kepada yang dicintai sehingga mengikuti apa yang dia kehendaki dan meninggalkan apa yang tidak dia sukai, baik secara terang-terangan atau tersembunyi.

Hal-hal yang dapat memalingkan cinta kita kepada Allah, seperti yang disitir Allah dalam Al-Quran surat Al-Imran, "Dihiasi bagi manusia cinta kepada hawa nafsunya daripada wanita, anak-anak, kumpulan emas dan perak, kuda berwarna (kendaraan), peternakan, pertanian, itulah isi dari kehidupan dunia, dan Allah memiliki tempat kembali yang labih baik"

Di atas disebutkan enam bagian yang apabila dicintai oleh manusia melebihi cintanya kepada Allah atau mengikuti kehendak mereka sampai mengangkangi kehendak Allah, maka berarti telah menuhankan hal-hal tersebut, ini sangat berbahaya. Lebih tegas lagi Allah memperingatkan dalam surat At-Taubah:24, "Katakan (wahai Muhammad) apabila bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluarga besarmu, harta yang kamu cari, perdagangan yang kamu khawatir kebangkrutannya dan rumah tinggal yang disenanginya, lebih kamu cintai daripada Allah, Rasul-Nya dan berjuang di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya."

Bagaimana Kita Mencintai Allah

Dalam upaya mencintai Allah, kita harus mengenalnya dengan baik sesuai dengan informasi Al-Quran dan Rasulullah saw, baik kaitannya dengan rububiyah-Nya atau uluhiyah-Nya atau asma' dan sifat-sifat-Nya, baru kemudian mengenal hukum-hukum-Nya, baik perintah maupun larangan. Seorang dikatakan mencintai Allah apabila memenuhi empat syarat:

1. Berbuat sesuai dengan kehendak Allah, dengan menjalankan perintah-perintah-Nya.

2. Meninggalkan seluruh larangan-Nya baik secara dhohir maupun batin.

3. Mencintai orang-orang yang dicintai Allah, yaitu kaum beriman.

4. Membenci mereka yang dibenci Allah, yaitu kaum kafir, fasik dan munafik.

Apa saja yang menghantarkan kita mencintai Allah.

Menurut Ibnul Qayyim, seorang ulama' abad ke-7, ada sepuluh hal yang menyebabkan orang mencintai Allah SWT:

1. Membaca Al-Quran dan memahaminya dengan baik.

2. Mendekatkan diri kepada Allah melalui media sholat sunnah sesudah sholat wajib.

3. Selalu menyebut dan berdzikir dalam segala kondisi dengan hati, lisan, dan perbuatan.

4. Mengutamakan kehendak Allah disaat berbenturan dengan keinginan hawa nafsu.

5. Menanamkan di dalam hati asma� dan siaft-sifat Allah SWT, dan memahami maknanya.

6. Memperhatikan karunia dan kebaikan Allah kepada kita, baik nikmat dhohir maupun nikmat batin.

7. Menunduk hati dan diri ke kehariban Allah.

8. Menyendiri bermunajat dan membaca kitab suci-Nya, diwaktu malam saat orang sedang lelap tidur.

9. Bergaul dan berkumpul bersama orang-orang sholeh, serta mengambil hikmah dan ilmu mereka.

10. Menjauhkan segala sebab-sebab yang dapat menjauhkan kita daripada Allah.

Penyeimbang Cinta Kepada Allah

Untuk mencintai Allah diperlukan penyeimbang. Digambarkan oleh para ulama bahwa cinta itu bagaikan badan burung, sehingga ia tidak bisa terbang kecuali dengan dua sayap. Dua sayap itulah penyeimbang cinta kita kepada Allah, yaitu rasa harap di satu sisi dan rasa cemas di sisi lain. Rasa harap akan menimbulkan khusnudzan (berbaik sangka) kepada Allah. Bila kita mengerjakan kebaikan, kita berharap amalan kita itu diterima sebagai amal shaleh yang berpahala. Sementara rasa cemas akan mendorong kita melakukan kebaikan, karena rasa cemas itu kita khawatir jangan-jangan amalan baik kita tidak diterima Allah karena ada faktor X-nya. Maka apabila ada rasa cemas pada diri seseorang ketika dia mengerjakan hal-hal wajib, tercermin di dalam benaknya jangan-jangan amalan itu tidak diterima atau kurang sempurna, maka dia terdorong untuk mengerjakan sunnah-sunah dst. Rasa cemas itu juga yang dapat mencegah seseorang untuk tidak melakukan maksiat dan dosa. Dengan demikian burung yang berbadan cinta, bersayap rasa harap sebelah kanan dan rasa cemas di sebelah kiri, maka burung itu akan terbang melayang ke langit bersujud dihadapan sang maha perkasa dan bijaksana.
Wallahu a'lam.. i Love Allah...

Enam pertanyaan untuk direnungkan

Suatu hari seorang guru berkumpul dengan murid2nya lalu belia mengajukan 6 pertanyaan
Pertama
“ apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?? “ murid2nya ada yang menjawab “ orang tua”, “guru”, “ teman”, dan “ kerabatnya”. Sang Guru menjelaskan semua jawaban itu benar, tapi yang paling dekat dengan kita adalah “ KEMATIAN” sebab kematian adalah pasti adanya.
Lalu sang guru meneruskan pertanyaan yang kedua
“ apa yang paling jauh dari kita di dunia ini???” murid2 ada yang menjawab” Negara cina”, “ bulan”,” matahari”,” dan “ bintang-bintang”. Lalu sang guru menjelaskan bahwa semua jaeaban yang diberikan adalah benar, tapi yang paling benar adalah “ MASA LALU” . siapapun kita , bagaimanapun kita dan betapa kayanya kita, tetap kita tidak bisa kembali kemasa lalu, sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari2 yang akan datang.
Sang guru meneruskan dengan pertanyaan ketiga
“ apa yang paling besar di dunia ini ???” murid2nya ada yang menjawab “gunung” , “ bumi”,” matahari”. Semua jawaban itu benar kata sang guru, tapi yang paling besar di dunia ini adalah “ NAFSU” . banyak manusia menjadi celaka karena memperturutkan hawa nafsunya. Segala cara dihalalkan demi mewujudkan impian nafsu duniawi. Karena itu kita harus hati2 dengan hawa nafsu iini, jangan sampai hawa nafsu ini membawa kita ke neraka ( kesengsaraan dunia dan akhirat).
Pertanyaan keempat adalah,
“ apa yang paling berat di dunia ini?? “murid2nya ada yang menjawab” baja, besi dan gajah. Semua jawaban hamper benar, tapi yang paling berat adalah “ MEMEGANG AMANAH”
Pertanyaan kelima adalah
“ apa yang paling ringan di dunia ini??” murid2nya ada yang menjawab “ kapas, angin, debu dan dedaunan”, semua itu benar tapi yang paling ringan di dunia ini adalah” MENINGGALKAN IBADAH”
Lalu pertanyaan keenam
“ apakah yang paling tajam di dunia ini??” murid2nya menjawab dengan serentak “ PEDANG” hamper benar kata sang guru, tapi yang paling tajam adalah “ LIDAH MANUSIA” karena melalui lidah manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaannya sendiri.
Sudahkan kita menjadi insan yang selau ingat akan KEMATIAN ?
Sudahkah kita belajar dari MASA LALU, dan tidak memperturutkan HAWA NAFSU?
Sudahkah kita mampu mengmban AMANAH sekecil apapun, dengan tidak MENINGGALKAN IBADAH serta senantiasa menjaga LIDAH kita ?
Sahabat mari kita renungkan sama-sama…….

Kisah Perlawanan Suami Vs Iblis

Suami isteri itu hidup tenteram mula-mula. Meskipun melarat, mereka taat kepada perintah Allah. Segala yang dilarang Allah dihindari, dan ibadah mereka tekun sekali. Si Suami adalah seorang yang alim yang taqwa dan tawakkal. Tetapi sudah beberapa lama isterinya mengeluh terhadap kemiskinan yang tiada habis-habisnya itu. Ia memaksa suaminya agar mencari jalan keluar. Ia membayangkan alangkah senangnya hidup jika segala-galanya serba cukup.

Pada suatu hari, lelaki yang alim itu berangkat ke ibu kota, mau mencari pekerjaan. Di tengah perjalanan is melihat sebatang pohon besar yang tengah dikerumuni orang. Dia mendekat. Ternyata orang-orang itu sedang memuja-muja pohon yang konon keramat dan sakti itu. Banyak juga kaum wanita dan pedagang-pedagang yang meminta-minta agar suami mereka setia atau dagangnya laris.

"Ini syirik," pikir lelaki yang alim tadi. "Ini harus diberantas habis. Masyarakat tidak boleh dibiarkan menyembah serta meminta selain Allah." Maka pulanglah dia terburu. Isterinya heran, mengapa secepat itu suaminya kembali. Lebih heran lagi waktu dilihatnya si suami mengambil sebilah kapak yang diasahnya tajam. Lantas lelaki alim tadi bergegas keluar. Isterinya bertanya tetapi ia tidak menjawab. Segera dinaiki keledainya dan dipacu cepat-cepat ke pohon itu.

Sebelum sampai di tempat pohon itu berdiri, tiba-tiba melompat sesosok tubuh tinggi besar dan hitam. Dia adalah iblis yang menyerupai sebagi manusia. "Hai, mau ke mana kamu?" tanya si iblis. Orang alim tersebut menjawab, "Saya mau menuju ke pohon yang disembah-sembah orang bagaikan menyembah Allah. Saya sudah berjanji kepada Allah akan menebang roboh pohon syirik itu." "Kamu tidak ada apa-apa hubungan dengan pohon itu. Yang penting kamu tidak ikut-ikutan syirik seperti mereka. Sudah pulang saja." "Tidak boleh, kemungkaran mesti diberantas," jawab si alim bersikap tegas. "Berhenti, jangan teruskan!" bentak iblis marah. "Akan saya teruskan!"

Karena masing-masing tegas pada pendirian, akhirnya terjadilah perkelahian antara orang alim tadi dengan iblis. Kalau melihat perbedaan badannya, seharusnya orang alim itu dengan mudah boleh dibinasakan. Namun ternyata iblis menyerah kalah, meminta-minta ampun. Kemudian dengan berdiri menahan kesakitan dia berkata, "Tuan, maafkanlah kekasaran saya. Saya tak akan berani lagi mengganggu tuan. Sekarang pulanglah. Saya berjanji, setiap pagi, apabila Tuan selesai menunaikan solat Subuh, di bawah tikar sembahyang Tuan saya sediakan wang emas empat dinar. Pulang saja berburu, jangan teruskan niat Tuan itu dulu".

Mendengar janji iblis dengan wang emas empat dinar itu, lunturlah kekerasan tekad si alim tadi. Ia teringatkan isterinya yang hidup berkecukupan. Ia teringat akan saban hari rungutan isterinya. Setiap pagi empat dinar, dalam sebulan saja dia sudah boleh menjadi orang kaya. Mengingatkan desakan-desakan isterinya itu maka pulanglah dia. Patah niatnya semula hendak membanteras kemungkaran. Demikianlah, semenjak pagi itu isterinya tidak pernah marah lagi. Hari pertama, ketika si alim selesai solat, dibukanya tikar tempat solatnya. Betul di situ tergolek empat benda berkilat, empat dinar emas. Dia meloncat riang, isterinya gembira. Begitu juga hari yang kedua. Empat dinar emas.

Ketika pada hari yang ketiga, matahari mulai terbit dan dia membuka tikar solatnya, masih didapatinya kepingan emas itu. Tapi pada hari keempat dia mulai kecewa. Di bawah tikar sembahyangnya tidak ada apa-apa lagi kecuali tikar pandan yang rapuh. Isterinya mulai marah karena kepingan yang kemarin sudah dihabiskan sama sekali. Si alim dengan lesu menjawab, "Jangan khuatir, esok barangkali kita bakal dapat delapan keping emas sekaligus.

" Keesokkan harinya, harap-harap cemas suami-isteri itu bangun pagi-pagi. Selesai sembahyang dibuka tikar sejadahnya kosong. "Kurang ajar. Penipu," teriak si isteri. "Ambil kapak, tebanglah pohon itu." "Ya, memang dia telah menipuku. Akan aku habiskan pohon itu semuanya hingga ke ranting dan daun-daunnya," sahut si alim itu. Maka segera ia mengeluarkan keledainya. Sambil membawa kapak yang tajam dia memacu keldainya menuju ke arah pohon yang syirik itu.

Di tengah jalan iblis yang berbadan tinggi besar tersebut sudah menghalang. Katanya menyorot tajam, "mau ke mana kamu?" hardiknya menggelegar. "mau menebang pohon," jawab si alim dengan gagah berani. "Berhenti, jangan lanjutkan." "Bagaimanapun juga tidak boleh, sebelum pohon itu tumbang." Maka terjadilah kembali perkelahian yang hebat.

Tetapi kali ini bukan iblis yang kalah, tapi si alim yang terkulai. Dalam kesakitan, si alim tadi bertanya penuh heran, "Dengan kekuatan apa engkau dapat mengalahkan saya, padahal dulu engkau tidak berdaya sama sekali?" Iblis itu dengan angkuh menjawab, "Tentu saja engkau dahulu boleh menang, karena waktu itu engkau keluar rumah untuk Allah, demi Allah. Andaikata kukumpulkan seluruh belantaraku menyerangmu sekalipun, aku takkan mampu mengalahkanmu. Sekarang kamu keluar dari rumah hanya karena tidak ada kepingan emas di bawah tikar sejadahmu. Maka biarpun kau keluarkan seluruh kebolehanmu, tidak mungkin kamu mampu menjatuhkan aku. Pulang saja. Kalau tidak, kupatahkan nanti batang lehermu."

Mendengar penjelasan iblis ini si alim tadi termangu-mangu. Ia merasa bersalah, dan niatnya memang sudah tidak ikhlas karena Allah lagi. Dengan terhuyung-hayang ia pulang ke rumahnya. Dibatalkan niat semula untuk menebang pohon itu. Ia sadar bahwa perjuangannya yang sekarang adalah tanpa keikhlasan karena Allah, dan ia sedar perjuangan yang semacam itu tidak akan menghasilkan apa-apa selain dari kesiaan yang berlanjutan . Sebab tujuannya adalah karena harta benda, mengatasi keutamaan Allah dan agama.

"Barangsiapa di antaramu melihat sesuatu kemungkaran, hendaklah (berusaha) memperbaikinya dengan tangannya (kekuasaan), bila tidak mungkin hendaklah berusaha memperbaikinya dengan lidahnya (nasihat), bila tidak mungkin pula, hendaklah mengingkari dengan hatinya (tinggalkan). Itulah selemah-lemah iman." (Hadits Riwayat Muslim)


Di belakang pria hebat ada wanita hebat


eramuslim - Thomas Wheeler, CEO Massachusetts Mutual Life Insurance Company, dan istrinya sedang menyusuri jalan raya antarnegara bagian ketika menyadari bensin mobilnya nyaris habis. Wheeler segera keluar dari jalan raya bebas hambatan itu dan tak lama kemudian menemukan pompa bensin yang sudah bobrok dan hanya punya satu mesin pengisi bensin. Setelah menyuruh satu-satunya petugas di situ untuk mengisi mobilnya dan mengecek oli, dia berjalan-jalan memutari pompa bensin itu untuk melemaskan kaki.

Ketika kembali ke mobil, dia melihat petugas itu sedang asyik mengobrol dengan istrinya. Obrolan mereka langsung berhenti ketika dia membayar si petugas. Tetapi ketika hendak masuk ke mobil, dia melihat petugas itu melambaikan tangan dan dia mendengar orang itu berkata, “Asyik sekali mengobrol denganmu.”

Setelah mereka meninggalkan pompa bensin itu, Wheeler bertanya kepada istrinya apakah dia kenal lelaki itu. Istrinya langsung mengiyakan. Mereka pernah satu sekolah di SMA dan pernah pacaran kira-kira setahun.

“Astaga, untung kau ketemu aku,” Wheeler menyombong. “Kalau kau menikah dengannya, kau jadi istri petugas pompa bensin, bukan istri direktur utama.”

“Sayangku,” jawab istrinya, “Kalau aku menikah dengannya, dia yang akan menjadi direktur utama dan kau yang akan menjadi petugas pompa bensin.” (The Best Of Bits & Pieces, satu dari 71 Kisah dalam Buku Chicken Soup For The Couple’s Soul)

Kisah diatas memberikan satu hikmah kepada kita bahwa banyak manusia yang menjadi manusia sukses karena dukungan dari wanita yang menjadi istrinya, dan sebaliknya, tidak sedikit juga lelaki yang jatuh dan hancur oleh karena wanita yang dinikahinya itu.

Sungguh, pernikahan adalah upaya penyatuan dua kekuatan yang jika kita berhasil melakukannya maka keberhasilan pun akan kita raih, meski harus terlebih dulu –dan juga memakan waktu yang tidak sebentar- melewati berbagai halangan menghadang. Setiap debu berkali-kali menerpa bening mata kita sehingga membuat suram jalan terbentang dihadapan, ombak yang tak jarang dengan tiba-tiba menerjang mahligai rumah tangga, badai dan angin yang meliuk-liuk mengintai dan siap menghantam kokohnya bangunan cinta yang tersusun indah dalam bingkai perkawinan. Sungguh, jika bukan karena keberhasilan memadukan dua kekuatan yang dimiliki kedua insan pasangan suami istri, mungkin pernikahan hanyalah tinggal cerita.

Dan satu tonggak kokoh yang membuat kaki-kaki ini tetap berdiri melangkah bersama menyusuri perjalanan berumah tangga selama sekian puluh, bahkan sekian ratus tahun hingga Allah menetapkan kehendaknya, adalah rasa syukur dan penerimaan yang tulus terhadap sebuah hati dan jiwa yang Allah berikan untuk dipasangkan dengan kita. Sebuah qalbu indah yang begitu ikhlas menjalin kebersamaan melakukan semuanya berdua dengan kita sehingga bersamaan dengan itu, Allah pun menurunkan ketenangan, kebahagiaan dan kasih sayang (sakinah, mawaddah dan rahmah) menyertai dua hati yang menyatu itu.

Cinta, saling percaya, pengorbanan, dan berbagai tonggak lainnya seolah menjadikan biduk rumah tangga sepasang suami istri akan tetap oleng diterjang badai jika tak memiliki tonggak yang satu ini. Oleh karena itu percayalah, apapun yang kita dapatkan, kita miliki, segala keberhasilan, kesuksesan dan segala yang menjadi kebanggaan kita saat ini, bukanlah semata upaya diri sendiri. Bukankah seharusnya kita bersyukur karena Allah telah menganugerahkan sebuah jiwa yang juga begitu kuat mendorong kita dari dalam rumah, dari pembaringan dalam kamar tidur, dari meja makan, untuk bisa menjulang ke atas.

Jika pun kesuksesan itu teraih semasa sebelum kita menikah, bukankah pula seharusnya kita bersyukur karena Allah telah menghadirkan satu hati suci untuk hidup berdampingan dengan kita bukan karena ketampanan, atau kegemilangan kita. Sehingga kemudian, hatinya tidak sombong, juga tidak kikir dan bakhil. Kekasih hati yang seperti ini jugalah yang tetap menjaga hati kita untuk melihat kebawah dan mengulurkan tangan kepada yang lemah. Bersyukur pulalah, karena hatinya yang begitu bersih –yang Allah berikan untuk kita- tidak membuat kita lupa diri yang bisa-bisa menghancurkan dan membuat kita terjatuh dari puncak kejayaan. Dia senantiasa mengingatkan kita ketika khilaf mulai terobsesi dengan kepuasan dunia, dia yang juga menarik kaki ini dari lingkar batas-batas jurang keserakahan harta, dan dengan sekuat tenaganya yang lemah, dia juga berusaha menahan tubuh kita yang terkadang tanpa disadari sudah berada di pintu kesombongan, sehingga kita pun terluput dari murka Allah.

Sungguhpun ada sebagian pasangan yang harus menjalani rumah tangganya diatas lembar-lembar kekurangan, kesederhanaan dan jalinan keprihatinan. Tetaplah bersyukur karena Allah masih memberikan satu harta yang tak ternilai harganya, yakni satu mutiara yang tetap berdiri merapat dengan ikhlasnya menjalani kekurangan, kesederhanaan dan keprihatinan bersama kita. Jiwa yang begitu kuat untuk tidak tergoda dan iri dengan kegemerlapan tetangganya, bahkan terkadang ia lebih kuat dari kita sendiri, sehingga pancaran kekuatannya itulah yang membantu kita tetap berdiri. Semakin prihatin dan sulitnya kita mengarungi hidup, semakin merapat tubuhnya kepada kita. Sungguh, jangan pernah mengira bahwa kesengsaraan anda hanyalah karena anda menikah dengannya.

Adakah yang pernah menyesali pernikahan? Mungkin terlalu pahit untuk menerima kenyataan rumah tangga yang tidak terdapat didalamnya kebahagiaan, ketenangan dan kasih sayang. Kegetiran sekejap melanda batin ini tatkala biduk cinta yang dibangun tak sekuat yang direncanakan, bahwa hempasan ombak yang menerjang tak sebesar yang dibayangkan, sehingga kita pun tidak siap menerima setiap cobaan, sehingga tidak sedikit rajutan kasih sayang yang terurai berserakan. Namun, bukankah pula dari balik semua itu, Allah memberikan kita hikmah yang begitu mendalam, bahwa ada manusia yang menjadi baik dengan anugerah kebaikan dan ada manusia yang diuji kebaikannya dengan kepahitan dan kegetiran agar ia tetap menjadi baik. Selain itu, Allah yang Maha Adil dan Maha Kasih juga sudah memberi anda pelajaran tentang makna hidup lebih dari orang lain yang tidak pernah mengalami kegagalan, meski tidak jarang manusia tidak mau menerima kenyataan itu. Wallahu a’lam bishshowaab.

Sekuntum “Cinta” Pengantin Syurga

“Cinta itu mensucikan akal, mengenyahkan kekhawatiran, memunculkan keberanian, mendorong berpenampilan rapi, membangkitkan selera makan, menjaga akhlak mulia, membangkitkan semangat, mengenakan wewangian, memperhatikan pergaulan yang baik, serta menjaga adab dan kepribadian. Tapi cinta juga merupakan ujian bagi orang-orang yang shaleh dan cobaan bagi ahli ibadah,” Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya Raudah Al-Muhibbin wa Nuzhah Al-Musytaqin memberikan komentar mengenai pengaruh cinta dalam kehidupan seseorang.

Bila seorang kekasih telah singgah di hati, pikiran akan terpaut pada cahaya wajahnya, jiwa akan menjadi besi dan kekasihnya adalah magnit. Rasanya selalu ingin bertemu meski sekejab. Memandang sekilas bayangan sang kekasih membuat jiwa ini seakan terbang menuju langit ke tujuh dan bertemu dengan jiwanya.

Indahnya cinta terjadi saat seorang kekasih secara samar menatap bayangan orang yang dikasihi. Bayangan indah itu laksana air yang menyirami, menyegarkan, menyuburkan pepohonan taman di jiwa.

Dahulu di kota Kufah tinggallah seorang pemuda tampan rupawan yang tekun dan rajin beribadat, dia termasuk salah seorang yang dikenal sebagai ahli zuhud. Suatu hari dalam pengembaraannya, pemuda itu melewati sebuah perkampungan yang banyak dihuni oleh kaum An-Nakha’. Demi melepaskan penat dan lelah setelah berhari-hari berjalan maka singgahlah dia di kampung tersebut. Di persinggahan si pemuda banyak bersilaturahim dengan kaum muslimin. Di tengah kekhusyu’annya bersilaturahim itulah dia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita.

Sepasang mata bertemu, seakan saling menyapa, saling bicara. Walau tak ada gerak lidah! Tak ada kata-kata! Mereka berbicara dengan bahasa jiwa. Karena bahasa jiwa jauh lebih jujur, tulus dan apa adanya. Cinta yang tak terucap jauh lebih berharga dari pada cinta yang hanya ada di ujung lidah. Maka jalinan cintapun tersambung erat dan membuhul kuat. Begitulah sejak melihatnya pertama kali, dia pun jatuh hati dan tergila-gila. Sebagai anak muda, tentu dia berharap cintanya itu tak bertepuk sebelah tangan, namun begitulah ternyata gayung bersambut. Cintanya tidak berada di alam khayal, tapi mejelma menjadi kenyataan.

Benih-benih cinta itu bagai anak panah melesat dari busurnya, pada pertemuan yang tersamar, pertemuan yang berlangsung sangat sekejab, pertemuan yang selalu terhalang oleh hijab. Demikian pula si gadis merasakan hal serupa sejak melihat pemuda itu pada kali yang pertama.

Begitulah cinta, ketika ia bersemi dalam hati… terkembang dalam kata… terurai dalam perbuatan…Ketika hanya berhenti dalam hati, itu cinta yang lemah dan tidak berdaya. Ketika hanya berhenti dalam kata, itu cinta yang disertai dengan kepalsuan dan tidak nyata…

Ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tertegak dalam kata, buahnya menjumbai dalam perbuatan. Persis seperti iman, terpatri dalam hati, terucap dalam lisan, dan dibuktikan oleh amal.

Semakin dalam makna cinta direnungi, semakin besar fakta ini ditemukan. Cinta hanya kuat ketika ia datang dari pribadi yang kuat, bahwa integritas cinta hanya mungkin lahir dari pribadi yang juga punya integritas. Karena cinta adalah keinginan baik kepada orang yang kita cintai yang harus menampak setiap saat sepanjang kebersamaan.

Begitupun dengan si pemuda, dia berpikir cintanya harus terselamatkan! Agar tidak jadi liar, agar selalu ada dalam keabadian. Ada dalam bingkai syari’atnya. Akhirnya diapun mengutus seseorang untuk meminang gadis pujaannya itu. Akan tetapi keinginan tidak selalu seiring sejalan dengan takdir Allah. Ternyata gadis tersebut telah dipertunangkan dengan putera bapak saudaranya.

Mendengar keterangan ayah si gadis itu, pupus sudah harapan si pemuda untuk menyemai cintanya dalam keutuhan syari’at. Gadis yang telah dipinang tidak boleh dipinang lagi. Tidak ada jalan lain. Tidak ada jalan belakang, samping kiri, atau samping kanan. Mereka sadar betul bahwa jalinan asmaranya harus diakhiri, karena kalau tidak, justeru akan merusak ’anugerah’ Allah yang terindah ini.

Bayangkan, bila dua kekasih bertemu dan masing-masing silau serta mabuk oleh cahaya yang terpancar dari orang yang dikasihi, ia akan melupakan harga dirinya, ia akan melepas baju kemanusiaannya dengan menabrak tabu. Dan, sekali bunga dipetik, ia akan layu dan akhirnya mati, dipijak orang karena sudah tak berguna. Jalan belakang ’back street’ tak ubahnya seperti anak kecil yang merusak mainannya sendiri. Penyesalan pasti akan datang belakangan, menangispun tak berguna, menyesal tak mengubah keadaan, badan hancur jiwa binasa.

Cinta si gadis cantik dengan pemuda tampan masih menggelora. Mereka seakan menahan beban cinta yang sangat berat. Si gadis berpikir barangkali masih ada celah untuk bisa ’diikhtiarkan’ maka rencanapun disusun dengan segala kemungkinan terpahit. Maka si gadis mengutus seorang hambanya untuk menyampaikan sepucuk surat kepada pemuda tambatan hatinya:

”Aku tahu betapa engkau sangat mencintaiku dan karenanya betapa besar penderitaanku terhadap dirimu sekalipun cintaku tetap untukmu. Seandainya engkau berkenan, aku akan datang berkunjung ke rumahmu atau aku akan memberikan kemudahan kepadamu bila engkau mau datang ke rumahku.”

Setelah membaca isi surat itu dengan seksama, si pemuda tampan itu pun berpesan kepada kurir pembawa surat wanita pujaan hatinya itu.

“Kedua tawaran itu tidak ada satu pun yang kupilih! Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar bila aku sampai durhaka kepada Tuhanku. Aku juga takut akan neraka yang api dan jilatannya tidak pernah surut dan padam.”

Pulanglah kurir kekasihnya itu dan dia pun menyampaikan segala yang disampaikan oleh pemuda tadi.

Tawaran ketemuan? Dua orang kekasih? Sungguh sebuah tawaran yang memancarkan harapan, membersitkan kenangan, menerbitkan keberanian. Namun bila cinta dirampas oleh gelora nafsu rendah, keindahannya akan lenyap seketika. Dan berubah menjadi naga yang memuntahkan api dan menghancurkan harga diri kita. Sungguh heran bila saat ini orang suka menjadi korban dari amukan api yang meluluhlantakkan harga dirinya, dari pada merasakan keindahan cintanya.

“Sungguh selama ini aku belum pernah menemukan seorang yang zuhud dan selalu takut kepada Allah swt seperti dia. Demi Allah, tidak seorang pun yang layak menyandang gelar yang mulia kecuali dia, sementara hampir kebanyakan orang berada dalam kemunafikan.” Si gadis berbangga dengan kesalehan kekasihnya.

Setelah berkata demikian, gadis itu merasa tidak perlu lagi kehadiran orang lain dalam hidupnya. Pada diri pemuda itu telah ditemukan seluruh keutuhan cintanya. Maka jalan terbaik setelah ini adalah mengekalkan diri kepada ’Sang Pemilik Cinta’. Lalu diapun meninggalkan segala urusan duniawinya serta membuang jauh-jauh segala sesuatu yang berkaitan dengan dunia. Memakai pakaian dari tenunan kasar dan sejak itu dia tekun beribadat, sementara hatinya merana, badannya juga kurus oleh beban cintanya yang besar kepada pemuda yang dicintainya.

Bila kerinduan kepada kekasih telah membuncah, dan dada tak sanggup lagi menahahan kehausan untuk bersua, maka saat malam tiba, saat manusia terlelap, saat bumi menjadi lengang, diapun berwudlu. Shalatlah dia dikegelapan gulita, lalu menengadahkan tangan, memohon bantuan Sang Maha Pencipta agar melalui kekuasaa-Nya yang tak terbatas dan dapat menjangkau ke semua wilayah yang tak dapat tersentuh manusia., menyampaikan segala perasaan hatinya pada kekasih hatinya. Dia berdoa karena rindu yang sudah tak tertanggungkan, dia menangis seolah-olah saat itu dia sedang berbicara dengan kekasihnya. Dan saat tertidur kekasihnya hadir dalam mimpinya, berbicara dan menjawab segala keluh-kesah hatinya.

Dan kerinduannya yang mendalam itu menyelimuti sepanjang hidupnya hingga akhirnya Allah memanggil ke haribaanNya. Gadis itu wafat dengan membawa serta cintanya yang suci. Yang selalu dijaganya dari belitan nafsu syaithoni. Jasad si gadis boleh terbujur dalam kubur, tapi cinta si pemuda masih tetap hidup subur. Namanya masih disebut dalam doa-doanya yang panjang. Bahkan makamnya tak pernah sepi diziarahi.

Cinta memang indah, bagai pelangi yang menyihir kesadaran manusia. Demikian pula, cinta juga sangat perkasa. Ia akan menjadi benteng, yang menghalau segala dorongan yang hendak merusak keindahan cinta yang bersemayam dalam jiwa. Ia akan menjadi penghubung antara dua anak manusia yang terpisah oleh jarak bahkan oleh dua dimensi yang berbeda.

Pada suatu malam, saat kaki tak lagi dapat menyanggah tubuhnya, saat kedua mata tak kuasa lagi menahan kantuknya, saat salam mengakhiri qiyamullailnya, saat itulah dia tertidur. Sang pemuda bermimpi seakan-akan melihat kekasihnya dalam keadaan yang sangat menyenangkan.

“Bagaimana keadaanmu dan apa yang kau dapatkan setelah berpisah denganku?” Tanya Pemuda itu di alam mimpinya.

Gadis kekasihnya itu menjawab dengan menyenandungkan untaian syair:

Kasih…

cinta yang terindah adalah mencintaimu,

sebuah cinta yang membawa kepada kebajikan.

Cinta yang indah hingga angin syurga berasa malu

burung syurga menjauh dan malaikat menutup pintu.

Mendengar penuturan kekasihnya itu, pemuda tersebut lalu bertanya kepadanya, “Di mana engkau berada?”

Kekasihnya menjawab dengan melantunkan syair:

Aku berada dalam kenikmatan

dalam kehidupan yang tiada mungkin berakhir

berada dalam syurga abadi yang dijaga

oleh para malaikat yang tidak mungkin binasa

yang akan menunggu kedatanganmu,

wahai kekasih…

“Di sana aku bermohon agar engkau selalu mengingatku dan sebaliknya aku pun tidak dapat melupakanmu!” Pemuda itu mencoba merespon syair kekasihnya

“Dan demi Allah, aku juga tidak akan melupakan dirimu. Sungguh, aku telah memohon untukmu kepada Tuhanku juga Tuhanmu dengan kesungguhan hati, hingga Allah berkenan memberikan pertolongan kepadaku!” jawab si gadis kekasihnya itu.

“Bilakah aku dapat melihatmu kembali?” Tanya si pemuda menegaskan

“Tak lama lagi engkau akan datang menyusulku kemari,” Jawab kekasihnya.

Tujuh hari sejak pemuda itu bermimpi bertemu dengan kekasihnya, akhirnya Allah mewafatkan dirinya. Allah mempertemukan cinta keduanya di alam baqa, walau tak sempat menghadirkan romantismenya di dunia. Allah mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka berdua menjadi pengantin syurga.

Subhanallaah! Cinta memiliki kekuatan yang luar biasa. Pantaslah kalau cinta membutuhkan aturan. Tidak lain dan tidak bukan, agar cinta itu tidak berubah menjadi cinta yang membabi buta yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan hewani dan penuh kenistaan. Bila cinta dijaga kesuciannya, manusia akan selamat. Para pasangan yang saling mencintai tidak hanya akan dapat bertemu dengan kekasih yang dapat memupus kerinduan, tapi juga mendapatkan ketenangan, kasih sayang, cinta, dan keridhaan dari dzat yang menciptakan cinta yaitu Allah SWT. Di negeri yang fana ini atau di negeri yang abadi nanti.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum : 21).